Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur/ Culture in East Java Province, Indonesia FOR GENERAL SOSIOLOGY


Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur

(Sumber: Supriyanto, Henri.1997. Upacara Adat Jawa Timur.Surabaya: Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.)

I) Hakikat dan Makna Kebudayaan

                Adat dalam arti khusus atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya merupakan adat tata kelakuan yang disebut kebudayaan ideal. Selanjutnya adat dapat dibagi dalam empat tingkatan yaitu:

a) Tingkatan nilai budaya adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat;

b) Tingkat norma-norma, lebih konkret adalah sistem norma. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait pada peranan-peranan tertentu manusia dalam masyarakat. Misalnya peranan manusia sebagai sesepuh masyarakat, guru agama, seniman yang masing-masing memiliki norma yang difungsikan sebagai pedoman berkelakuan di masyarakatnya.

c) Tingkat ketiga adalah sistem hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis).

d) Tingkat keempat yang lebih konkret lagi yakni aturan khusus yang mengatur aktivitas manusia dalam batas ruang lingkup tertentu dalam masyarakat. Misalnya aturan lalu lintar, aturan sapaan dalam sistem kekerabatan (Koentjaraningrat, 1974:28-22). Pertanyaan selanjutnya yang muncul ialah apakah bedanya adat dan kebudayaan? Adat adalah bagian ideal dari kebudayaan. Kebudayaan secara universal mempunyai tiga wujud.

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.

2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola pada manusia dalam masyarakat.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1974:15)

                Secara universal konsep kebudayaan amat luas karena meliputi seluruh aktivitas manusia dalam hidupnya. Analisis konsep kebudayaan universal di dunia berupa isi kebudayaan dibedakan dalam tujuh sistem, yaitu:

a) Sistem religi dan upacara keagamaan.

b) sistem organisasi kemasyarakatan.

c) Sistem pengetahuan.

d) Bahasa.

e) Kesenian.

f) Sistem mata pencaharian hidup.

g) Sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1974:12)

                Dalam realitas kehidupan banyak kebudayaan bertahan dan bahkan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan tertentu dari lingkungannya setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu merupakan adat yang dapat disesuaikan. Pada umumnya kebudayaan dikatakan adaptif, karena kebudayaan itu melengkapi manusia dengan cara penyesuaian diri pada kebutuhan fisiologis dari badan mereka sendiri, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis, maupun pada lingkungan sosialnya. (Ihromi, 1986:28)

                Upaya pelestarian “Upacara Adat Jawa Timur” ini menghadapkan pada era globalisasi, yakni era teknologi komunikasi kontemporer. Alvin Toffler menyimpulkan bahwa Negara berkembang akan meninggalkan gelombang pertama atau tradisi komunikasi agraris, dan langsung memasuki gelombang ketiga yakni era teknologi komunikasi elektronika yang canggih. Secara fisik jarak local geografis diterobos oleh sistem yang menembus ruang dan waktu. A. Muis dalam artikelnya yang berjudul “Proyeksi globalisasi informasi” mengatakan bahwa semua bidang kehidupan dirambahnya, pengaruhnya kompleks dan terjadinya ramifikasi. Keunikannya ialah sistem social, sistem budaya dan pandangan hidup dirambah, tidak memilih bangsa dan Negara.

                Terhadap situasi kemajuan teknologi komunikasi tersebut, telah menghadirkan dua reaksi sudut pandang yang berbeda.
Reaksi pertama sudut pandang positif. Reaksi ini melihat “Akhir Abad 20” sebagai titik tolak dalam proses kemajuan dan peradaban modern yang bergerak ke arah yang lebih positif, lebih baik. Maka figure Alvin Toffler dan Peter Drucker yang dijadikan acuan. Dalam versi yang berbeda Francis Fukuyama menulis :The End of Story” (The National Interest, 1989) yang mengatakan bahwa kini manusia sungguh berada di ambang zaman modern yang dirintis tiga atau empat abad yang silam. Fasisme dan komunisme hanyalah intermezo sejarah, atau masa perjalanan “absule spirit” (Subangun, 1994:2).

