Sejarah Keraton Yogyakarta/ History of Yogyakarta Palace FOR GENERAL GENERAL


Sejarah Keraton Yogyakarta

(Sumber: Sari, Ina Parawira. 2007. Jogja Punya Cerita. Jakarta: AzkaMuliaMedia.)

Membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, Keraton dalam pikiran masyarakat Jawa diartikan sebagai pusat dunia yang menggambarkan pusat jagad.

                Setelah Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah Jogjakarta. Untuk menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangkubumi membagun sebuah istana pada tahun 1755 di wilayah Hutan Beringan. Tanah ini dinilai cukup baik karena diapit dua sungai, sehingga terlindung dari kemungkinan banjir. Raja pertama di Kesultanan Jogjakarta adalah Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I (HB I).

A)Penamaan. Karaton,KeratonatauKraton, berasal dari kata ka-ratu-an yang berarti tempat tinggal ratu atau raja. Sedangkan arti leih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Keraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang esensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dank e mana akhirnya manusia setelah mati).

                Garis besarnya, wilayah Keraton memanjang 5 Km kea rah selatan hingga Krapyak dan 2 km ke utara berakhir di Tugu. Pada garis ini linier dualism terbalik sehingga bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan ke utara, sebagai lahirnya manusia dari tempat tinggal ke alam fana, dan sebaliknya sebagai proses kembalinya manusia ke sisi Dumadi (Tuhan dalam pandangan Jawa). Sedangkan Keraton sebagai jasmani dengan raja sebagai lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani.

                Keraton menuju Tugu juga diartikan sebagi hidup yang penuh godaan. Pasar Beringharjo melambangkan godaan wanita. Sedangkan godaan akan kekuasaan dilambangkan lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri sebagai lambang manusia yang dekat dengan Tuhan Yang Maha Pencipta (Sankan Paraning Dumadi).

                Secara sederhana, Tugu perlambangan Lingga (Laki-laki) dan Krapyak sebagai Yoni (perempuan). Dan Keraton sebagai jasmani yang berasal dari keduanya.

B) Makna Tata Ruang.

Setelah diguncang gempa tahun 1867, Keraton mengalami kerusakan berat. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII tahun 1889, bangunan tersebut dipugar. Meski ditata letaknya masih dipertahankan, namun bentuk bangunan diubah seperti yang terlihat sekarang.

                Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau BangsalKencana (tempat singgasana raja), terletak dalam garis lurus, ini mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang kea rah Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti).

                Tatanan Keraton sama seperti Keraton Dinasti Mataram pada umumnya. BangsalKencana yang menjadi tempat raja memerintah, menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai tempat menyimpan senjata pusaka Keraton (di ruangan ini terdapat lampu minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam). Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton sehingga untuk mencapai pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian bewa (ombak) di atas lautan.

                Tatanan special Keraton ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagat raya.

                Dari utara ke selatan area Keraton berturut-turut terdapat Alun-alun Utara, Siti Hinggil UTARA, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandhungan Selatan, Siti Hinggil Selatan, dan Alun-alun Selatan (pelataran yang terlindung dinding tinggi).

                Sedangkan pintu yang harus dilalui untuk sampai ke masing tempat berjumlah Sembilan disebut Regol. Dari utara terdapat gerbang, pangurukan, TarubAgung, brajanala, srimanganti, kemagangan, gadhung mlati, kemandhungan, dan gading.

                Brontodiningrat memandang penting bilangan ini sebagai bilangan tertinggi yang menggambarkan kesempurnaan. Hal ini berkaitan dengan Sembilan lubang dalam diri manusia yang lazim disebut babahan hawa sanga.

                Kesakralan setiap bangunan Keraton, diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan pada tempat tersebut.

                Alun-alun, pagelaran, dan Siti Hinggil, pada tempat ini Sultan hanya hadir tiga kali dalam setahun, yakni pada saat Pisowan Ageng Grebeg Maulud, Syawal, dan Besar. Selain itu, juga pada kesempatan yang sangat incidental atau sangat khusus, misalnya pada saat penobatan Sultan dan Penobatan Putra Mahkota atau Pangeran Adipati Anom.

