Kerapan Sapi di Kebudayaan Madura/ Bull racing in Madura Culture FOR GENERAL ART CULTURE


Kerapan Sapi di Kebudayaan Madura

(sumber: Setiawan, Henky Kabul.2007.Kerapan Sapi di Madura. Sidoarjo:Nawasari Warta.)

Menurut Asis Safioedin, SH, dalam kamus bahasa Madura-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan, 1977; kata “Kerapan” itu tertulis “Kerraban”, sedangkan menurut ensiklopedi, tertulis “Kerapan sapi”, berarti pacuan sapi. Hasil keterangan dari informan yang menyebutkan bahwa kerapan sapi ini berasal dari Pulau Sapudi. Pulau ini terletak di sebelah timur Pulau Madura, dan sampai saat ini terkenal sebagai gudang sapi dan sapi kerapan.

            Orang Madura menyebut pulau ini pulau Podae. Menurut cerita pada abad XIV, pulau ini diperintah oleh seorang panembahan yang sangat bijaksana yang memperhatikan peternakan sapid an pertanian. Pada waktu pemerintahan panembahan Sapudi yang lebih terkenal dengan sebutan panembahan Wirakrama, pulau Sapudi dijadikan pusat peternakan sapi.

            Panembahan Wirakrama mempunyai seorang putra bernama Adipodoae. Sepeninggalan ayahnya, beliau meneruskan peternakan sapi ini. Adipodae sangat terkenal ulet dan Berjaya dalam mengelola ternak sapi. Namanya dikenal dimana-mana, lebih-lebih di daratan pulau Madura. Demikian terkenalnya, sampai pulau tempat kediamannya disebut pulauh Podae, mirip dengan namanya.

            Adipodae adalah seorang panembahan yang disegani rakyatnya. Beliau suka mencari ilmu dan pengalaman. Beliau sering berkelana ke pulau Madura. Di daerah perantauan, sang panembahan mencari pengalaman tentang bagaimana cara beternak sapi yang baik dan bagaimana cara mengembangkan meningkatkan pertanian.

            Semula orang mengerjakan tanah pertanian di pulau Sapudi cukup dengan menggunakan cangkul dan alat-alat lain yang serupa. Akan tetapi, sepulang panembahan Adipodae dari rantau, beliau menerapkan system mengolah lahan, lebih baik dan cepat. Di pulau Madura, orang-orang menggarap lahan pertaniannya dengan menggunakan alat yang disebut nanggala atau sagala yang di Jawa atau Bali disebut dengan luku atau waluku dengan memanfaatkan sapi sebagai penariknya. Kebiasaan menggarap lahan pertanian dengan menggunakan alat naggala yang ditarik sapi ini, diterapkan oleh panembahan Adipodae bersama rakyatnya.

            Penemuan alat yang luar biasa ini, bagi rakyat Sapudi pada waktu itu merupakan penemuan yang sangat menggembirakan, sehingga lahan pertanian yang diolah menjadi lebih baik, lebih luas, dan hasil panen berlimpah. Sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan rezeki, dan untuk melampiaskan kegembiraan yang mendalam sehabis panen raya, para petani bersenang-senang dengan melakukan pacuan lembu di pekarangan (lahan) mereka yang baru selesai dipanen. Pacuan ini menggunakan sapi lengkap dengan nanggala yang sudah dilepas mata bajaknya. Nanggala yang tanpa bajak itu, lama kelamaan berubah bentuk dan fungsinya. Alat tersebut sekarang terkenal dengan nama kaleles. Perlombaan ini ditonton oleh banyak orang, mereka bersorak ketika adu pacu sapi tengah berlangsung. Kegembiraan ini terus berlanjut setiap habis panen.

