Kultur Area Brang Wetan di Provinsi Jawa TImur tentang Upacara Adat “Bedha Krawang” di desa Arjowilangun, Kalipare, Kabupaten Malang./ Brang Wetan Culture Area in East Java province on Ceremony "Bedha Krawang" in the village Arjowilangun, Kalipare, Malang FOR GENERAL SOSILOGY


Kultur Area Brang Wetan di Provinsi Jawa TImur tentang Upacara Adat “Bedha Krawang” di desa Arjowilangun, Kalipare, Kabupaten Malang.


(Sumber: Supriyanto, Henri.1997. Upacara Adat Jawa Timur.Surabaya: Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.)

                Kabupaten Malang memiliki latar belakang budaya yang unik. Peninggalan sejarah tertua di Jawa Timur pada abad ke-8 (tahun 760 Masehi) adalah Candi Badut (Badhut) di Kecamatan Dau. Kata “Badhut” dalam bahasa Jawa Kuno berarti penari, karena raja Gajayana pada waktu itu termasuk penari istana pada masa mudanya. Peninggalan sejarah yang monumental yang lain adalah candi Singosari, candi Jajago dan Candi Kidal yang mencuatkan peranan kerajaan Singosari pada abad ke-13. Berdasarkan relief candi Jajago tampak bahwa aagama Syiwa/ Budha dan Hidnu hidup berdampingan. Relief Budhistis mengangkat karya sastra klasik. Pancatantra dan Kunjarakarna. Relief Hindustis telah mengangkat kisah sastra Klasik Arjunawiwaha dan Kresyana. Berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo masyarakat Malang Timur masih memelihara tradisi tengger. Sehubungan dengan latar budaya ddi atas, kesenian rakyat yang dilestarikan di tumpang adalah Wayang Topeng dengan serangkaian kisah Panji dan Sekartaji.

                Dengan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa tradisi yang terkait dengan upacara adat amat beragam (majemuk). Salah satu  upacara adat yang disajikan di dalam buku ini adalah “Upacara adat-Bedhah Krawang”, dari desa Arjowilangun (Kecamatan Kalipare) yang termasuk wilayah Malang Selatan. Desa ini berada pada radius 50 Km dari kota Malang, atau 5 Km di seberang selatan bendungan Sutami (Karangkates). Tradisi masyarakat setempat melaksanakan upacara “Bedhah Krawang” pada hari Jumat Pahing, bulan Jawa Sela (bulan kesebelas sesudah tahun baru Jawa I (satu) Sura).

                Upacara adat “Bedhah Krawang” mengacu ke kisah sastra lisan setempat yakni peranan Eyang Merto Widjojo yang dimitoskan sebagai tokoh yang merintis berdirinya desa Arjowilangun (cikal bakal kang babad alas mbangun deso Arjowilangun). Peninggalan budaya (residu) yang berupa pundhen (makam yang dikeramatkan) dan suatu tempat untuk menyimpan pusaka. Anak angkat Eyang Merto Widhoho (pasangan suami-isteri) diperingati dengan upacara “mbangun nikah” (pembaharuan pernikahan dalam siklus setahun sekali) berbentuk prosesi (perarakan) pengaten.

                Upacara selengkapnya tersusun dalam tahapan aktivitas masyarakat setempat sebagai berikut:

1) Bersih desa, dengan cara kerja bakti membersihkan pemakaman desa. Pundhen (makam yang dikeramatkan) dan lingkungna masyarakat yang fungsional (pasar, sungai, dan jalan desa serta taman-taman desa, pos kamling, dan lain-lain).

2) Selamatan bersama yang dilaksanakan di Pundhen dengan tradisi nasi ancak-ancakan (terbuat dari pelepah pisang dan bambu). Upacara ini dilanjutkan dengan kirap seni.

3) Kirap Seni atau perarakan kesenian (proses kesenian rakyat) yakni seni Jarang Dhengkling. Tari Topeng dan perarakan pasangan penganten (mengacu ke upacara mbangun nika putra angkat  Eyang Merto Widjojo).