                Keraton Jogjakarta memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas seperti bangunan Keraton umumnya. Tetapi bilak ita mendalami keraton Jogjakarta yang merupakan contoh terbesar dan terindah dengan makna simblis, sebuah filosofi kehidupan, hakikat seorang manusia, bagaimana alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya, dan berbagai perlambangan eksistensi kehidupan terpendam dalamnya

Menapaki Istana Pertama Ngayogyakarta Hadiningrat

                Masih kita menganggap bahwa keraton Yogyakarta yang telah berusia 300 tahun adalah istana pertama Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat? Bila masih, melaju kea rah barat kota Yogyakarta menuju Pesanggrahan Ambarketawang adalah keharusan. Sebab, pesanggrahan itulah yang menjadi istana pertama Ngayogyakarta Hadiningrat selama setahun, dari 9 Oktober 1755 sampai dengan 7 Oktober 1756.
 Melaju dari Kotagede melewati Jalan Kusumanegara dan SultanAgung hingga perempatan Kantor Pos Besar. Dari perempatan itulah, melaju terus hingga pertigaan pertama setelah Pasar Gamping dan berbelok ke kiri. Lalu berbelok ke kiri lagi setelah menemukan papan penunjuk kecil yang menerangkan arah untuk menuju Pasanggrahan Ambarketawang.

                Terlihat tembok yang ternyata merupakan tembok terdepan dari Pasanggrahan Ambarketawang. Sementara itu, areal kosong di sebelah timur tembok tersebut merupakan pintu gerbang menuju bagian dalam pasanggrahan.  Pekarangan di sebelah selatan tembok yang kini ditumbuhi pohon besar merupakan bekas alun-alun Pasanggrahan Ambarketawang, sedangkan tembok di sebelah selatan pekarangan itu merupakan bekas kandang kuda.

                Tak jauh dari tembok terdepan, terdapat sebuah sumur bertuah. Air dari sumur yang berusia sama dengan Pasanggrahan Ambarketawang ini konon mampu menyembuhkan beragam penyakit. Hingga kini, air sumur ini masih digunakan oleh warga setempat.
                Kalau cermat, tepat di sebelah kiri sumur terdapat susunan batu bata yang hampir sejajar dengan tanah Susunan batu bata itu merupakan bagian atas dari saluran bawah tanah, sering disebut urung-urung, yang memanjang ke utara sekitar 6 meter. Kalau merunut ke utara, Anda bisa melihat susunan batu bata serupa yang merupakan ujung dari saluran bawah tanah yang bisah dilewati manusia.

                Masih di areal yang berdekatan, kita dapat menjumpai bangunan semacam lantai bersemen yang telah berlumut. Kami setempat mengira bahwa  bangunan itu adalah lantai semen biasa, bamun ternyata merupakan bagian dari bangunan lantai atas Pasanggrahan Ambarketawang ini. Bahkan, bangunan itu merupakan satu-satunya bangunan lantai atas istana yang masih bisa dijumpai, sebab bangunan lantai atas lainnya telah hilang dan bangunan lantai bawahnya hingga kini tertimbun tanah.

                Selain beberapa bagian Pasanggrahan Ambarketawang, terdapat pula bangunan baru berupa pendopo. Beragam aktivitas kesenian Jawa berlangsung di pendopo itu, seperti Macapat yang dilaksanakan setiap Kamis Pahing dan pencak silat yang dilaksanakan setiap hari Selasa. Tembang Macapat yang dinyanyikan pada saat pertunjukkan biasanya bercerita tentang terbaginya Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, seperti tertulis dalam Babad Giyanti.

                 Selain itu, bagian lain dari bangunan Pasanggrahan Ambarketawang, berupa tembol yang berbatasan lansung dengan makam. Tembok tebal yang kini warnanya juga sudah menghitam itu dipercaya merupakan tembok belakang bangunan Pasanggrahan Ambarketawang yang dahulu memanjang ke barat dantimur.
               