            Lomba adu pacu ii lama kelamaan berhadiah bagi memenangkan lomba. Dahulu hadiah itu berupa gadis dusun, tetapi lama kelamaan gadis dusun ini hanya sebagai symbol saja. Hal ini disebabkan, karena gadis dusun yang disediakan sebagai hadiah terlalu banyak tuntutan. Sebagai gantinya para pemenang adu pacu memperoleh kehormatan menyelesaikan garapan lahan pertaniannya lebih dahulu. Kita semua tahu, bahwa kehidupan rakyat desa masih sangat mementingkan kerukunan dan gotong royong. Kebiasaan semacam ini berlaku pula ketika mereka mengerjakan sawah ladangnya.

            Diduga, dari kata “garaban” inilah muncul “kerapan”. Oleh karena itu, dalam menggarap lahan pertanian itu menggunakan sapi, kemudian dari kebiasaan adu pacu sapi ini, muncul istilah “garaban sapi”, yang kemudian karena perkembangan dan pengaruh dialog, berubah menjadi “Keraban sapi”. Dan sekarang disebut keraban sapi lebih popular dengan sebutan “kerapan Sapi”.

            Pertanyaan, mengapa di pulau Sapudi banyak sapi, padahal pualunya kecil? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui bahwa orang-orang dipulau ini sejak jaman dahulu suka beternak, khususnya sapi. Di samping itu, orang-orang di pulau Sapudi pantang makan daging sapi. Apabila berpesta atau selamatan, mereka memotong kambing, ayam, atau hewan peliharaan lain. Sapi-sapi yang dijual keluar Pulau Sapudi adalah sapi-sapi jantan dan sapi betina yang sudah tidak produktif. Sapi-sapi betina dijadikan sapi induk. Tidak heran jika sapi-sapi di Pulau Sapudi ini berkembang dengan pesat.

            Pada saat ini kerapan sapi di Pulau Sapudi masih cukup popular. Perlombaan pacu sapi sederhana saja. Tidak perlu panitia. Perlombaan hanya bertujuan untuk bersenang-senang, tidak ada tujuan lain seperti umumnya kerapan sapi di Pulau Madura. Bahkan kerapan sapi di pulau Sapudi banyak dilakukan oleh anak-anak, tanpa aturan mengikat.

            Pada sore hari anak-anak membawa sapi-sapi ke tepi laut. Sapi-sapi itu sepasang dirakit dengan kaleles. Tanpa juri, tanpa bantuan siapapun perlombaan berlangsung. Orang tua mereka ikut menyaksikan dan memberi semangat kepada mereka. Perlu diketahui bahwa dalam perlombaan kerapan sapi anak-anak ini tidak ada garis finish, yang ada hanyalah garis start. Sapi boleh lari sejauh-jauhnya. Perlombaan kerapan sapi berhenti apabila joki kecil itu capek dan malam menjelang tiba. Sebagaimana umumnya orang Madura, orang-orang Sapudi sangat saying kepada hewan peliharaan sapinya. Mereka memandikan setiap hari, memberikan makan secukupnya, dan jarang melukai atau memukulnya.

            Permainan pacuan sapi mulai berkembang pesat sejak Jokotole, yaitu putera Adipodae yang memerintah Kerajaan Sumenep. Adipodae yang dikenal sebagai nenek moyang permainan kerapan sapi ini, tidak di ketahui kapan beliau meninggal dunia. Setelah wafat, beliau diberi gelar Kyai Pandito Wali Kersaning Allah Sunan Blingi. Makam beliau hingga saat ini masih di keramatkan, dan terletak di desa Blingi, pulau Sapudi. Orang-orang datang umumnya hanya memohon doa restu dan keselamatan. Bahkan sapi kerapan yang akan dipertandingkan, dibawa ke makam tersebut untuk mendapat tuah, dengan harapan agar menang dalam kerapan.

