Kultur Area Osing di Provinsi Jawa Timur tentang Tradisi Tolak Balak “MBUWANG KURA” di Banyuwangi/ Cultures Around Osing in East Java province on Tradition Reject Balak "MBUWANG KURA" in Banyuwangi FOR GENERAL SOSIOLOGY


Kultur Area Osing di Provinsi Jawa Timur tentang Tradisi Tolak Balak “MBUWANG KURA” di Banyuwangi

(Sumber: Supriyanto, Henri.1997. Upacara Adat Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.)

Daerah Tingkat II (DATI II) Kabupaten Banyuwangi

                Wilayah tertimur di Provinsi Jawa Timur adalah Daerah Tingkat II Kabupaten Banyuwangi, yang terdiri atas 19 wilayah Kecamatan atau 175 desa. Sepuluh Kecamatan di daerah ini (atau 126 desa) dihuni oleh masyarakat pemakai bahasa Jawa dialek Banyuwangi atau Osing. Bahkan seniman dan budayawan Banyuwangi beranggapan bahwa bahasa Osing bukanlah dialek Jawa, tetapi bahasa daerah tersendiri. Wilayah kecamatan yang dihuni oleh masyarakant Osing ialah Kecamatan Banyuwangi Kota, Kabar, Glagah, Cluring, Srana, Singojuruh, Sengon, Giri, Rogojampi dan Genteng.
               
                Didaerah tersebut disamping berbahasa Osing, juga dijumpai tidak kurang dari 24 macam seni pertunjukan rakyat. Seni pertunjukan amat popular dengan nafas khas budaya local adalah senu Damar Ulan, Angklung Caruk, Barong Gembrung, Gendrung, Jaran Buta, Patrol dan Prabulara/ Rengganis (Teguh, 1993;9/ Sehuni,1989).

                Secara historis nama Blambangan sudah muncul pada jaman Majapahit. Sumber kisah yang menyajikan peristiwa penting termuat pada Babat Sember, Babat Tawang Alun, Babat Wilis, Babat Mas Sepuh, Babat Bayu dan Bababt Natadiningratan. Khusus buku Babat Tawang Alun menyajikan kisah wangsa raja-raja Blambangan yang leluhurnya dapat ditelusuri sampai ke zaman Majapahit pada akhir abad ke-15. Makna Blambangan menjadi menciut, ketika ingatan akan asal-usul raja-raja di Barat (Lumajang) sudah diabaikan, dan cikal bakal Blambangan di awali dari Raja Tawang Alun (Winarsih, 1995;1-12).

                Secara historis kerajaan Blambangan terlalu sering menjadi ajan peperangan. Misalnya pada zaman Majapahit Bhre Wirabhumi menentang pemerintahan raja Majapahit, Blambangan konon pernah juga dikuasai Bali (Kerajaan Buleleng), sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dikuasai Belanda, ratusan tahun perkebunan-perkebunan dikuasai Inggris. Latar belakang sejarah tersebut menghadirkan residu (sisa peninggalan lama) pada bahasa Osing. Misalnya kosa kata bahasa Inggris “no good” terserap ke dalam bahasa Osing menjadi “nagud” (tidak baik), kata “so long” terserap menjadi “sulung” dalam arti dulu, terlebihdahulu atau “Jw. Dhisik”. Dalam percakapan sehari-hari dijumpai pula kosa kata bahasa Bali, misalnya:

Bojog    = kera yang berbulu putih;
Suwung                = (suung), sapi, sunyi, kosong;
Sereg    =anak kunci. Nyereg lawang=membuka kunci pintu.

                Bahasa Osing mengenal sistem ujaran yang khas, yakni kata-kata yang didahului konsonan [B,D,G] sering diberi sisipan [Y].
Misalnya              :

Ø  Kosa Kata: abang,            sistem ujaran:abyang.

Ø  Kosa kata: abah, sistem ujaran: abyang.

Ø  Kosa kata: kendhang, sistem ujaran: kendhyang.