                Di sebelah timur tembok itu, terdapat batu besar yang dipagari menggunakan besi. Batu besar itu sebenarnya merupakan bagian dari gunung gamping (kapur) yang duku terdapat di wilayah ini. Konon, keberadaan gunung gamping itulah yang menyebabkan Pasanggrahan Ambarketawang dipilih sebagai keraton. Kini, gunung gamping itu sudah tidak ada, sebab gampingnya telah banyak dipakai untuk pembangunan rumah.

                Persis di sebelah kanan batu besar, terdapat panggung bat yang sama besarnya seperti batu besarnya dan bukan merupakan bagian dari pesanggrahan Panggung itu digunakan pada salah satu bagian upacara persembahan, yaitu penyembelihan bekakak (boneka pengantin). Upacara tersebut digelar sebab dahulu banyak korban meninggal saat pengambilan batu kapir. Hingga sekarang upacara tetap digelar setahun sekali, setiap bulan Sapar, setelah tanggal 20.

                Biasanya, arakan upacara persembahan sampai ke bekas bagian depan Pasanggrahan Ambarketawang. Di sana juga digelar beragam pentas seni, seperti wayang kulit semalam suntuk, Macapat, gamelan dan sebagainya.   

IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

History of Yogyakarta Palace
(Source: Sari, Ina Parawira., 2007. Jogja Story. Jakarta: AzkaMuliaMedia.)
Stretched between Tugu as the north border and Stage Krapyak on the southern border, between Code River in the east and west Winongo River. Between Mount Merapi and the South Sea, Palace in the minds of the Java community is defined as the center of the world that describe the center of the universe.
After the Treaty of Giyanti, Prince Mangkubumi given Jogjakarta area. To run the administration, Prince Mangkubumi membagun a palace in 1755 in the Forest Beringan. Soil is considered quite good because flanked by two rivers that protect it from possible flooding. The first king in the Sultanate of Yogyakarta is the title of Prince Mangkubumi Sri Sultan Hamengkubuwono I (HB I).
A) Naming. Royal Palaces, KeratonatauKraton, derived from the word ka-queen's residence, which means queen or king. While Leih broad sense, is described simply, that all structures and buildings Kraton area have significant meaning related to essential Javanese philosophy of life, which is Sangkan Paraning Dumadi (where it came from humans dank e where eventually humans after death).
Outline, Kraton area extending 5 km towards south to Krapyak and 2 km to the north end at the monument. In this linear line dualism inverted so that it can be read symbolically philosophical. From south to north, as the birth of the man from the residence to the mortal realm, and vice versa as the return of humans to the Dumadi (God in Javanese view). Meanwhile, the king's palace as physical as a true symbol of the soul that is present in the physical body.
Sultan towards Tugu also be interpreted As with life is full of temptations. Beringharjo market symbolizes women temptation.While the temptation of power is symbolized by Kepatihan Building.Both are located on the right. Straight road itself as a symbol of man closer to God the Creator (Sankan Paraning Dumadi).
Simply put, monument symbolism Linga (Male) and Krapyak as Yoni (female). And the palace as a physical from both.
B) Spatial Meaning.
Hit by the earthquake in 1867, the palace suffered heavy damage.During lane VII in 1889, the building was restored. Although styled lying still maintained, but the shape of the building changed as it looks now.
Monument and Ward Manguntur Tangkil or BangsalKencana (the seat of the king), is located in a straight line, this means, when the Emperor sat on his throne and looking toward the monument, so he will always remember the people (young manunggaling gusti).
Order as Kraton Kraton Mataram dynasty in general.BangsalKencana which became the king's reign, together with Ward Prabayeksa as a place to store weapons Palace heritage (in this room there Wiji Kyai oil lamp, which has always maintained that no outages courtiers). The ward is covered by the court Kedhaton so as to reach the center, must pass through the pages like a series of layered bewa (waves) in the ocean.
Kraton special arrangement is very similar to constellation of mountain and Jambu Dwipa plains, which is seen as central continent universe.
From the north to the south of the palace in a row are North Square, Siti Hinggil NORTH, North Kemandhungan, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, South Kemandhungan, Siti Hinggil South, and South Square (the sheltered yard high wall).
While the doors to go through to get to each place called Regol totaled nine. From the north there is a gate, pangurukan, TarubAgung, brajanala, Srimanganti, kemagangan, gadhung Mlati, kemandhungan, and ivory.
Brontodiningrat saw significant numbers as the highest number that describes perfection. This relates to the nine holes in man, commonly called air babahan dross.
The sacredness of each Palace building is indicated by the frequency and intensity of Sultan activities on the site.
The square, performances, and Siti Hinggil, the place is only present Sultan three times a year, namely during the events of Pisowan Ageng Grebeg Maulud, Shawwal, and Large. In addition, also on the very incidental or very specific, such as the coronation of the Emperor and the Crown Prince or Prince Coronation Duke Anom.
Kraton Yogyakarta is indeed an old building, once damaged and restored. At first glance like a palace buildings generally. But itâ steeped bilak Jogjakarta palace which is the largest and most beautiful examples simblis with meaning, a philosophy of life, the essence of a human being, how nature works and human beings live their lives and various symbols of life existence it
Stepping Palace First Ngayogyakarta
Still we think that the palace of Yogyakarta 300-year-old was the first palace Ngayogyakarta kingdom? When still, drove west toward the town of Yogyakarta to Houses Ambarketawang is imperative.Because, rest house that is the first palace Ngayogyakarta for a year, from October 9, 1755 to October 7, 1756.
 
