Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta/ Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta FOR GENERAL GENERAL


Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta

(Sumber: Lumintaintang, Yayah B. 2004. Istana Kepresidenan Republik Indonesia Yogyakarta.  Sekretariat Presiden Republik Indonesia.)

Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta terletak di ujung selatan Jalan Akhmad Yani (yang dahulu Jalan Malioboro), Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondaman, Kotamadya Yogyakarta. Komplek Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta di ketinggian 120 meter dari permukaan laut. Kompleks ini dibangun di atas lahan seluas 43.585 meter persegi, di pusat keramaian kota, jantung ibu  kota Daerah Istimewa Yogyakarta; Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta menghadap ke arah Timur, berseberangan dengan Museum Benteng Vredeburg, bekas benteng Kolonial Hindia Belanda.

                Sejak didirikannya, Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta tidak banyak berubah. Di halaman serambi depan tampak sebuah patung raksasa penjaga pintu (dwarapala) setinggi dua meter. Selain itu, terdapat sebuah tugu Dagoba (yang oleh orang Yogyakarta disebut Tugu Lilin) setinggi tiga setengah meter, yang senantiasa menyalakan api semu di puncaknya. Tugu itu terbuat dari batu andesit. Halaman belakang istana ditumbuhi oleh pepohonan besar dan tinggi yang dedaunannya amat lebat dan rindang sehingga tampak seakan merindangi bangunan Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta. Udara di sekitar istana cukup panas sesuai dengan letaknya di atas permukaan laut.

                Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta dikenal juga dengan nama Gedung Agung atau Gedung Negara. Penamaan itu berkaitan dengan salah satu fungsi gedung utama istana yaitu sebagai tempat penerimaan tamu-tamu agung. Istana ini merupakan salah satu istana dari keempat istana kepresidenan lainnya yang memiliki peranan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, di Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta, lahir seorang putrid Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, yakni Megawati Soekarnoputri, yang kini menjadi Presiden Kelima Republik Indonesia, juga terlahir.

Riwayat Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta

                Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta bermula dari rumah kediaman resmi Residen Ke-18 di Yogyakarta (1823-1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks Smissaert, yang sekaligus merupakan penggagas atau pemrakarsa pembangunan Gedung Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta ini. Gedung itu didirkan pada bulan Mei 1824 di masa penjajahan Hindia Belanda. Ini berawal dari keinginan adanya “istana” yang berwibawa bagi residen Hindia Belanda. Aristeknya bernama A. Payen; dia ditunjuk oleh gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dinas pada masa itu. Gaya bangunannya mengikuti arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.

                Pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830) yang oleh penjajah Hindia Belanda disebut Perang Jawa mengakibatkan pembangunan gedung ini tertunda. Pembangunan kembali dilanjutkan setelah perang itu usai (1832). Pada tanggal 10 Juni 1867 di Yogyakarta, musibah gempa bumi terjadi dua kali pada hari yang sama. Salah satu akibatnya, tempat kediaman resmi residen Belanda itu runtuh; rumah itu ambruk. Namun, bangunan baru pun didirikan dan rampung pada tahun 1869. Bangunan inilah yang menjadi Gedung Induk Kompleks Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta yang kini disebut juga Gedung Agung.

                Sejarah juga mencatat bahwa pada tanggal 19 Desember 1927, status administrative wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkat menjadi provinsi. Penguasa tertinggi Belanda bukan lagi residen melainkan gubernur. Dengan demikian, gedung utama yang selesai dibangun 1869 tersebut menjadi kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta hingga masuknya Penjajah Militer Jepang. Beberapa gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J. E. Jasper (1926-1927), P. R. W. van Gesseler Verschuur (1929-1932). H. M. de Kock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-1940), serta L. Adam (1940-1942). Pada masa Penjajahan Militer Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta yaitu Koochi Zimmukyoku Tyookan.

                Riwayat Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta itu menjadi sangat penting dan sangat berarti tatkala pemerintah Republik Indonesia berhijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta yang mendapat julukan Kota Gudeg tersebut resmi menjadi ibu kota baru Republik Indonesia yang masih muda dan istana pun berupah menjadi Istana Kepresidenan Republik Indonesia, rumah kediaman Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, beserta keluarganya. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarganya ketika itu tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072/Pamungkas, yang tidak jauh dari kompleks istana. Sejak itu, seperti telah dikemukakan, riwayat istana (terutama fungsi dan peranannya )berubah: Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia ( pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Republik Indonesia yang masih muda itu pun dibentuk dan dilantik di Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta.