Ø  Kosa kata: gandrung, sistem ujaran: gyandrung,

Sistem ujaran yang lain ialah kosa kata yang berakhir dengan bunyi I di ucapkan aid an bunyi U  diucapkan au, misalnya:

Banyuwangi=Banyuwangai

Kelendi=kelendai

Guru=gurau

Di samping itu dijumpai pula singkatan kelompok kata, misalnya:

Arep weruh=apruha (ingin tahu)

Para endane=pradene(kemana perginya)

(Henri, 1994:1, 8-9)

                Dengan uraian singkat tetnang latar belakang sejarah, budaya dan bahasa di atas, dapat dilihat warisan leluhurnya berupa serangkaian upacara adat atau tradisi orang Osing. Salah satu upacara adat yang ditulis di sini adalah “tradisi tolak balak upacara adat yang mbuwang kura”. Tradisi ini berasal dari masa Kemiran. Kecamatan Gelagah. Pada hakekatnya mereka mengenal sesanti “adat bersendi syarak dan syarak bersendi adat”. Berbagai ragam tradisi yang mereka lestarikan misalnya “Tublak punjen atau Perang Bangkat, Geridhoan, Kebo-keboan, Atiman, Kethokan, mangu Kucing, mBuwang Kura, Adhu Tumper, Semaya Putu, Godhong Lemes, dan sebagainya”

Beberapa makna ungkapan atau istila

1) Mbuwang Kura. Pak Ramelan (75 tahun) sesepuh desa Kemiran menerangkan bahwa “mbuwang kura” mengacu ke makna membuang jauh-jauh atau menjauhkan berbagai jenis halangan manusia, sifatnya perbuatan preventif. Membuang benda yang membawa bahaya disebut “tolak balak”.

2) Tolak Balak. Dalam bahasa Osing kata talak artinya mengusir, balak artinya berbagai macam musibah, kesulitan hidup, kesengsaraan, dan sejenisnya. Jadi yang dimaksud talak balak adalah acara masyarakat Osing secara tradisional menolak jauh-jauh berbagai macam musiba (yang tidak dikehendaki).

3) Pasangan Penganten. Pasangan lelaki dan wanita (jejaka dan gadis) yang baru memasuki jenjang rumah tangga. Berdasarkan tradisi desa Kemirang. Pasangan penganten ini harus mengikuti serangkaian upacara, busana, dan perlakuan khusus yang secara ajeg dilaksanakan (ditempuh) demi kebahagiaan rumah tangganya.

4) Sesanti Adat bersendi syarak, syarak bersendi alat. Dalam tradisi upacara perkawinan, upacara siklus kehidupan, upacara pendewasaan (insiniasi) selalu mengacu ke norma-norma agama Islam, walaupun di dalam agama Islam mungkin secara eksplisit tidak tertuang.

Kronologis Tradisi Penganten Osing di Desa Kemiran

1) Lurudan. Calon penganten pria dan wanita selama seminggu sebelum upacara pernikahan dilarang meninggalkan rumah (dipingit). Kedua orang calon penganten berkewajiban melakukan “lurudan” yakni menggosok kulit badan sekujur tubuh dengan ramuan tradisional yang terdiri dari daun kemuning, kunyit, bedak beras (tepung beras), temu giring, temu ireng, dan temu kuning yang dilarutkan ke dalam air. Calon penganten secara priodik mengoleskan ramuan tersebut ke seluruh tubuh, agar kulit tampak halus, berwarna kuning temu giring yang menarik (seperti yang diidolakan oleh masyarakatnya).

2) Pangur atah asa. Pangur yakni kegiatan meratakan ujung gigi yang dilaksanakan oleh pawang atau sesepuh. Sewaktu pungur diiringi pembacaan “Lontar Yusuf”.

3) Ijab (Akad Nikah). Pelaksanaan Ijab/ Akad Nikah berdasarkan agama Islam, secara tradisional dilaksanakan di rumah penganten wanita. Upacara seperti akad nikah umat Islam pada umumnya.

4) Kuris. Kuris artinya upacara “memotong rambut bajang” yakni mencukur rambut halus pada kening atau pada kales. Rambut halus yang tercukur itu dimasukkan ke dalam bokor kuningan yang dipersiapkan dengan aneka ragam bunga. Pada acara ini juga dibacakan “Lontar Yusuf”. Tradisi kuris ini biasanya dilakukan di rumah penganten masing-masing, atau pada salah satu rumah yang ditetapkan berdekatan dengan rumah penganten wanita.

5) Ngarak Penganten. Pararakan atau prosesi penganten dari rumah penganten laki-laki menuju ke rumah penganten wanita, setelah ditemukan kedua orang duduk di pelaminan. Acara penganten di sini dengan tradisi khas yakni penganten laki-laki menunggang kuda, sedangkan penganten wanita ditandu.