            Berikut akan di uraikan gambaran singkat tentang kerapan sapi sebagai berikut:

1) Pemeliharaan Sapi Kerapan

            Sapi kerapan bukanlah sapi sembarangan. Sapi kerapan adalah sapi jantan pilihan. Sejak kecil sapi ini mendapat perawatan yang istimewa, lain dengan sapi-sapi biasanya. Untuk memperoleh sapi anak yang baik, sapi betina dikawinkan dengan pejantan yang baik pula. Pejantan ini biasanya dipilih sapi yang cepat larinya, dan setidaknya pernah menang dalam kerapan sapi. Akan tetapi, mencari pejantan yang demikian itu tidak mudah, sebab apabila sapi yang pernah menang dalam kerapan sapi itu masih dalam kondisi baik, dan masih menjadi sapi aduan, biasanya sang pemiliknya tidak memperkenankan sebagai pejantan, karena sapi kerapan pantang kawin selama masih menjadi sapi aduan.

            Jalan keluar yang biasa ditempuh oleh para pecandu sapi kerapan adalah dengan mencari bibit baru. Apabila ada anak sapi yang menurut ukuran para ahli kerapan sapi yang baik, misalnya: potongan badannya bertipe sapi kerapan, anak sapi tersebut mulai dipelihara sejak kecil dengan cara khusus. Setiap pagi dimandikan, dijemur disinar matahari pagi hingga sepenggalah. Di dalam kandang tempat berpijak pun diatur. Kedua kaki depannya diberi alas lebih tinggi daripada sapi belakang. Tujuannya agar sapi tersebut dapat berdiri tegap dan gagah, serta larinya diharapkan akan cepat.

            Ketika bibit sapi ini telah berumur 6 (enam) bulan, sudah mulai diajari untuk berlari. Jika sudah terbiasa lari sendirian, kemudian dicoba lari bergandengan dengan sapi yang sebaya. Latihan semacam ini dilakukan setiap seminggu sekali sampai lari sapi itu dengan pasangannya seimbang. Apabila ternyata tidak seimbang harus diganti pasangannya, sampai larinya lurus dan kecepatannya sama. Latihan lebih lanjut diberi beban yang ringan-ringan akhirnya di beri beban berat, seberat babutonya.

            Disamping latihan terus menerus, tak lupa selalu diberi jamu. Jamu-jamu ini berupa ramuan tradisional dan obat modern.

            Sapi kerapan ini biasanya galak (tidak jinak). Umumnya mereka lebih beringas dan berani kepada orang, kecuali kepada pemeliharanya. Dia lebih beringas lagi jika melihat sapi betina. Hal ini tidak mengherankan, pertama akibat pengaruh jamu, akan menjadikan sapi itu galak dan beringas. Kedua, sejak kecil sampai batas kemampuannya sebagai sapi kerapan, tidak pernah dijamah oleh sapi betina.

            Apabila batas kemampuannya sebagai sapi kerapan sudah menurun, maka sapi ini akan dialih fungsikan sebagai sapi pejantan. Pemilik sapi ini dapat menarik keuntungan dari orang yang mengawinkan sapi betinanya dengan memberikan sejumlah uang tertentu. Memang tidak ada tariff untuk itu, namun biasanya orang itu memberi imbalan yang pantas, dengan harapan akan mendapat keturunan yang baik.

            Orang Madura memang gemar akan kerapan sapi. Banyak orang bercita-cita memiliki sapi kerapan yang baik. Sehubungan dengan itu, tidak segan-segan membeli bekas sapi kerapan yang telah kalah dalam arena perlombaan. Tujuannya adalah agar pejantan tersebut dapat menurunkan sapi kerapan yang unggul.

2) Perlengkapan Kerapan Sapi

            Perlengkapan yang digunakan dalam perlombaan adu pacu sapi, diantaranya:

a) Pangonong

            pangonong dalam bahasa Jawa disebut dengan “Pasangan”, yaitu sebatang kayu atau bambu yang menghubungkan kedua sapi kerap itu. Di ujung pangonong ini diberi “samelas”, yaitu alat yang terbuat dari kayu atau bambu, digunakan sebagai tempat untuk mengikat leher sapi. Di dekat samelas, sebelah kanan dan kiri, biasanya diberi lubang untuk menancapkan paying. Paying itu dipasang sebagai hiasan pada saat prosesi parade keliling lapangan pertandingan, sebelum lomba adu pacu berlangsung.

