Sejarah Palang Merah/ History of the Red Cross FOR JUNIOR HIGH SCHOOL RED CROSS
Sejarah Palang Merah
(Sumber: Loekitodisastro, Soetikno.1991. Pendidikan Palang Merah Remaja Madya. Jakarta: Markas Besar Palang Merah Indonesia)
Terbentuknya palang Merah Internasional
Dari pengalaman dan penghayatan di Solferino, Jean Hendry Dunant menerbitkan buku pada tahun 1862 dengan judul “Un Souvenir de Solferino” atau “Kenangan Solferino”. Buku tersebut menarik perhatian masyarakat. Empat orang di antaranya penduduk warga Negara Swis yang tertarik adalah Dr. Appia, G. I. Dufor, Dr. Maunoir, G. Moynier.
1) Florence Nightingale. Florence Nightingale dilahirkan di Arnostad, Inggris 12 Mei 1820, Florence Nightingale adalah seorang putrid bangsawan yang hidupnya serba berkecukupan. Kecukupan dan kemewahan dalam hidupnya belum memberikan kepuasan apa-apa baginya. Dalam hatinya ada dua jalan yaitu penghidupan enak dan penuh kesenangan tetapi kosong tanpa tujuan atau penghidupan yang mempunyai tujuan tapi harus dikejar dengan segala tenaga. Ternyata Florence Nightingale memilih jalan yang kedua. Florence Nightingale kemauan keras untuk memberikan bantuan kepada yang miskin, orang sakit dan menderita. Pekerjaan merawat orang sakit dipandang sebagai kewajiban hidup sehingga menutut segala tenaga dan jiwanya untuk memperoleh pelajaran perawatan. Untuk menunjukkan tekadnya tersebut Florence Nightingale banyak menghadapi rintangan dan hambatan baik dari keluarganya maupun orang disekitarnya. Karena waktu itu pekerjaan merawat dianggap sangat rendah dan hin. Maka tak pantaslah gadis bangsawan seperti Florence Nightingale melaksanakan pekerjaan yang hina. Namun tak seorang pun yang dapat mematahkan kemauannya dari keadaan buruk di rumah sakit justru menjadikan dorongan kuat baginya. Pada tahun 1840 Ny Elizabeth Fry mendirikan suatu perkumpulan untuk mendidik juru rawat wanita. Dengan Ny. Elizabeth Fry inilah ketika itu Florence Nightingale banyak berhubungan juga dengna mengunjungi orang sakit di rumah sakit. Pada saat terjadi perang Krim, Florence Nightingale menulis surat kabar kepada Sidney Herbert dari Departemen Peperangan yang menyatakan kesediaan untuk dikirim ke garis depan atau Krim. Tapi belum sempat suratnya itu dikirim, Florence Nightingalemenerima surat dari Departemen Peperangan yang meminta pada Florence Nightingale untuk bersedia dikirim ke Scutari untuk merawat orang yang sakit di sana. Rumah sakit di sana penuh dengan orang sakit typus, colera, disentri dan lainnya. Akibat wabah tersebut, jumlah penderita 7 kali lebih besar dari pada korban peperangan. Kuburan digali tak cukup dalam, udara yang mengandung hawa busuk dan hama. Untunglah Florence Nightingale tidak terganggu kesehatannya, bahkan pada malam hari dengan sebuah lampu dia berjalan keliling untuk mengunjungi dan menghibur orang sakit. Oleh karena itu dia mendapat julukan “Putri yang membawa Lampu” (“The Lady with the Lamp”). Setelah angka kematian menurun, rumah sakit menjadi bersih, pekerjaan lancer. Florence Nightingale meninggalkan Scutari, ia pergi ke Krim untuk memeriksa rumah sakit di Sebastovol. Kedatangan Florence Nightingale di sini disambut hangat oleh penguasa setempat. Akan tetapi kemudian Florence Nightingale diserang penyakit panas yang disebut Crimean Fever (Demam Krim). Setelah itu ia pulang ke Scutari untuk bekerja lagi. Pada tanggal 7 Agustus 1856, sampailah Florence Nightingale ke rumah orang tuanya. Atas anjuran Mr. Sidnye Herbert, rakyat Inggris mengumpulkan uang sebanyak 45,000 poundsterling untuk mendirikan sekolah perawat yang dicitakan oleh Florence Nightingale yang disebut “Nightingale Found”. Tahun 1883, dia mendapat anugerah “The Royal Red Cross” dan tahun 1907 mendapat “Order of Merf”. Sekembalinya ke Inggris kesehatannya selalu terganggu. Florence Nightingale meninggal dunia tanggal 13 Agustus 1910 di Inggris. Di makamnya terdapat beragam bunga dari berbagai pihak dan lampu kecil yang serupa benar dengan lampu yang selalu dibawanya pada malam hari di rumah sakit Scutari.