Drove from Kotagede past and SultanAgung Kusumanegara Road to the intersection of Post Office. From that intersection, drove continue until the first junction after Limestone Market and turn left.Then turn left again after finding a small signposts explaining the directions to get to Pasanggrahan Ambarketawang.
Looks wall turned out to be the front wall of the Pasanggrahan Ambarketawang. Meanwhile, the vacant area on the east wall is a gateway to the inside of the guest house. Courtyard on the south wall that is now overgrown with large trees is the former Ambarketawang Pasanggrahan square, while the south wall in the yard was the old stables.
Not far from the front wall, there is a well auspicious. The water from the wells of the same age with Pasanggrahan Ambarketawang is said to cure a variety of diseases. Until now, this water is used by local residents.If careful, just to the left of the wells contained bricks are almost parallel to the ground brick structure that is the top of the underground channel, often called the culvert, which extends north about 6 feet. If the trace to the north, you can see a similar bricks which is the end of the tunnel through which humans pass bisah.
Still in adjacent areas, we can see similar buildings that have mossy cement floor. We locals thought that the building was plain cement floor, bamun turned out to be part of the building's upper floors Pasanggrahan Ambarketawang. In fact, the building is the only building upstairs palace can still be found, because the upstairs building another floor of the building was lost and buried in the ground beneath it until now.
Besides some parts Pasanggrahan Ambarketawang, there is also a new form of the pavilion building. Various activities took place in the hall of Javanese art, as Macapat held every Thursday Pahing and martial arts are performed every Tuesday. Macapat songs are usually sung during the show tells the story of the division of the kingdom of Mataram became Surakarta and Yogyakarta, as it is written in the chronicles Giyanti.
In addition, other parts of the building Pasanggrahan Ambarketawang, tembol be directly adjacent to the tomb. Thick wall which is now blackened color also is believed to be the back wall of the building that formerly Pasanggrahan Ambarketawang dantimur extends to the west.
On the east wall, there is a large stone-lined using the iron. Large stone was actually a part of the mountain limestone (lime) which duku contained in this region. That said, the presence of limestone mountains that causes Pasanggrahan Ambarketawang selected as a palace. Now, the limestone mountain that is not there, because gampingnya been widely used for the construction of houses.
Just to the right of the stone, there is a bat the same stage as a rock the size and magnitude are not part of the building stage was used in one part of ceremonial offerings, namely the slaughter bekakak (bride doll). The ceremony was held because the first of many victims died while taking rock Gentiles. Until now remain ceremony held once a year, every month Sapar, after 20.
Usually, the procession ceremony of offerings to former front Pasanggrahan Ambarketawang. There was also held a variety of performing arts, such as all-night wayang kulit, Macapat, gamelan, and so on.

0 comments:

Post a Comment