                Reaksi kedua sudut pandang negative. Reaksi ini melihat tahap sekarang tahap “terminal” dalam arti medik, maka dalam tahap ini manusia berada dalam arus kecepatan perubahan yang terus melandanya. Kehidupan manusia dalam “drama kolosal”, dan setiap insane hanya tampil sebagai “figuran”. Budiawan dalam artikelnya yang berjudul “Kapitalisme Global, Kebudayaan dan Spiritualis Baru” mengatakan bahwa manusia dalam kata-kata Yose Ortega Y. Gasset (1961:56) – lahir secara tergesa-gesa, terasing dari sejarahnya sendiri, kurang memiliki jati diri, terhanyut dalam gelombang raksasa yang digerakkan oleh kekuatan yang anonym (Budiawan, 1994:361-367).

                Dua reaksi itulah yang dikebal sebagai pola modernism dan pasca modernism (post modernism). Istilah budaya global (global culture) itu merupakan sinkronisasi budaya besar-besaran dari satu arah (dari Negara besar, masuk utama siaran televise ke Negara penerima tayangan televise), demikian pernyataan CJ Hamelink. Selanjutnya Jun Kuncoro mengingatkan agar kita hati-hati, tidak merancukan budaya asing yang memang mendunia dan budaya local yang memang tidak mendunia (Kuncoro:1994:4).

2)Peradaban dan Nilai-Nilai Tradisi

                Peradaban berasal dari kata adab (bahasa Arab) mempunyai makna kesopanan, kehormatan, budi bahasa dan tata karma. Istilah peradaban akhirnya disejajarkan dengan istilah “civilization” (bahasa Inggris). Makna peradaban pun dapat dilihat dari berbagai sudut pandang ilmunya, misalnya sosiologi, antropologi, histografi, dan sebagainya.

                Peradaban yang dimaksudkan di dalam buku ini adalah manifestasi cara berpikir/ merasa untuk mempraktiskan, memudahkan, member “comfort” (kesenangan/ kenikmatan) dalam kehidupan (Gazalba, 1963:78).

                Masyarakat merupakan suatu perserikatan manusia. Kreativitas masyarakat berasal dari manusia yang mendukungnya. Kreativitas yang disebut seni rakyat, lagu rakyat atau tari-tarian dan mantra-mantra yang diucapkan oleh pawing (dukun) pada mulanya dimulai dari seorang sang pencipta. Selanjutnya hasil kreativitas dalam komunitas masyarakat tradisional tersebut di-“claim” sebagai karya kolektif atau karya masyarakatnya (Kayam, 1981:39).

                Dalam tatanan kultur/ budaya Jawa, masyarakat dipilih menjadi dua bagian yakni komunitas pertanian/ pedesaan dan komunitas dipusat pemerintahan (kota/ibukota kerajaan). Komunitas masyarakat pertanian yang tersebar di pedesaan oleh Robert Redfiled (1956, dalam Umar Kayam pada buku “Seni, Tradisi dan masyarakat” 1981) dikategorikan pada pola kebudayaan kecil (peradaban kecil atau dalam bahasa Jawa “Jagad cilik”). Sedang kreativitas dari komunitas kraton (pusat pemerintahan/ masyarakat kota) dikategorikan ke dalam pola kebudayaan besar (peradaban besar, atau dalam bahasa Jawa “Jagad gedhe”) (Kayam 1981:39).

                Perkembangan selanjutnya terjadilah perembesan budaya dari peradaban kecil ke peradaban besar, atau sebaliknya dari peradaban besar masuk ke peradaban kecil. Di samping itu terjadi pula pola tradisi menetap yakni yang berada di lingkungan peradaban kecil dan besar tidak bergeser, bertahan di lingkungan komunitasnya masing-masing.

                Upacara adat dalam buku ini cenderung mengacu ke pola peradaban kecil atau tradisi kecil (yang berasal dari masyarakat pedesaan) karena latar kesejarahan masyarakat Jawa TImur yang semenjak abad ke-19 telah digantikan oleh Bupati-Bupati yang diangkat oleh Pemerintah penjajah Belanda (Partaningrat Arifin, 1995 dalam babad Blambangan).