4)pengambilan pusaka dari Sanggar, dilanjutkan dengan prosesi menuju ke Balai Desa. Rangkaian prosesi yang panjang kirap seni dan kirap pusaka ditata sebagai berikut:

a) Rombongan (kru) tari Jaranan Dhengkling;

b) Rombongan penari Topeng;

5) Prosesi Penganten yang  diikuti oleh:

c.1) Dua orang pembawa umbul-umbul gula kelapa.

c2) Satu orang pembawa pohon beringin kecil, yang dihiasi keripik ketan dan ripih.

c3) Dua orang pembawa rontek (bendera rontek).

C4) Dua orang pembawa kembang mayang.

C5) satu orang pembawa bunga setaman.

C6) satu orang pembawa cengkir gadhing.

C7) satu orang pembawa kendhi sumber sanga (airnya diambil dari 9 mata air/sumber).

C8) pembawa tombak.

C9) pembawa payung.

C10) seperangkat terbang jidhor.

5) upacara ritual diawali dengna Kirap Pusaka dan diiringi oleh barisan panjang sebagai berikut:

a) seorang pembawa pedang dan pecut pusaka.

b) seorang pembawa gensir atau bedhutan.

c) seorang pembawa ikat gadhung Melathi, celana Prabunantan, naju kerong dan bebet.

d) Seorang pembawa rokok klobot, premen blis dan minuman kopi.

e) seorang pembawa kembang kenanga.

f) seorang pembawa tikar dan bantal.

g) seorang membawa minyak tanah dan tlupak.

6) Upacara ritual yang bermuatan sacral, dilaksanakan pada malam hari, tempat di Balai Desa, dimulai sesudah pukul 20.00. rangkaian upacara tersebut berupa ekspresi seini :Seni Besutan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sejarah/ kisah “Bedhah Krawang” dan sambutan Kepala Desa (Muspika). Gendhing-gendhing yang dikumandangkan oleh tim karawitan ialah: Gendhing Cingcing Guling, Eling-eling, Rebanatan, Sekar Gadhing, Pacul Gowang, Celeng Mogok dan Raja Swala.
Seusai upacara ritual, ki juru Kunci atau Sesepuh desa membaca doa dan mantra untuk kesejahteraan seluruh warga desa. Bunga kenanga ditaburkan ke pusaka-pusaka tersebut. Beberapa orang yang meyakini tuah bunga kenanga memperebutkannua. Peristiwa ini disebut “pemberian berkah”.

7)pengembalian pusaka ke Sanggar. Akhir upacara adalah menata kembali pusaka-pusaka tersebut, selanjutnya diarak dan dikembalikan ke Sanggar, tempat penyimpanan pusaka. Pada adegan ini seluruh peserta diiringi dengan gendhing “Kala Gajur”. Upacara dinyatakan paripurna, sesuai dengan pranata cara yang ditradisikan di desa tersebut.

IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

Brang Wetan Culture Area in East Java province on Ceremony "Bedha Krawang" in the village Arjowilangun, Kalipare, Malang.