                Sejarah juga mencatat bahwa dalam perjalanan kehidupan pribadi Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, ketika Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati melalui Agresi Militer Belanda Pertama, tepatnya pada tanggal 21 Juni 1947, Presiden harus meninggalkan istrinya (Fatmawati) serta kedua anaknya, tanpa pembantu, di Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta. Betapa sulit digambarkan bahwa salah satu dari kedua anak yang tercatat dalam sejarah Yogyakarta itu adalah Presiden Kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri.

                Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta digempur dari segala penjuru udara oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor. Peristiwa ini dikenal dengan Agresi Militer Kedua itu mengakibatkan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, besrta beberapa pembesar lainnya diasingkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka, dan baru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Mulai tanggal tersebut, Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta kembali berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden. Namun, sejak tanggal 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi tempat kediaman Presiden.

Fungsi Utama Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta

                Perubahan besar yang terjadi pada Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta atau Gedung Agung adalah fungsinya dalam pemerintahan, apalagi jika ditautkan dengan fungsinya pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gedung Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta ini memang pernah menyandang fungsi pusat pemerintah Republik Indonesia selama tahun-tahun revolusi. Bahkan, Gedung Agung ini merupakan istana pertama yang pernah didiami oleh Presiden Republik Indonesia.

                Pada masa kemerdekaan seperti halnya fungsi istana kepresidenan lainnya, Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta atau Gedung Agung adalah kantor kediaman resmi Presiden Republik Indonesia. Fungsinya yang lain merupakan persinggahan atau sebagai tempat menerima atau menginap tamu-tamu Negara, baik secara resmi datang untuk kepentingan kenegaraan maupun secara tidak resmi melakukan kunjungan ke Candi Borobudur atau objek-objek kebudayaan Indonesia.

                Sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan adalah fungsi Gedung Agung pada awal berdirinya Republik Indonesia (ditempati: 3 Juni (1947). Pada saat itu Gedung Agung berfungsi sebagai tempat pelantikan Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, selama tiga tahun (1946-1949), gedung Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta sebagai tempat kediaman resmi Presiden Pertama Republik Indonesia.
                Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden Kedua Republik Indonesia, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Parade Senja pada Setiap Tanggal 17, di samping itu Acara Perkenalan Taruna-Taruna Akabri Udara yang Baru, sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru Lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan tanggal 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta digunakan sebagai tempat memperingati Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.

                Sejalan dengan fungsinya kini, lebih dari 65 kepala Negara, termasuk kepala pemerintahan dan tamu-tamu Negara telah berkunjung atau bermalam di Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta. Tamu Negara yang pertama berkunjung ke gedung Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta adalah Presiden Rajendra Prasad dari India (1958). Pada tahun enam puluhan, Raja Bhumibol Adulyadej dari Muangthai (1960) dan Presiden Ayub Khan dari Pakistan (1960) berkunjung dan bermalam di Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta. Setahun kemudian (1961), tamu Negara itu adalah Perdana Menteri Ferhart Abbas dari Aljazair. Pada tahun tuju puluhan, yang berkunjung adalah Presiden D. Macapagal dari Filipina (1971), Ratu Elizabeth II dari Inggris Raya (1974), serta Perdana Menteri Srimavo Bandaranaike dari Srilangka (1976). Kemudian, pada tahun delapan puluhan, tamu Negara adalah Perdana Menteri Lee Kuan Yew dari Singapura (1980), Yang Dipertuan Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam (1984). Tamu-tamu penting lain yang pernah beristirahan di Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta antara lain, Putri Sirindhom dari Muangthai (1984), Ny. Marilyn Quayle, Isteri Wakil Presiden Amerika Serikat (1984), Presiden F. Mitterand dari Perancis (1988), Pangeran Charles bersama Putri Diana dari  Inggris Raya (1989), dan Kepala Gereja Katolik Sri Paus Paulus Johannes II (1989).

                Pada tahun Sembilan puluhan, para tamu agung yang berkunjung ke gedung Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta adalah Yang Dipertuan Agong Sultan Azlan Shah dari Malaysia (1990), Kaisar Akihito dari Jepang (1991), dan Putri Basma dari Yordania (1996).