b) Kaleles

            kaleles adalah bentuk lebih lanjut dari “nanggala” atau waluku yang telah diambil mata bajaknya. Terbuat dari 2 (dua) buah bambu atau kayu yang kuat. Diatur sedemikian rupa, sehingga menyerupai tangga, makin ke ujung makin mengecil. Kira-kira ¼ (seperempat) meter dari ujung atas diikat dengan pangonong, dan kurang lebih satu sampai satu setengah meter dari ujung bagian bawah, diberi Jangka”. Di atas “kaleles” inilah “batuto” atau semacam joki pada balap kuda, berdiri tegak dengan melilitkan kakinya ke jangka untuk menjaga keseimbangan.

            Bagian paling ujung “kaleles” itu terdapat “i-dai”, yaitu kayu yang diberi hiasan ukuran. Ukiran beraneka ragam, misalnya, berbentuk ular naga, atau hiasan yang lain. Model ukiran ini biasanya sebagai symbol sapi atau menggambarkan masa sapi itu. Di tengah “i-dai” biasanya dipasang bendera atau symbol.

            Baik “panganong” maupun “kaleles” beserta hiasan lainnya yang melekat pada keduanya, umumnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, tidak ada “pangonong” tanpa “kaleles”, atau sebaliknya.

c) Hiasan sapi

            agar lebi semarak dan menarik perhatian penonton, sapi kerapan itu sebelum bertanding umumnya diberi hiasan. Perhiasan itu berupa “Jamang”, “salempang” (serempang), “kalong” (kalung), “jebung” atau “bai-rombai” (umbai-umbai), dan “ler-eler” (hiasan kalung semacam umbai-umbai juga).

d) Seperangkat Gamelan

            instrument yang ikut meramaikan kerapan sapi, terutama pada waktu arak-arak keliling lapangan atau sesuai perlombaan dan menang adalah seperangkat gamelan yang terdiri dari: “rugdurug”, “paneres”, “panengnga”, “tu’-catu’”, “tak-katik”, “cer-cer”, “kempul”, “gong tiup”, dan gendang.

e) Saronen

            sebagai pelengkap gemalan, “Saronen”, semacam terompet asli Madura ikut menyemarakan lomba pacu sapi.

f) Rokong

            Rokong adalah semacam cambuk, tetapi bukan sembarang cambuk, “rokong” terbuat dari kayu dan paku. Bentuknya seperti sikat pembersih cucian pakaian atau kamar mandi. Lebih tepat “rokong” ini diartikan cambuk paku. Pemegang “rokong” tentu saja “batuto” (Joki Sapi).

g) Pecut

            “picot” dalam bahasa Indonesia yakni pecut atau cambuk. Fungsinya sama dengan “rokong”, yaitu untuk menghajar sapi kerapan, agar larinya lebih cepat melesat hingga ke garis finish.

IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

Bull racing in Madura Culture

(Source: Setiawan, Henky Kabul.2007.Kerapan Cows in Madura. Sidoarjo: Nawasari News.)

According to Asis Safioedin, SH, in Madura-Indonesian dictionary published Guidance and Language Development Center, Ministry of Education and Kebuadayaan, 1977; said "kerapan" it is written "Kerraban", while according to the encyclopedia, written "bull racing," meaning cow race. Results information from informants who mentioned that it comes from the cow kerapan Sapudi Island. The island is located in the east of the island of Madura, and until recently known as the cow shed and cow kerapan.

Madurese people call this island Podae island. According to a story in the XIV century, the island was ruled by a very wise Panembahan attention sapid an agricultural farm. At the time of Panembahan Sapudi better known as Panembahan Wirakrama, be the center of the island Sapudi cattle.

Panembahan Wirakrama have a son named Adipodoae. Sepeninggalan his father, he continued this cattle ranch. Adipodae very famous and Berjaya resilient in managing cattle. His name is known everywhere, especially on the mainland island of Madura. So famous, to the island where his residence is called pulauh Podae, similar to its name.

