Kultur Area Brang Wetan di Provinsi Jawa Timur tentang Ruwatan Anak Sampir, di kota Mojokerto/ Brang Wetan Culture Area in East Java province on Children Ruwatan sampir, in the town of Mojokerto FOR GENERAL SOSIOLOGY


Kultur Area Brang Wetan di Provinsi Jawa Timur tentang Ruwatan Anak Sampir, di kota Mojokerto

(Sumber: Supriyanto, Henri. 1997. Upacara Adat Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.)

Daerah Tingkat II Kota Madya Mojokerto

                Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tempo dulu, nama Mojokerto belum dikenal sebab yang terkenal adalah nama Majapahit. Di kota inilah tertulis sejarah sebagai ibu kota pusat pemerintahan pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-15.

                Pada jaman Majapahit agama menjiwai segenap lapangan kehidupan, termasuk kebudayaan. Semua cabang kebudayaan seperti seni bangunan, seni sastra dan seni panggung bernafaskan keagamaan. Majapahit tidak menghasilkan bangunan-bangunan keagamaan yang megah dan besar seperti candi Borobudur dan candi Prambanan pada zaman Mataram Kuno. Candi-candi pada jaman Singosari-Majapahit wujudnya adalah candi-candi kecil, jumlahnya amat banyak, dan merupakan makam keluarga raja. (Slametmulyana, 1979:215:216)

                Pada zaman Majapahit ada dua candi yang dihias dengan relief wayang kisah Mahabrata, yakni candi Tigawangi (yang dibangun oleh Rajasawardhana pada tahun 1358 Masehi) dan Candi Sukuh di kaki gunung Lawu, dibangun pada tahun 1439. Kedua-duanya menggunakan relief Sudamala. Dalam pewayangan cerita Sudamala biasanya dipergunakan untuk meruwat, misalnya untuk melepaskan anak Malang dari bencana berkat kelahirannya, dengan tebusan upacara keagamaan. Mungkin sekali relief candi Tigawangi untuk menghormati ruwatan Nagarawardhani, putrid tunggal Rajasawardhana dalam perkawinannya dengan Bre Lasem (Slametmulyana, 1979:220:221)

                Ruwatan Sudamala mengungkap cerita tentang pelepasan Bhatari Durga dari perwujudannya sebagai raksasi oleh Sadewa.
Bertumpu pada data sejarah dan latar belakang budaya tersebut, adalah  residu (sisa peninggalan budaya lama) yang masih dilestarikan oleh masyarakat Mojokerto pada masa sekarang ini? Sebelum mengungkap tradisi ruwatan “AnakSampir”, perlu diingat kembali bahwa ruwatan yang mengacu ke buku Centhini ada 13 orang anak Sukerta yang harus diruwat, yakni Ontang-anting, anting-untang, uger-uger lawang, kembang sepasang, kedhana-kedhini, kedhini-kedhana, pandhawa lima, pandhawa lima ngayomi, pandhawa madangake, pandhawa api-api, bathang angucap, jisim lumaku dan ontang-anting lumuting tunggake aren (Bandingkan dengan “RuwatanAnakTunggal” di Kediri).

Residu yang diungkapkan dalam buku ini adalah “RuwatanAnakSampit” yang dilestarikan di kota madya Mojokerto. Kata “sampir” dalam bausastra Jawa-Indonesia (Prawiroatmodjo) berarti:

1) Sandang, selampai, selempang, selendang
2)Serta atau bersamaan dengan ……

                “RuwatanAnak Sampir” dalam konteks di sini mempunyai pengertian “anak yang dilahirkan bersamaan dengan peristiwa pagelaran wayang atau pagelaran kesenian tradisional”. Menjelang akhir abad ke-20, frekuensi “RuwatanAnakSampir” di Mojokerto semakin mengecil atau menipis, dan dampak modernisasi dikhawatirkan tradisi ini akan punah.

Kronologis RuwatanAnakSampir

1)Pementasan wayang atau pagelaran seni tradisional.