                Upacara adat yang terkait dengan tradisi di masyarakatnya memiliki berbagai macam ragam dan nilai tradisi. Nilai tradisi yang dimaksudkan terkait dengan etika masyarakat. Hazim Amir (1991:97-98) mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang mengajar manusia bagaimana seharusnya hidup. Atau menurut Planto, etika adalah ilmu yang mengajarkan manusia :bagaimana manusia bijaksana hidup”. Hal tersebut dikatakan  seusai dengan konsep etika menurut wayang, adalah nilai “kesempurnaan” yang lengkap, utuh dan tanpa cacat karena ia merupakan rangkuman semua nilai luhur (atau nilai “kesempurnaan”) yang ada dalam wayang, yakni nilai-nilai: Kesatuan sejati, kebenaran sejati, keadilan sejati, kesucian sejati, keagungan sejati, kemercusuaran sejati, keabadian sejati, keteraturan mikroksmos sejati, kekasih sayangan sejati, ketanggung jawaban, kehendak niat dan tekad sejati, kebijaksanaan sejati, realita pengetahuan sejati, kesadaran keyakinan sejati, keberanian, semangat dan pengabdian sejati, kekuatan sejati, kekuasaan, kemandirian dan kemerdekaan sejati, kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan dan kesentosaan sejati.

                Permasalah yang muncul apakah nilai upacara adat yang tradisional tersebut terkait dengan nilai kesempurnaan sejati dalam dunia wayang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang masih memerlukan penelitian khusus. Pada langkah awal amat diperlukan deskripsi upacara adat Jawa Timur.

3) Upacara Adat dan Kultur Area

                “Asal bangsa menunjukkan bahasa”, demikian bunyi pepata dalam bahasa Indonesia. Serangkaian tradisi dalam upacara adat yang dilengkapi dengan sesajian, music (tetabuhan/ gamelan) juga diucapkan syair atau kidung. Syair dan kidung tersebut pada komunitas masyarakat pedesaan terekspresikan dalam bahasa daerahnya.

                Bahasa daerah tidak hanya sebagai media komunikasi, tetapi juga berfungsi sebagai ekspresi seni dan wadah budaya, Provinsi Jawa Timur pada abad XXI dihuni oleh lebih 34 juta jiwa, tercatat lebih dari 26 juta berbahasa Jawa, dan lebih dari 7 juta berbahasa Madura. Di daerah tertentu dijumpai kenyataan pemakaian bahasa Jawa berdampingan dengan pemakaian bahasa Madura. Di sekitar lereng Gunung Bromo, Semeru dan Tengger masyarakatnya dikebal sebagai pemakai bahasa Jawa dialek Tengger. Di ujung timur provinsi ini yakni wilayah Daerah Tingkat II (DATI II) Kabupaten Banyuwangi sebagian besar penduduknya berbahasa Jawa dialek Banyuwangi atau bahasa Osing.

Bahasa daerah tersebut berfungsi sebagai berikut:

1) Lambang di dalam keluarga dan masyarakat di daerah,
2) lambang identitas daerah,
3) alat komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat daerah,
4) bahasa pengatar di Sekolah Dasar (SD) di daerah tertentu pada kelas 1 sampai dengan Kelas tiga,
5) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Sugianto 1986:2/Seminar Politik Bahasa Nasional 1975).

                Masyarakat Jawa Timur berbahasa daerah Jawa dan Madura. Hubungn masyarakat Jawa dan Maudra tertanam jauh sebelum abad ke-12, buktinya pada zaman Singosari patih Wiraraja diangkat menjadi Bupati Sumenep. Sewaktu R. Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Tarik huga memperoleh dukungan prajurit asal Madura. Di wilayah timur Jawa Timur yang dihuni masyarakat Blambangan (Banyuwangi) memiliki cirri khas bahasa Osing dengan cirri seni daerah yang khas pula (Partaningrat Arifin, 1995).