Panembahan Adipodae is a well-respected people. He likes to seek knowledge and experience. He frequently traveled to the island of Madura. In overseas areas, the Panembahan gain experience on how to raise cattle is good and how to develop improved agricultural practices.

Originally the farm work on the island Sapudi simply using hoes and other tools similar. However, after Panembahan Adipodae from overseas, he enacted the cultivate land, better and faster. On the island of Madura, the people working on the farm using a tool called Nanggala or sagala that in Java or Bali called the plow or plow by using cows as pullers. The habit of working agricultural land using ox-drawn equipment naggala this, applied by Panembahan Adipodae with his people.

The discovery of this extraordinary instrument, for the people Sapudi at that time was a very exciting discovery, so that farmland is processed into a better, more widespread, and abundant crops. As a manifestation of gratitude to God who has bestowed blessings, and to vent deep joy after harvest, farmers have fun by racing bulls in the yard (land) recently completed their harvest. Racing is using cow complete with removable eye Nanggala already bajaknya. Nanggala without plow it, gradually changing its shape and function. The tool is now well known kaleles. The race was watched by many people, they cheered when fighting cow racing underway. The excitement continues after every harvest.

Ii runway contest contest prizes over time to win the race. Formerly a gift in the form of country girl, country girl but over time it just as a symbol only. This is because, as a country girl as a gift provided too many demands. Instead runway contest winners honored arable farmland finish first. We all know that the lives of the people of the village are still very concerned with harmony and mutual cooperation. Such habits also apply when they work on their fields.

Allegedly, the word "garaban" raging "kerapan". Therefore, in working on the farm using cow, then from habit runway shoot this cow, the term "garaban cow", which due to the development and influence of dialogue, changed to "Keraban cow". And now more popularly called keraban cows as "kerapan Cow".

Question, why Sapudi many cows on the island, but little pualunya? To answer this question please note that people this island since antiquity like cattle, especially cows. In addition, the people on the island to abstain from eating beef Sapudi. If partying or salvation, they cut the goats, chickens, or other pets. The cows were sold out island Sapudi are bulls and cows that are not productive. Cows are used as mother cows. No wonder the cows Sapudi Island is growing by leaps and bounds.

At this time the cattle on the island kerapan Sapudi still quite popular. The contest is simple cow runway. No need to committee. The race is only intended for fun, there is no other destination like most kerapan cattle on the island of Madura. Even the cattle on the island Sapudi kerapan done by children, with no binding rules.

In the afternoon the children take the cows to the waterfront. The cows were a pair assembled with kaleles. Without a jury, without the help of any race lasts. Their parents were watching and encouraging them. Keep in mind that in a race kerapan cow children is no finish line, there is only the starting line. Cows should run far, far away. The race kerapan cow stops when the little jockey tired and the night before arrival. As is generally the Madurese, people really saying Sapudi to pet the cow. They bathe every day, providing enough to eat, and rarely hurt or hit.

Cow racing game began to grow rapidly since Jokotole, the son of a kingdom ruled Adipodae Sumenep. Adipodae ancestor known as cow kerapan game, not known when he died. After his death, he was given the title Kyai Pandito Wali Allah Kersaning Sunan Blingi. His tomb is still in keramatkan, and is located in the village of Blingi, Sapudi island. People generally just begging to come blessing and salvation. Even cows kerapan to be contested, taken to the tomb to get good luck, hoping to win the kerapan.

Following will be a brief overview describing kerapan cattle as follows:

1) Maintenance of Cattle kerapan

Beef cattle kerapan not haphazard. Cattle bulls kerapan is preferred. Since childhood cow gets special treatment, other cows usually. To obtain a good boy cow, cows mated to bulls that good anyway. Males are usually chosen his running fast cows, and at least a win in kerapan cow. However, looking stud so it's not easy, because if the cow ever win in kerapan cow was still in good condition, and is still a cow complaints, usually the owner is not allowed as a stud, because abstinence kerapan cattle breeding as long as a cow complaints .