Bagian-bagian Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta

                Secara umum, perjalanan perkembangan bagian Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta tidak banyak berubah, baik dari gedung induknya: Gedung Agung, maupun kepada wisma-wismanya: Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretawu, dan Wisma Saptapratala. Selain keempat wisma tersebut, sejak 20 September 1955, Kompleks Seni Sono seluas 5.600 meter persegi, yang terletak di sebelah selatan, yang semula milik Departemen Penerangan, kini menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta. Garis haluan cenderung banyak melakukan pemeliharaan terhadap istana ini; contohnya Ruang Kesenian direnovasi, kursi dan lampu hiasnya diganti. Dari segi perabot atau perlengkapan tampak kesesuaian antara fungsi kamar atau ruangan dengan perabot atau peralatan yang mengisinya, bahkan benda seni yang bernilai tinggi yang ada di dalamnya. Secara keseluruhan, tampak sangat indah, menarik dan bergengsi tinggi.

Gedung Induk

                Sejak didirkan dua abad yang lalu hingga kini, Gedung induk kompleks Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta tidak pernah berubah; bentuknya sama seperti ketika selesai dibangun pada tahun 1869. Ruangan induknya disebut Ruang Garuda dan berfungsi sebagai ruang resmi penyambutan tamu Negara atau tamu agung yang lain. Di ruangan ini pula cabinet Republik Indonesia dilantik ketika ibu kota Negara berpindah ke Yogyakarta. Pada dinding ruangan yang bersejarah ini tergantung gambar pahlawan nasional, di antaranya adalah gambar Pangeran Diponegoro, R. A. Kartini, Dokter Wahidin Soedirohusodo, dan Tengku Cik Di Tiro.

                Di sisi lain Gedung Induk terletak Ruang Tidur Presiden beserta keluarga, sedangkan di sisi utara terletak kamar tidur yang disediakan bagi Wakil Presiden beserta keluarga dan bagi tamu Negara atau tamu agung yang lain beserta keluarga. Di bagian depan kanan Gedung Induk terdapat ruangan yang diberi nama Ruang Soedirman untuk mengenang perjuangan Panglima Besar Soedirman dalam memimpin gerilya melawan Belanda. Di ruangan inilah dulu Panglima Besar Soedirman mohon diri kepada Presiden Soekarno, untuk meninggalkan kota dalam rangka memimpin perang gerilya melawan Belanda. Di bagian depan kiri gedung utama terdapat ruangan yang diberi nama Ruang Diponegoro, untuk mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Dalam ruangan ini tampak pula lukisan atau foto beliau sedang berkuda. Penataan dan suasana ruangan ini tidak berlebihan tetapi terkesan resmi. Ini sangat sejiwa dengan fungsi ruangan diciptakan.

                Dari Ruang Garuda kea rah belakang terdapat ruangan besar yang lain, yaitu Ruang Jamu Makan, tempat jamuan makan bagi tamu Negara atau tamu agung yang lain. Di belakang ruang jamu makan terdapat ruangan luas yang berfungsi sebagai Ruang Pertunjukan Kesenian. Kedua raungan ini juga ditata dengan baik sesuai dengan tuntutan ruangan. Sebagai ruang makan dan ruang kesenian, kesederhanaan, keramahan, serta ketenangan tertangkap dari tataan kedua ruang itu.

                Masih tentang bangunan-bangunan yang ada di Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta, bangunan yang lain ialah Wisma Negara; wisma ini dibangun pada tahun 1980. Wisma ini dimaksudkan untuk para menteri dan rombongan tamu Negara. Banguanan ini bertingkat dua dan mempunyai 19 kamar. Setiap kamarnya dihiasi dengan lukisan serta benda seni lainnya yang sesuai dengan fungsi kamarnya terutama untuk beristirahat.

                Selain Wisma Negara, terdapat Wisma Indraphrasta; wisma ini merupakan wujud bangunan asli kantor Asisten Residen Belanda, penggagas bangunan yang kini menjadi istana ini. Di kiri dan kanan belakang bangunan utama, di dekat Ruang Kesenian adalah Wisma Sawojajar dan Wisma Bumiretawu. Wisma Sawojajar, di sebelah utara, di sediakan bagi petugas atau rombongan staf Presiden atau tamu Negara, sedangkan Wisma Bumiretawu, di sebelah selatan, disediakan bagi ara ajudan serta dokter pribadi atau ajudan dan dokter pribadi tamu Negara. Wisma Saptapratala terletak di sbelah selatan, berseberangan dengan Wisma Bumiretawu. Wisma ini disediakan bagi petugas dan para anggota presiden atau tamu Negara.