(Source: Supriyanto, Henri.1997. Timur.Surabaya Javanese Ceremony: Department of Tourism and Cultural District of the Province of East Java.)
Malang regency has a unique cultural background. The oldest heritage in East Java in the 8th century (in 760 AD) is the Temple Clown (Badhut) in District Dau.The word "Badhut" in ancient Javanese language means a dancer, because the king Gajayana the time including the palace dancer in his youth. Monumental heritage the other is Singosari temple, the temple and the temple Jajago Left that raises Singosari royal role in the 13th century. According to the temple reliefs Jajago appears that aagama Shiva / Buddha and Hidnu coexist. Relief Budhistis lifted classic literature. Pancatantra and Kunjarakarna. Relief Hindustis has picked up the story and Kresyana Arjunawiwaha Classical literature. Bordering the East Malang Probolinggo people still maintain the tradition of perch. In relation to the cultural background ddi, folk art is preserved in overlapping Puppet Mask with a series of stories and Sekartaji Panji.
With the above statement, it can be said that the traditions associated with the traditional ceremony is highly diverse (plural). One of the ceremonies presented in the book is "Ritual-Bedhah Krawang", from the village of Arjowilangun (District Kalipare) which belonged to the South Malang. The village is located at a radius of 50 Km from the city of Malang, or 5 Km south across the dam Sutami (Karangkates). The tradition of local people performing the ceremony "Bedhah Krawang" on Friday Pahing, in Java Sela (the eleventh month after the new year Java I (one) Sura).
Ceremonies "Bedhah Krawang" refers to the story of the role of local oral literature Merto Widjojo Grandmother who mythologized as the man who pioneered the establishment of the village Arjowilangun (forerunner kang Chronicle pedestal Mbangun deso Arjowilangun). Cultural heritage (residue) in the form pundhen (sacred tomb) and a place to store treasures. Grandmother Merto Widhoho foster child (husband and wife) is celebrated with ceremonial "Mbangun marriage" (marriage renewal cycle of once a year) form of procession (procession) pengaten.
More ceremonies are arranged in stages of local community activities as follows:
1) Clean the village, by way of community service cleaning the village cemetery.Pundhen (sacred tomb) functional and an environmental community (market, river and village roads and village parks, post kamling, etc.).
2) salvation together carried on the tradition Pundhen ancakan rice-shelf (made of banana leaves and bamboo). The ceremony was followed by kirap art.
3) Art Kirap or processions art (folk art process) which Dhengkling Rare art. Mask Dance and couples bridal procession (referring to the ceremony Mbangun nika Merto Widjojo Grandmother adopted son).
4) collection of heirloom Studio, followed by a procession to the Village Hall.Series long procession kirap arts and heritage kirap organized as follows:
a) Group (crew) dance Jaranan Dhengkling;
b) Group of mask dancers;
5) followed by a procession of bride:
c.1) Two men carrying banners palm sugar.
c2) The people of the small banyan tree, which is decorated with sticky rice and ripih chips.
c3) Two men carrying rontek (flag rontek).
C4) Two men carrying flowers Virgin.
C5) one flower setaman.
C6) gadhing Cengkir one carrier.
C7) one carrier kendhi sanga sources (water drawn from springs 9 / sources).
C8) spear carrier.
C9) umbrella carrier.
C10) set to fly jidhor.
5) ritual begins dengna Kirap Heritage and accompanied by a long line as follows:
a) a carrier heirloom sword and whip.
b) a carrier or bedhutan gensir.
c) a carrier gadhung Melathi tie, pants Prabunantan, Naju throat and ancestor.
d) A carrier cigarettes klobot, premen blis and coffee drinks.
e) a carrier ylang flowers.
f) a carrier mats and pillows.
g) a person carrying kerosene and tlupak.
6) an uncharged sacred ritual, conducted at night, the place in the Village Hall, starting at 20.00 after. the ceremony in the form of expression Seini: Art Besutan followed by a reading of the history / story "Bedhah Krawang" and welcome the Village Head (Muspika). The piece-the piece being floated by a team of musicians is: Gendhing Cingcing Bolster, Eling-eling, Rebanatan, Sekar Gadhing, Pacul Gowang, Boar Strike and King Swala.After the ceremonies, ki interpreter lock or village elders recite prayers and mantras for the welfare of the whole village. Ylang flowers sprinkled all these heirlooms. Some people who believe in good luck memperebutkannua ylang flowers. This event is called "gift of grace".
7) heirloom return to Studio. The end of the ceremony is to re-arrange these heirlooms, then paraded and returned to the Studio, heirloom storage. In this scene all participants followed by the piece "Kala Gajur". The ceremony is declared complete, according to a ditradisikan institutions in the village.

0 comments:

Post a Comment