The usual way out taken by addicts kerapan cow is to find a new seed. If there calves by size experts kerapan good beef, for example: pieces of body type kerapan cows, calves kept since childhood began in a special way. Every morning washed, dried up sepenggalah morning sun rays. Inside the cage was set up beachhead. The two front legs are given a higher pedestal than the cows back. The goal is that the cow can stand upright and handsome, and the flight is expected to be rapid.

When seeds mature cows have 6 (six) months, have begun to be taught to run. If you are used to running alone, then try running hand in hand with cow age. Such training is done once a week until the cow's running mate balance. If it turns out to be replaced unequal partner, until his run straight and same speed. Exercise more light-weighted light finally given a heavy burden, as heavy babutonya.

In addition to continuous exercise, do not forget to always be medicinal. This tonic herb in the form of traditional and modern medicine.

Kerapan cows are usually grumpy (not tame). Generally they are more violent and daring to the person, except to pemeliharanya. He was more violent again if you see cows. This is not surprising, first under the influence of medicine, will make the cow fierce and ferocious. Second, since childhood until his limits as a cow kerapan, never touched by cows.

If the limit of his ability as a cow kerapan has decreased, then the cow will be converted functioned as cattle stud. Cattle owners can take advantage of people who mated females cows by giving a certain amount of money. Indeed there is no tariff for it, but usually it's the reward you deserve, with the hope of a good offspring.

Madurese people are fond of going kerapan cows. Many people aspire to have a good kerapan cows. Accordingly, do not hesitate to buy the former cattle kerapan have lost the race arena. The aim is that males can reduce cow kerapan superior.

2) Equipment bull racing

Equipment used in the race fighting cow racing, including:

a) Pangonong

pangonong in the Java language called "couple", ie a piece of wood or bamboo that connects the two cows that often. At the end of this pangonong given "samelas", which is an instrument made of wood or bamboo, used as a place to tie the cow's neck. Near samelas, right and left, usually paying a hole to plug. Paying it was installed as a decoration during the match procession parade laps before the race fighting spur progress.

b) Kaleles

kaleles is a further form of "Nanggala" or plow that has taken bajaknya eyes. Made of 2 (two) pieces of bamboo or solid wood. Arranged in such a way that resembles a ladder, getting to the end of the smaller. Approximately ¼ (quarter) feet from the top tied with pangonong, and approximately one and one half feet from the lower end, given the "Term". In the "kaleles" this "batuto" or similar on horse racing jockey, standing upright with her legs wrapped term for balance.

The very end of "kaleles" that there is "i-dai", the ornate timber size. Carving a wide range, for example, the shape of a dragon, or other decorations. The model is usually a symbol carved ox or cow describe future. In the middle of "i-dai" usually mounted flag or symbol.

Both "panganong" or "kaleles" along with other decorations attached to both, generally is one unified whole. Each can not stand alone, no "pangonong" without "kaleles", or vice versa.

c) cow Ornament

Grama so vibrant and attract spectators, cow kerapan it before competing generally decorated. Watch it be a "Jamang", "Salempang" (serempang), "bat" (necklace), "jebung" or "bai-rombai" (appendix-appendix), and "ler-eler" (appendix-kind necklace ornament appendix also ).

d) A set of Gamelan

instruments enliven kerapan cow, especially when wine-wine laps and win the race or match gamelan is a set consisting of: "rugdurug", "paneres", "panengnga", "tu'-supply '," "non- katik "," cer-cer "," kempul "," gong blow "and drum.

e) Saronen

as a complement gemalan, "Saronen", a kind of native trumpet Madura join menyemarakan race racing cows.

f) Rokong

Rokong is a kind of whip, but not just any whip, "rokong" made of wood and nails. Shaped like a brush cleaning laundry or bathroom. More precisely "rokong" signifies whip nails. Holder "rokong" of course "batuto" (Joki Cow).

g) whip

"Picot" in Indonesian the whip or whip. Functions the same as "rokong", that is to beat cattle kerapan, so his run faster racing up to the finish line.

0 comments:

Post a Comment