                Sehubungan dengan uraian di atas, masyarakat Jawa Timur dapat diklasifikasikan berdasarkan kultur area (geografis budayanya). Kultur area yang dimaksud sebagai berikut:

A) Kultur Area budaya Jawa: Kota Madya Blitar, Kabupaten Blitar, Kota Madya Kediri, Kabupaten Kediri, Kota Madya Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek. Kultur area budaya Jawa dengan orientasi bahasa Jawa Surakarta atau Yogyakarta. Masyarakat tersebut menggunakan bentuk sapaan bahasa Jawa sebagai berikut: kowe, bocah-bocah, adhimas, kangmas, dhiajeng, biyung, ibu, bapak, rama, eyang kakung, eyang putri.

B)Kultur Area Brang Wetan (Residu Pusat Majapahit, Pesisiran dan Tengger): Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Gresik, Kabupaten Jombang, Kabupaten Lamongan, Kota Madya Malang, Kabupaten Malang, Kota Madya Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Sidoarjo, Kota Madya Surabaya, Kabupaten Tuban. Kultur area Brang Wetan, residu budaya pusat Majapahit dengan ciri khas bentuk sapaan bahasa Jawa sebagai berikut: arek-arek, koen, rika, cacak, wak ning (dialek Surabaya dan Malang), terselip dialek khas Tengger dengan ciri kultur terpengaruh agama Hindu dan Budha. Kultur area Jawa Pesisiran lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Brang Wetan yang berdampingan dengan bahasa Madura (khusus pesisir serta dijumpai dialek khas misalnya BojonegoroL bapak-em, simbok-em, pelem-em (artinya: bapakmu, simbokmu dan manggamu).

C) Kultur Area Madura: kabupaten Bangkalan, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Jember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Pamekasan, Kota Madya Pasuruan, Kota Madya Probolinggo, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Situbondo. Kultur area Madura yakni masyarakat Jawa Timur yang berbahasa Madura dengan cirri khas Barat dan Madura Timur.

D) Kultur Area Banyuwangi (Osing): Kabupaten Banyuwangi. Tersebar di 17 wilayah kecamatan Daerah Tingkat II (Dati II) Kabupaten Banyuwangi. Mereka memiliki kesesnian khas Janger (Damarwulan), Gandrung dan Prabulara.

                Ragam kultur area tersebut yang difungsikan untuk memilah upacara adat di Jawa Timur. Ragam upacara adat yang dikelompokkan ke dalam empat (4) wilayah karena kultur aea Jawa Brang Wetan disatukan dengan wilayah Jawa Pesisiran.

IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

Culture in East Java Province, Indonesia
(Source: Supriyanto, Henri.1997. Timur.Surabaya Javanese Ceremony: Department of Tourism and Cultural District of the Province of East Java.)
I) The Nature and Meaning of Culture
Peoples in a special sense or customs in the plural is customary code of conduct called the cultural ideal. Furthermore peoples can be divided into four levels, namely:
a) Depth of cultural values ​​is conceived ideas of things most valued in society;
b) The level of norms, more concrete is a system of norms. Those norms are cultural values ​​that have been linked to certain human roles in society. For example, the role of men as community elders, religious teachers, artists who each have norms that functioned as a guide to behave in society.
c) The third level is a system of law (whether written or unwritten).
d) The fourth level is more concrete again the special rules that govern human activities within the scope of a particular society. For example, the rules and lintar, greeting rules in the kinship system (Koentjaraningrat, 1974:28-22). The next question arising is whether the difference between customs and culture? Rituals are part of the cultural ideal. Universal culture has three forms.
1) The form of culture as a complex of ideas, ideas, values, norms, rules and so on.
2) The form of culture as a complex activity patterns in human behavior in society.
3) The form of culture as objects of human handiwork (Koentjaraningrat, 1974:15)
In universal immense cultural concept as it covers all human activities in his life.Analysis of the concept of universal culture in the world of culture in the form of content divided into seven systems, namely:
a) The system of religion and ritual.
b) the system of social organization.
c) System knowledge.
d) language.
e) Art.
f) The life livelihoods.
g) System technology and equipment (Koentjaraningrat, 1974:12)
In the reality of the lives of many cultures to survive and even thrive. This shows that the habits developed by a community tailored to the specific needs of each custom environment that enhances the resistance of a society in a given environment is a custom that can be adjusted. In general, said adaptive culture, because the culture of human complement by way of adjustment to the physiological needs of their own bodies, and adjustment to the environment of a physical-geographical, as well as the social environment. (Ihromi, 1986:28)
Conservation "Ceremony East Java" this exposes the era of globalization, the era of contemporary communication technologies. Alvin Toffler concludes that developing countries will leave the first wave of agricultural communications or tradition, and immediately entered the third wave of the era of advanced electronic communication technologies. Physically local geographical distance intruded by the system through space and time. A. Muis in his article entitled "Projection globalization of information" said that all areas of life dirambahnya, complex effects and the ramifications. Its uniqueness is the social system, cultural system and way of life encroached upon, do not choose the nation and the State.
The situation of the advances in communications technology, has presented two different viewpoints reaction.The first reaction of a positive outlook. This reaction see "End of the 20th Century" as a starting point in the process of progress and modern civilization are moving toward a more positive, the better. Then figure Alvin Toffler and Peter Drucker were used as a reference. In a different version of Francis Fukuyama writes: The End of Story "(The National Interest, 1989) as saying that the man is now truly on the verge of the modern era that began three or four centuries ago. Fascism and communism just stir the history, or the trip "absule spirit" (Subangun, 1994:2).
The second reaction was negative viewpoint. This reaction is now at Stage stage "terminal" in the medical sense, the human being at this stage in the current pace of change continued through her. Human life in the "colossal drama", and every insane just appear as "extras". Budiawan in his article entitled "Global Capitalism, Culture and the New Spiritualists" said the man in the words of Ortega Y. YoseGasset (1961:56) - was born in a hurry, alienated from its own history, lack of identity, lost in the giant waves driven by the strength of the anonymity (Budiawan, 1994:361-367).
Two reaction pattern that is dikebal as modernism and post modernism (post modernism). The term global culture (global culture) was a massive cultural synchronization from one direction (from the state, the main entry to the country receiving television broadcasts television shows), according to the CJ Hamelink.Furthermore Jun Kuncoro reminds us to be careful, not to confuse foreign culture is global and the local culture is not global (Kuncoro: 1994:4).
2) Civilization and Values ​​Tradition
Civilization comes from the word adab (Arabic) has the meaning of decency, honor, courtesy and manners. The term civilization eventually equated with the term "civilization" (English). The meaning of civilization can be seen from various points of view of science, such as sociology, anthropology, histografi, and so on.
Civilization is meant in this book is a manifestation of a way of thinking / feeling for mempraktiskan, facilitate, member "comfort" (pleasure / enjoyment) of life (Gazalba, 1963:78).
Society is an association of men. Creativity comes from the human communities that support them. Creativity is called folk art, folk songs or dances and incantations spoken by pawing (shaman) was originally started from a creator.Furthermore, the results of creativity in traditional communities is in-"claim" as a collective work or community work (Kayam, 1981:39).