2) Jean Hendry Dunant. Jean Hendry Dunant dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1828 di Jenewa, Swis. Ayahnya seorang anggota Dewan Republik di Swiss, bernama Jean Jacques Dunnant, ibunya bernama Antoinette Colladon. Kedua Colladon melarikan diri ke Jenewa ketika di Perancis ada pengejaran terhadap kaum Nasrani penganut aham Calvijn. Sejak kecil Jean Hendry Dunant mendapatkan pendidikan cara Kristen. Ia dipupuk benih cintah terhadap sesame hidup yang merupakan cermin hidupnya kemudian. Ayahnya ketika itu menjabat sebagai Ketua Yayasan Perawatan Anak Piatu, ibunya juga aktif dalam perawatan anak perempuan piatu. Pengalaman Jean Hendry Dunant bertambah setelah dia pergi ke Afrika Utara. Kemudian Jean Hendry Dunant menulis sebuah buku yang menentang perbudakan dan penjualan budak. Buku yang ditulisnya ini diterbitkan tahun 1857 bersamaan dengan buku yang ditulis oleh Harriet Beecher yang menggambarkan kekejaman perbudakan di Amerika Serikat. Kejadian perang Krim juga cukup menusuk hatinya. Jean Hendry Dunant terharu dan semangatnya berkobar ketika mendengar putrid bangsawan Inggris, Florence Nightingale bertolak memberikan pertolongan dengan merawat dan meringankan beban penderitaan para prajurit yang luka. Musim panas tahun 1859, Jean Hendry Dunant pergi ke Italia menuju Solferino. Di Solferino sedang berkobar perang mati-matian antara Perancis-Sardinia melawan tentara Kerajaan Australia-tentara Raja Franz Josef. Peperangan yang hebat terjadi 24 Juni 1859. Jean Hendry Dunant menyaksikan dengan mata kepala sendiri pertempuran yang dahsyat di bawah terik matahari lebih dari 5 jam. Ia menyaksikan kebuasan dan kekuatan senjata. Lebih dari 40,000 prajurit di antara 309,000 yang luka dan tewas. Dua bulan kemudian ternyata meningkat dua kali lipat, karena kurang sempurnanya perawatan bagi yang luka. Mereka dibiarkan tersebar merebah di mana-mana. Darah mengalir dan jeritan kesakitan tidak dihiraukan. Para dokter dan pembantu yang ikut dalam peperangan kewalahan. Semangat menolong Jean Hendry Dunant berkobar namun hanya punya dua buah tangan yang harus berhadapan dengan puluhan ribu penderita. Ketika itu menangislah dia sambil berlutut menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Pekerjaan yang berat dihadapi oleh Jean Hendry Dunant dengan inisiatif meminta bantuan tenaga dari penduduk asli, pemuda dan pemudi untuk merawat prajurit yang luka dengan semangat dan tulus hati. Ia juga mengusahakan agar para dokter Australia dikeluarkan dari tawanan untuk dapat membantu para korban di berbagai rumah sakit. Dari pengalaman dan penghayatan di Solferino, Jean Hendry Dunant membuat buku yang diterbitkan tahun 1862 dengan judul “Un Souvenir De Solferino” (Kenangan Solferino). Buku tersebut menarik perhatian seluruh dunia dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Buku tersebut merupakan seruan kepada dunia untuk memberikan bantuan terhadap suatu pekerjaan luhur yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam sebuah perkumpulan. Buku tersebut melukiskan bahwa pertolongan sangat kurang terhadap beribu orang yang luka yang kekurangan darah, kehausan, kelaparan, kepanasan , kehujanan dan dimana dalam sekejap merupakan rumah sakit darurat. Rasa terima kasih yang dalam dari prajurit disampaika kepada Jean Hendry Dunant. Mereka yang dipelihara menamkan beliau “orang berbaju putih” dan seumur hidup mereka tak melupakan penolong yang bercita besar ini. Akan tetapi cita-citanya hanya dapat terlaksana melalui perhimpunan penolong. Perhimpunan ini harus ada di semua Negara. Organisasi itu harus senantiasa siap memberikan bantuan dan perawatan kepada yang luka atau sakit di medan perang. Buku “Kenangan Solferino” menarik perhatian umum dan empat orang diantaranya adalah Jenderal Dufour, Mr. Maunoir, Dr. Appia, Gustave Moynier. Mereka berlima dengan Jean Hendry Dunant sepakat membentuk panitia lima merintis cita Jean Hendry Dunant. Pada tahun 1863 diadakan Konferensi Diplomatik dengan menghasilkan syahnya organisasi Palang Merah beserta lambangnya. Panitia lima tersebut dalam perkembangan menjadi Komite Internasional Palang Merah sampai sekarang. Kita sekarang telah mengenal Jean Hendry Dunant yang menyerahkan citanya kepaa kita turun temurun untuk dilanjutkan member cahaya kepada manusia akan dasar kemanusiaan. Pada tahun 1899 Jean Hendry Dunant mendapat beberapa penghargaan dan tahun 1901 mendapat hadiah Nobel untuk perdamaian. Pada tanggal 30 Oktober 1910 ia menutup mata