2)Muncul tokoh menginterupsi jalannya pementasan, karena telah lahir seorang bayi bersamaan dengan pementasan tersebut.

3)Bayi yang lahir sampir langsung dibawa ke tempat pementasan, dipersiapkan untuk diruwat.

4)Upacara ruwatan, Ki Dhalang Kandha Buwana mengusir Bathara Kala yang akan memangsa bayi sampir. Sebagai tebusan adalah sesajian (Jawa:sajen) dan dengan iringan bau harum dupa atau kemenyan dan bunga.

5)Pementasan wayang dilanjutkan. (Dalam paraga disajikan Jaran kepang untuk melunasi kaul/ujar).

IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

Brang Wetan Culture Area in East Java province on Children Ruwatan sampir, in the town of Mojokerto
(Source: Supriyanto, Henri., 1997. Ceremony in East Java. Surabaya: Regional Department of Tourism and Culture Provincial Level Region East Java.)
Level II Regional Municipality Mojokerto
In the course of Indonesian history in the past, names unknown Mojokerto famous for is the name of Majapahit. In writing the history of this city as the capital of the central government in the 13th century until the 15th century.
At the time of Majapahit religion animates all fields of life, including culture. All branches of culture such as architecture, art literature and art scene of religious breath. Majapahit not produce religious buildings are magnificent and great as Borobudur and Prambanan temples in the days of the Ancient Mataram. The temples at Singosari-Majapahit era temples his form is small, numbers very much, and it is the tomb of the royal family. (Slametmulyana, 1979:215:216)
At the time of Majapahit there are two temples are decorated with reliefs puppet tale Mahabharata, namely Tigawangi temple (built by Rajasawardhana in the year 1358 AD), and at the foot of the mountain Sukuh Lawu, built in 1439. Both use Sudamala relief. In the puppet story meruwat Sudamala usually used for, for example, to release children from disaster thanks to native Malang, with ransom religious ceremonies. Maybe once Tigawangi reliefs to honor ruwatan Nagarawardhani, single daughter in marriage to the BRE Rajasawardhana Lasem (Slametmulyana, 1979:220:221)
Ruwatan Sudamala revealing story about the release of its manifestations as the goddess Durga raksasi by Sahadev.Relies on historical data and cultural backgrounds, are residues (remnants of the old culture) that has been retained by the people Mojokerto at the present time? Before revealing ruwatan tradition "AnakSampir", keep in mind again that ruwatan Centhini referring to the book there are 13 children who have diruwat Sukerta, namely Ontang earrings, earring untang, uger-uger mace, flower pair, kedhana-kedhini, kedhini- kedhana, pandhawa five, five pandhawa ngayomi, pandhawa madangake, pandhawa fires, bathang angucap, jisim lumaku and Ontang earrings aren lumuting tunggake (Compare with "RuwatanAnakTunggal" in Kediri).
Residues are expressed in this book are "RuwatanAnakSampit" preserved in the municipal Mojokerto. The word "sampir" in Javanese-Indonesian dictionary (Prawiroatmodjo) means:
1) Clothing, scarf, sash, shawl2) As well as or in conjunction with ......
"RuwatanAnak sampir" in the context here has the sense of "children born simultaneously with the puppet events or performances of traditional arts". Towards the end of the 20th century, the frequency of "RuwatanAnakSampir" in Mojokerto become smaller or thinner, and the impact of modernization is feared to be extinct tradition.
Chronological RuwatanAnakSampir
1) Staging puppet or traditional art performances.
2) appears to interrupt the course of the performance figures, having been born a baby along with the staging.
3) Babies born sampir immediately taken to a staging, prepared for diruwat.
4) Ceremony ruwatan, Ki Dhalang Kandha Buwana expel Bathara Kala who will prey on baby sampir. As ransom is offerings (Java: sajen) and to the accompaniment of incense or fragrant smell of incense and flowers.
5) continued staging puppet. (In Paraga presented Jaran braid to settle vows / said).


0 comments:

Post a Comment