In order culture / Javanese culture, people selected into two parts, namely the agricultural community / rural and community centered government (city / capital of the kingdom). Farming communities scattered in the countryside by Robert Redfiled (1956, Umar Kayam in the book "Art, Tradition and the" 1981) categorized the cultural pattern is small (tiny civilization or in Javanese "little universe"). Being the creativity of the community palace (the seat of government / urban) were categorized into the major cultural patterns (great civilization, or in Javanese "gedhe Universe") (Kayam 1981:39).
Further development of civilization there was little cultural permeation into great civilizations, or otherwise of the great civilizations into a small civilization. In addition there is also a pattern that is a settled tradition in the small and large civilization not shifted, persist in the environment communities respectively.
Ceremonies in this book tends to refer to a small pattern or tradition of a small civilization (which comes from rural communities) because of the historical background of the East Java since the 19th century have been replaced by the Regent-Regent appointed by the Dutch Government (Partaningrat Arifin, 1995 the Chronicle Blambangan).
Ceremonies associated with the tradition in the community has a wide range of diversity and traditional values. Traditional values ​​associated with the intended public ethics. Hazim Amir (1991:97-98) says that ethics is a science that teaches people how to live. Or by planto, ethics is the science that teaches humans: how wise man alive ". The move came after the concept of ethics according to the puppet, is the value of "perfection" is complete, intact and without disabilities because it is a summary of all the noble values ​​(or value of "perfection"), which exist in the puppet, ie values: true unity, truth True, true justice, true holiness, true greatness, kemercusuaran true, true immortality, order mikroksmos true, true beloved lover, ketanggung answer, will the true intentions and determination, true wisdom, true knowledge of reality, awareness of the true faith, courage, passion and devotion True, true power, power, independence and true freedom, happiness, peace, prosperity and true peace.
Problems that arise if the value of traditional ceremonies that are associated with the value of true perfection in the world of puppets? To answer that question it still requires research. At the very necessary step description ceremonial East Java.
3) Ceremony and Culture Area
"As long as people show language", so sounds pepata in Indonesian. A series of ceremonial traditions that come with offerings, music (tetabuhan / gamelan) also spoken poetry or song. Poetry and songs are in rural communities is expressed in the language of the region.
Not only the local language as a medium of communication, but also serve as an expression of art and culture dish, East Java Province XXI century inhabited by over 34 million people, more than 26 million Java language, and more than 7 million speak Madura. In fact the use of certain areas found alongside Javanese Madurese language usage. Around the slopes of Mount Bromo Tengger Semeru and society as a user dikebal Tengger Javanese dialect. At the eastern end of the region's provincial-level regions II (municipal) Banyuwangi predominantly Javanese dialect or language Osing Banyuwangi.
Language serves the following areas:
1) Coat in the family and community in the area,2) a symbol of regional identity,3) a means of communication within the family and local community,4) pengatar language in elementary school (SD) in certain areas on the class 1 to class three,5) development tools and support local culture (Sugianto 1986:2 / Politics National Language Seminar 1975).
Communities in East Java language Java and Madura. Hubungn Maudra embedded Java community and long before the 12th century, the evidence at the time duke Wiraraja Singosari Sumenep appointed regent. When R. Wijaya established Majapahit kingdom in huga Pull the support of soldiers from Madura.In the eastern region of East Java, which inhabited the Blambangan (Banyuwangi) has the hallmark Osing language with a distinctive regional characteristics of art as well (Partaningrat Arifin, 1995).
In connection with the above description, the East Java area can be classified based on culture (cultural geography). Culture area is as follows:
A) Culture Javanese Area: Municipality Blitar Blitar, Kediri Municipality, Kediri District, Municipality Madison, Madison County, Magetan, Ngawi district, Pacitan, Ponorogo, Tulungagung, Trenggalek. Javanese culture area culture orientation Javanese Surakarta or Yogyakarta. Society uses the Java language greeting form as follows: kowe, boys, adhimas, kangmas, dhiajeng, biyung, mother, father, rama, grandparent Kakung, grandparent daughter.
B) Cultures Around Brang Wetan (residues Center Majapahit, coastal and Tengger): Bojonegoro, Gresik regency, Jombang, Lamongan, Municipality Malang, Malang, Mojokerto Municipality, Mojokerto, Nganjuk, Probolinggo district, Sidoarjo , Municipality Surabaya, Tuban. Brang area Wetan culture, cultural residue Majapahit center with typical Javanese form of greeting as follows: arek-arek, koen, rika, comrade, wak ning (dialect Surabaya and Malang), tucked Tengger dialect distinctive culture traits influenced by Hinduism and Buddhism .Culture of Java coastal area more use of the Java language Brang Wetan adjoining the Madurese language (especially coastal and dialect typical example is found BojonegoroL father-em,-em simbok, pelem-em (meaning: your father, simbokmu and manggamu).
C) Culture Area Madura: Bangkalan district, District Bondowoso, Jember, Lumajang, Pamekasan, Pasuruan Municipality, the Municipality Probolinggo, Sampang district, Pasuruan, Sumenep, Situbondo. Madura, namely the culture area of ​​East Java, Madura with hallmark speaking West and East Madura.
D) Culture Area Banyuwangi (Osing): Banyuwangi. In 17 districts Regional Level II (municipal) Banyuwangi. They have the typical kesesnian Janger (Damarwulan), Gandrung and Prabulara.
Variety of culture area, which functioned to sort ceremonies in East Java. Variety ceremonies were grouped into four (4) areas because aea Javanese culture Brang Wetan combined with coastal Java.

0 comments:

Post a Comment