selamanya di Heeden yaitu Desa Appenzellez. Berlima dengan Jean Hendry Dunant, mereka membentuk suatu panitia pada tahun 1863. Mereka merintis terbentuknya Palang Merah. Pada konferensi Diplomatik yang pertama pada tahun 1863 disahkan organisasi Palang Merah dengan lambing Plang Merah di atas dasar putih. Arti lambing tersebut adalah pelindung bagi para petugas, penolong di medan perang. Dalam perkembangannya panitia lima atau komite lima tersebut menjadi Komite Palang Merah yang dalam bahasa Inggrinya di sebut “International Committee of The Red Cross” (ICRC) sampai sekarang. Latar belakang dipakai lambing tersebut adalah bendera Swiss di balik warna karena menghormati pemerintah Negara Swiss, pelopor pendiri Palang Merah adalah warga Negara Swiss, agar palang merh benar-benar netral karena Swiss adalah Negara netral.
IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):
History of the Red Cross
(Source: Loekitodisastro, Soetikno.1991. Red Cross Youth Education Associate. Jakarta: Indonesian Red Cross Headquarters)
The establishment of the International Red Cross
From experience and appreciation in Solferino, Dunant Jean Hendry published a book in 1862 under the title "Un Souvenir de Solferino" or "Memories of Solferino". The book attracted the attention of the public. Four people among Swiss citizens resident who is interested is Dr. Appia, G. I. Dufor, Dr. Maunoir, G. Moynier.
1) Florence Nightingale. Florence Nightingale was born in Arnostad, England May 12, 1820, Florence Nightingale was a princess whose life wealthy nobleman. Adequacy and luxuries in life satisfaction has not given anything to her. In the heart there are two ways that livelihood tasty and full of fun but empty with no purpose or objective of livelihood that have yet to be pursued with all the power. Apparently Florence Nightingale chose the latter path. Florence Nightingale willingness to provide assistance to the poor, the sick and the suffering. Job caring for the sick is seen as an obligation to live so that all the energy and spirit Demand for obtaining care lessons. To show its determination to face the Florence Nightingale many hurdles and obstacles both from his family and the people around him. Since that time the work is considered very low care and hin. So it is not appropriate to noble lady like Florence Nightingale carry a lowly job. But no one who can break his will from a bad situation at the hospital just to make strong push for him. In 1840 Mrs. Elizabeth Fry establish an association for nurses educate women. With Ny. Elizabeth Fry is when it has a lot to Florence Nightingale dengna also visit the sick in hospital. In the event of war Cream, Florence Nightingale wrote to the newspapers of the Department of War Sidney Herbert stating willingness to be sent to the front lines or cream. But have not gotten the letter was sent, Florence Nightingalemenerima letter from the War Department asked Florence Nightingale to be willing to be sent to Scutari to care for the sick there. Hospitals there full of people sick typus, Colera, dysentery and others. As a result of the outbreak, the number of patients 7 times greater than the casualties of war. Grave was dug deep enough, air containing foul weather and pests. Fortunately Florence Nightingale uninterrupted health, even at night with a lamp he walked around to visit and entertain the sick. Therefore, he earned the nickname "The daughter who brings light" ("The Lady with the Lamp"). After declining mortality, hospital to be clean, smooth work. Florence Nightingale left Scutari, he went to the hospital to check for cream in Sebastovol. Florence Nightingale's arrival here was warmly welcomed by the local authorities. But then Florence Nightingale attacked heat illness called Crimean Fever (Fever Cream). After that he returned to Scutari to work again. On August 7, 1856, Florence Nightingale came to her parents. On the instigation of Mr. Sidnye Herbert, the British people to collect money as much as 45.000 pounds to establish a school nurse Florence Nightingale dicitakan by the so-called "Nightingale Found". In 1883, he got the gift of "The Royal Red Cross" and in 1907 received the "Order of MERF". On his return to England his health was always impaired. Florence Nightingale died on August 13, 1910 in England. In the tomb, there are various interest from various parties and small lamps are similar right he always carried with lights at night in the Scutari hospital.