                Kompleks Seni Sono mulai dipugar pada tahun 1995 dan terdiri dari gedung auditorium, gedung tempat penyimpanan koleksi benda seni, gedung pameran dan perkantoran. Auditorium ini semula adalah gedung Seni Sono yang dibangun pada tahun 1915 dan diperuntukan sebagai tempat pertunjukan kesenian terpilih yang berkaitan dengan acara kenegaraan. Gedung yang diperuntukan sebagai tempat penyimpanan koleksi benda seni semula adalah bangunan kuno yang dibangun Belanda pada tahun 1911 dan terakhir sebagai kantor PWI/Antara. Bangunan yang diperuntukan gedung pameran dan perkantoran semula adalah bangunan Kantor Departemen Penerangan.

                Biasanya, Pintu Gerbang Utama Kompleks Istana Kepresidenan Republik Indonesia di Yogyakarta “dijaga” oleh dua buah patung besar Dwarpala yang juga disebut Gupala, masing-masing setinggi dua meter. Kedua patung ini berasal dari salah satu tempat di sebelah selatan Candi Kalasan. Di halaman istana, di depan Gedung Induk, tampak sebuah monument yang terbuat dari batu andesit setinggi 3,5 meter; namnya Dagoba, yang berasal dari Desa Cupuwatu, di dekat Candi Prambanan. Orang Yogyakarta menyebutnya Tugu Lilin karena tampak seperti lilin yang senantiasa menyala, melambangkan kerukunan beragama, yaitu agama Hindu Siwa dan Agama Budha: agama Hindu Siwa dilambangkan dengan Lingga, yang menopang stupa pada lambang agama Budha.

IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta
(Source: Lumintaintang, Yayah B. 2004. Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta. Secretariat of the President of the Republic of Indonesia.)
Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta is located at the southern end of Jalan Akhmad Yani (formerly Jalan Malioboro), Village Ngupasan, Gondaman District, Yogyakarta Municipality. Complex Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta at a height of 120 meters above sea level.The complex is built on an area of ​​43,585 square meters, in the center of the city, in the heart of the capital city of Yogyakarta; Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta facing east, opposite the Museum Vredeburg, the former Dutch East Indies colonial fort.
Since its establishment, the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta has not changed much. On the front porch yard looks a giant statue of the guard door (Dwarapala) as high as two meters. In addition, there is a monument Dagoba (which by the Tugu Yogyakarta called Candle) three and a half feet tall, which is always lit a fire apparent in climax. Monument was made of andesite stone. Palace backyard overgrown by tall trees whose leaves are large and very thick and lush that it seems as if the building merindangi Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta. The air around the palace quite hot according to its location above sea level.
Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta is also known as the Great House or the State House. Naming is related to one of the main functions of the palace as a grand reception guests. This palace is one of the four presidential palace palaces that have an important role in the history of the struggle for independence and the life of the nation of Indonesia. In fact, at the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta, a daughter was born first President of the Republic of Indonesia, Sukarno, namely Megawati, who is now the President of the Fifth Republic of Indonesia, is also born.
Historical Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta
Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta stems from the official residence of the Resident Top-18 in Yogyakarta (1823-1825). He was a Dutchman named Anthonie Hendriks Smissaert, which is also the initiator or the initiator of the development of the Indonesian Presidential Palace Building in Yogyakarta. The building was Founded in May 1824 in the Dutch East Indies colonial period. It originated from the desire of the "palace" that is authoritative for the resident Dutch East Indies.Aristeknya named A. Payen; he was appointed by the Governor-General of the Dutch East Indies that service at that time. European architectural style of the building follow-adjusted tropical climate.
Diponegoro War (1825-1830) that the colonial Dutch East Indies called Java War resulted in the construction of the building was delayed. Development resumed after the war ended (1832). On June 10, 1867 in Yogyakarta, the earthquake happened twice on the same day. One result of this, the official residence of the Dutch resident collapsed; house collapsed. However, the new building was erected and completed in 1869. The building is at the Main Building Complex Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta, which is now called the Great House.
History also records that on December 19, 1927, Yogyakarta administrative status as a provincial residency level. Supreme ruler of the Netherlands was no longer resident but a governor. Thus, the main building was completed in 1869 it became the residence of the governor of the Dutch in Yogyakarta and the influx of Japanese military occupation. Some of the Dutch governors who inhabit the building is J. E. Jasper (1926-1927), P. R. W. Gesseler van Verschuur (1929-1932). H. M. de Kock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-1940), and L. Adam (1940-1942). During the Japanese occupation army, the palace became the official residence of the ruler of Japan in Yogyakarta Koochi Zimmukyoku Tyookan.
Historical Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta is a very important and very meaningful when the government of the Republic of Indonesia emigrated from Jakarta to Yogyakarta. On January 6, 1946, Yogyakarta city dubbed the Gudeg officially became the new capital of the Republic of Indonesia that is still young and the palace was paid to the Indonesian Presidential Palace, the residence of President Sukarno, the First President of the Republic of Indonesia, and his family. Vice President Mohammad Hatta and his family when it was in the building now occupied Korem 072/Pamungkas, which is not far from the palace complex. Since then, as already noted, the history of the palace (mainly the function and role) changed: Inaugural General Sudirman as the Commander in Chief of the Indonesian National Army (as of June 3, 1947), followed by the appointment as Chairman Shoots Armed Forces of Indonesia (on July 3, 1947) and five Cabinet of the Republic of Indonesia's young was formed and inaugurated at the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta.
History also notes that in the course of private life of the first President of the Republic of Indonesia, Sukarno, when the Netherlands violated agreements with the Dutch Military Aggression Linggarjati First, precisely on June 21, 1947, the President had to leave his wife (Fatmawati) and two children, without a maid, at the Presidential Palace Republic of Indonesia in Yogyakarta. How hard is described that one of the two children in recorded history that Yogyakarta is the President of the Fifth Republic of Indonesia, Megawati.
On Sunday, December 19, 1948, Yogyakarta battered from all corners of the air by the Dutch army under the command of Gen. Spoor. This event is known as the Second Military Aggression result of President, Vice President, Prime Minister, besrta several other princes were exiled to outside Java, specifically to Brastagi and Bangka, and just returned to Yogyakarta on July 6, 1949. Start date, the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta again serves as the official residence of the President.However, the date of December 28, 1949, with the transfer of the President to Jakarta, the palace is no longer the residence of the President.
Main functions of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta
Major changes that occurred in the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta or the Great House is the function of government, especially if linked to its function in the struggle for Indonesian independence. Building the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta was never appropriated the functions of the central government of the Republic of Indonesia during the years of the revolution. In fact, the Great House is the first ever palace inhabited by the President of the Republic of Indonesia.
At the time of independence as well as other functions of the Presidential Palace, the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta or the Great House is the official residence of the office of the President of the Republic of Indonesia. Another function that is a stopover or as a place to receive guests or stay the State, either formally comes to the interests of the state and an unofficial visit to Borobudur Temple or objects Indonesian culture.