2) Jean Hendry Dunant. Jean Hendry Dunant was born on May 8, 1828 in Geneva, Switzerland. His father was a member of the Assembly of the Republic in Switzerland, named Jean Jacques Dunnant, his mother named Antoinette Colladon. Both Colladon fled to Geneva while in France there is persecution of the Christians believers aham Calvijn. Since childhood, Jean Hendry Dunant get an education in a Christian way. He fostered the sesame seeds cintah life is a reflection of his life then. His father was when it served as the Chairman of the Foundation for Child Care strays, she is also active in the treatment of orphan girls. Experience Jean Hendry Dunant grew after he went to North Africa. Then Jean Hendry Dunant wrote a book against slavery and the slave. The book he wrote was published in 1857 in conjunction with the book written by Harriet Beecher describing the cruelty of slavery in the United States. Genesis cream war also pretty pierced his heart. Jean Hendry Dunant was moved and passion raged when he heard the English nobility daughter, Florence Nightingale contrary to deliver relief and ease the burden of caring for the suffering of the wounded soldiers. The summer of 1859, Jean Hendry Dunant went to Italy to Solferino. At Solferino is raging furiously war between France and Sardinia against army-army Royal Australian King Franz Josef. A great battle going on June 24, 1859. Jean Hendry Dunant witnessed with my own eyes the terrible battle in the hot sun for more than 5 hours. He witnessed the ferocity and strength of arms. More than 40.000 309.000 soldiers among the wounded and dead. Two months later turned out to be more than doubled, due to defective treatment for the wound. They leaned left scattered everywhere. Blood flows and screams of pain were ignored. The doctors and helpers who participated in the war overwhelmed. The spirit of helping Jean Hendry Dunant blazing but only got two hands to deal with tens of thousands of people. When that he wept on his knees before God Almighty. Tough job faced by Jean Hendry Dunant the initiative to ask for help from native workers, young men and women to care for the wounded soldiers with zeal and sincerity of heart. He also arranged for Australian doctors removed from prisoners to help the victims in various hospitals. From experience and appreciation in Solferino, Dunant Jean Hendry made a book published in 1862 under the title "Un Souvenir de Solferino" (Memories of Solferino). The book attracted the attention of the whole world and translated into many languages. The book is a call to the world to provide assistance to a noble job that can be done by any person in a gathering. The book illustrates that much less to help thousands of people are injured in need of blood, thirst, hunger, heat, rain, and where the heartbeat is an emergency hospital. Deep gratitude of the soldiers disampaika to Jean Hendry Dunant. Those who maintained he menamkan "people in white" and do not forget the life they aspire to this great helper. However, his goal can only be achieved through associations helper. The association should exist in all countries. The organization must always be ready to provide assistance and care to the wounded or sick on the battlefield. The book "Memories of Solferino" attracted the attention of the public and four of them are General Dufour, Mr. Maunoir, Dr. Appia, Gustave Moynier. They are five of the Jean Dunant Hendry agreed to form a committee of five pioneering ideals Jean Hendry Dunant. In 1863 the Diplomatic Conference held at generating syahnya Red Cross organization and its symbol. The committee of five is in development to become the International Committee of the Red Cross today. We now have known Jean Hendry Dunant who handed goals hereditary kepaa our members to continue to light the man's basic humanity. In 1899 Jean Hendry Dunant received several awards and in 1901 received the Nobel prize for peace. On October 30, 1910 she closed her eyes forever in the Village Appenzellez Heeden. Five with Jean Hendry Dunant, they formed a committee in 1863. They pioneered the formation of the Red Cross. In the first diplomatic conference in 1863 adopted the symbol of the Red Cross Red signpost on a white base. The meaning of the symbol is a shield for officers, helpers on the battlefield. In the development committee of five or five committees into Committee of the Red Cross in the language Inggrinya called "International Committee of the Red Cross" (ICRC) until now. The background is a symbol used Swiss flag behind the color out of respect for the Swiss State government, the pioneer founder of the Red Cross is Swiss citizen, in order to cross merh completely neutral as Switzerland is a neutral country.
0 comments:
Post a Comment