A historical event that can not be ignored is the function of the Great House in the early years of the Republic of Indonesia (occupied: June 3 (1947). At the time of the Great House serves as the inaugural General Sudirman, as Commander in Chief of the Indonesian National Army (TNI). Addition, for three years (1946-1949), the building of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta as the official residence of the First President of the Republic of Indonesia.After the independence of Indonesia, precisely in the office of President of the Republic of Indonesia Second, the date of 17 April 1988, the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta is also used for the implementation of Twilight Parade Ceremony on Any Date 17, in addition Introductions Events Midshipman-Midshipman Air New Akabri, Farewell event as well as the Young Officers New Graduates with the Governor and the people of Yogyakarta. Even on August 17, 1991, officially the Republic of Indonesia Presidential Palace in Yogyakarta is used as a place to commemorate Independence Seconds to Yogyakarta.
In line with its function now, more than 65 heads of state, including the heads of government and state have guests visiting or staying in the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta.The first state guest house visiting the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta is the President of India Rajendra Prasad (1958). In the sixties, King Bhumibol Adulyadej of Thailand (1960) and President Ayub Khan of Pakistan (1960) to visit and spend the night at the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta. A year later (1961), the guest country is Prime Minister Abbas Ferhart of Algeria. In the decades go, the visit is President of D. Macapagal of the Philippines (1971), Queen Elizabeth II of the United Kingdom (1974), as well as Prime Minister Bandaranaike of Sri Lanka Srimavo (1976). Then, in the eighties, the State Guest is Prime Minister Lee Kuan Yew of Singapore (1980), The lordship Sultan Bolkiah of Brunei Darussalam (1984).Other important guests ever beristirahan at the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta, among others, Princess Sirindhom of Thailand (1984), Ny. Marilyn Quayle, wife of Vice President of the United States (1984), President F. Mitterand of France (1988), Prince Charles with Princess Diana of Great Britain (1989), and the head of the Catholic Church Pope Johannes Paul II (1989).
In the nine decades, the great guests who visited the building of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta is The lordship Agong Sultan Azlan Shah of Malaysia (1990), Emperor Akihito of Japan (1991), and Princess Basma of Jordan (1996).
Parts of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta
In general, the development journey part of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta has not changed much, either parent of the building: the Great House, and the house-wismanya: State Pensions, Pensions INDRAPHRASTA, Sawojajar, Bumiretawu Pensions and Pensions Saptapratala. In addition to the fourth house, since 20 September 1955, Sono Arts Complex area of ​​5,600 square meters, located in the south, which was originally owned by the Ministry of Information, now part of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta. Outline the bow tends to do a lot of maintenance to the palace; example renovated Art Space, chairs and lamps dressing replaced. In terms of furniture or fixtures looked fit between the function room or a room with furniture or appliances that fill it, even the high-value art in it. Overall, looks very beautiful, interesting and prestigious high.
Main Building
Since Founded two centuries ago to the present, Building the parent compound of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta has never changed; same shape as when it was completed in 1869. The room parent called Garuda space and serves as a state official welcoming guests or other great guests. In this room is also the Indonesian cabinet was sworn in as state capital moved to Yogyakarta. On the walls of this historic room hung pictures of national heroes, among them are pictures of Prince Diponegoro, R. A. Kartini, Physicians Wahidin Soedirohusodo, and Tengku Cik Di Tiro.
On the other side of the Main Building is situated Bedroom President and his family, while on the north side of the bedroom is reserved for the Vice President and his family and state guests or other great guests and their families. On the front there is a room right Main Building, named to commemorate the struggle Soedirman Space Commander Soedirman in leading the guerrilla war against the Dutch. In this room first Commander Soedirman excused himself to President Sukarno, to leave the town in order to lead a guerrilla war against the Dutch. On the front left side of the main house there is a room that is named Space Diponegoro, Diponegoro to commemorate the struggle against the Dutch. In this room the painting or photograph also appears he is riding. The arrangement and atmosphere of the room is not an exaggeration but officially impressed. It's very soul to the function space created.
Of Garuda Room towards the back there is another large room, which Herb Dining Room, where guests feast for the State or other great guests. Behind the dining room there is a spacious room herbs that serves as a space Performing Arts. Both roar is also well laid out in accordance with the demands of the room. As the dining room and living art, simplicity, hospitality, and tranquility of the setting caught the second chamber.
Still on the existing buildings at the Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta, is building another State House; homestead was built in 1980. The guest house meant for guests entourage of ministers and state. Banguanan This two storey and has 19 rooms. Each room is decorated with paintings and other art objects that correspond to the function room, especially for the rest.
In addition to State House, there INDRAPHRASTA Pensions; homestead is the realization of the original building of the Dutch Resident Assistant's office, the originator of the building which is now a palace. On the left and right rear of the main building, near the Art Room is Bumiretawu Sawojajar and Pensions. Sawojajar, in the north, in the store for party officials or staff of the President or the State guest, while the guest house Bumiretawu, in the south, are provided for the fig aide and personal physician or personal physician aide and state guests. Pensions sbelah Saptapratala located in the south, opposite Wisma Bumiretawu. Breakfast is provided for officers and members of the president or state guests.
Sono Arts Complex started refurbished in 1995 and consists of the auditorium building, a storage building art collection, exhibition halls and offices. Auditorium was originally the Sono Arts building built in 1915 and intended as a performing arts related to elected state occasion. The building is intended as a repository of art collection is an ancient building that was originally built by the Dutch in 1911 and later as office PWI / AP. The building is designated exhibition hall and office building was originally the Office of the Ministry of Information.
Typically, Main Gate Complex Presidential Palace of the Republic of Indonesia in Yogyakarta "guarded" by two large statues Dwarpala also called Gupala, each two meters. Both the statue came from one place to the south Kalasan. In the courtyard of the palace, in front of the Main Building, was a monument made of andesite stone as high as 3.5 meters; namnya Dagoba, a native of the village of Cupuwatu, near Prambanan Temple. People call Tugu Yogyakarta because it looks like a wax candle that is always lit, symbolizing religious harmony, namely Hinduism and Buddhism Shiva: Hindu Shiva Linga is denoted by, which sustains the symbol of Buddhist stupas.

0 comments:

Post a Comment