6) Penganten Surup. Kedua penganten duduk berdampingan di pelaminan yang dilengkapi bantal guling, boneka dan assesoris lain, termasuk sketsel atau rana sebagai latar belakang pelaminan. Kata “Surup” berarti sore hari, tetapi yang ditradisikan dikemiran adalah waktu pada pukul 09.00 sampai dengan pukul 24.00. waktu itu pasangan penganten diharap duduk berdampingan dengan tenang, dilarang bercakap-calap dan bersentuhan badan. Aturan di atas dilakukan, ditabukan agar tidak di langgar. Selama penganten duduk berdampingan. Seorang sesepuh atau pawangmembacakan “Lontar Yusuf” dengan iringan music Gembrung. Kesenian lain semacam Hadrah, Barong dan Angklung sering difungsikan untuk mengiringi perarakan atau prosesi penganten.

                Pada pukul “Nol, nol” (24.00) pawang pembaca Lontar Yusuf membaca syair (subha-subga”, dan pada waktu itulah penganten istirahat, diperkenankan makan dan minum. Demikian pula para tamu dijamu makan dan minum. Pembaca lontar tetap dilangsungkan, pada pukul 03.00 (menjelang fajar) dialunkan gendhing “Arum-arum”. Pada waktu itulah upacara membuang kura (Mbuwang Kura”) dilangsungkan, dipimpin oleh sesepuh adat.

7. Upacara MembuangKura. Upacara khas secara tradisional dilaksanakan pada pukul 03.00. pasangan penganten diarak menuju ke sumber air atau sungai yang mengalir (yang tempatnya tiada berjauhan dengan rumah penganten), diiringi pawang/ perias dan kerabat penganten. Di sungai itulah pasangan penganten di mandikan dengan cara meniran atu mengguyurkan air harum kembang setaman yang telah di persiapkan dalam bokor kuningna. Sesudah upacara siraman, penganten berganti busana dilanjutkan dengan upacara jabat tangan (pernyataan selamat dan bersyukur kepada Tuhan Yang melindungi-Nya), bentuk ucapan syukur  itu diwujudkan dengan “Selamatan Jenang Sumsum”. Makna hidangan ini ialah menguatkan tulang dan sungsum yang penat selama upacara tradisi dilangsungkan, sekaligus puji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Peralatan Upacara

1) Lontar Yusuf dan Bantal. Lontar Yusuf adalah lontar yang berisi syair-syair kisah perjalanan hidup Nabi Yusuf. Bantal difungsikan sebagai tempat lontar sewaktu pembacaan syair Nabi Yusuf.

2)Peras Penganten. Sesajian (sesajen) terbuat dari anyaman bambu (menyerupai bakul) tempat beras untuk sesaji. Sesajian itu dilengkapi dengan kelapa (yang sudah terkupas serabutnya), sesisir pisang, sebutir telur, dammar kembang dan benang lawa yang dililitkan pada sebuah kelapa.

3) Peras Sesaji. Semacam tumpeng kecil, dilengkapi dengan daun alang-lang, dammar kembang, dan lain-lain yang ditempatkan pada “ancak” (terbuat dari pelepah pisah dan bambu). Peras sesaji ini ditinggal ditepi sungai, tempat penganten melaksanakan upacara “mbuwang kura”.

4) Bokor Kuningan. Bokor kuningan berisikan air kembang setaman, dan di dalamnya berisi rambut bajang, yang dicukur dari keles penganten pada upacara kuris.

5)Obor atau Oncor. Obor atau oncor difungsikan sebagai lampu penerangan sewaktu upacara “mbuwang kura”.

6) Tikar Bantal. Bantal digulung dengan tikar pandan, diikat dengan benang lawe. Maknanya ialah pasangan penganten telah siap berumah tangga.

7) Tumpeng dan aneka makanan di talam, untuk selamatan dan hidangan para tamu.


IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

Cultures Around Osing in East Java province on Tradition Reject Balak "MBUWANGKURA" in Banyuwangi
(Source: Supriyanto, Henri.1997. Ceremony in East Java. Surabaya: Regional Department of Tourism and Culture Provincial Level Region East Java.)
Regional Level II (municipal) Banyuwangi
Easternmost region in East Java Province is Level II Regional Banyuwangi regency, composed of the District 19 or 175 villages.Ten districts in this area (or 126 villages) inhabited by speakers of the language Java dialect or Osing Banyuwangi. Even artists and cultural Banyuwangi Osing assume that language is not a dialect of Java, but the language of the region itself. Districts inhabited by masyarakant Osing is District Banyuwangi City, news, Glagah, Cluring, Srana, Singojuruh, Sengon, Giri, Rogojampi and tiles.
Osing language in that region as well, also found no less than 24 kinds of folk performing arts. Performing arts is very popular with the local culture is a distinctive breath senu Ulan Damar, Angklung gluttonous, Barong Gembrung, Gendrung, Jaran Blind, Patrol and Prabulara / Rengganis (True, 1993; 9 / Sehuni, 1989).
Historically Blambangan name has appeared in the Majapahit era.Source that presents the story of significant events included the cracked Tripe, tripe Tawang Alun, Tripe Wilis, Mas Sepuh Tripe, tripe and Bababt Natadiningratan Bayu. Tripe Tawang Alun special book presents the story of the kings Blambangan dynasty whose ancestors can be traced to the Majapahit era in the late 15th century. Meaning Blambangan be shrinking, when the memory of the origin of the kings of the West (Lumajang) is negligible, and the forerunner Blambangan at the start of the King Tawang Alun (Winarsih, 1995; 1-12).
Historically kingdom Blambangan too often become Ajan war. For example, in the days of the Majapahit Bhre Wirabhumi Majapahit kings against the government, is said to have also mastered Blambangan Bali (Buleleng kingdom), before the independence of the Republic of Indonesia occupied the Netherlands, hundreds of years of British-controlled plantations. Historical background of the present residue (remnants of old) Osing language. For example, the English vocabulary "no good" absorbed into the language Osing to "nagud" (not good), said "so long" absorbed into "elder" in the sense used, terlebihdahulu or "Jw. Dhisik ". In colloquial vocabulary also encountered Bali, for example:
Bojog = white hairy ape;Suwung = (suung), cows, silent, empty;Sereg = keys. Nyereg mace = unlock the door.
Language Osing recognize typical speech system, which is preceded by the words consonant [B, D, G] are given inset [Y].For example:
 Vocabulary: brother, speech system: abyang.
 Vocabulary: abah, speech system: abyang.
 Vocabulary: drums, speech system: kendhyang.
 Vocabulary: infatuated, speech system: gyandrung,
Another speech systems is the vocabulary that ended with the sound of I, say aid's sound is pronounced U au, for example:
Banyuwangi = Banyuwangai
Kelendi = kelendai
Teachers = joke
In addition it is found also stands for a group of words, for example:
Arep weruh = apruha (want to know)
The endane = pradene (where'd it go)
(Henri, 1994:1, 8-9)
With a background brief guide on the history, culture and languages, can be seen as a set patrimony ceremony or tradition Osing. One of the ceremonies is written here is the "tradition of the ceremonial departure of custody" mbuwangkura. "This tradition comes from the Kemiran. District reeds. Intrinsically they know sesanti" custom jointed jointed syarak syarak and customs ". Wide variety of traditions they preserve such "Tublak Punjen or Bangkat War, Geridhoan, Kebo-keboan, Atiman, Kethokan, Mangu Cats," mBuwangKura ", Adhu Tumper, Shemaiah Putu, Godhong Lemes, and so on"
Some of that phrase or istila
1) MbuwangKura. Pak Ramelan (75 years) Kemiran village elders explained that "mbuwangkura" refers to the meaning throw away or keep different types of human obstacles, its preventive actions.Throw objects that bring danger so-called "decline of custody".
2) Reject Balak. In Osing language word meaning expel divorce, custody means that a wide range of misfortune, hardship, misery, and the like. So is the event of divorce custody is traditionally rejected Osing far musiba variety (which is not desired).
3) Couple bride. Couple of men and women (youth and girl) who is new to the household level. According to village tradition Kemirang.Bridal pair must follow a series of ceremonies, clothing, and special treatment that is constantly executed (taken) for the happiness of the household.
4) Indigenous Sesanti syarak jointed, jointed syarak tool. In the tradition of marriage ceremonies, life cycle ceremonies, rites of passage (insiniasi) always refers to the norms of Islam, though in Islam may not be explicitly stated.
Chronological tradition in the village bride Osing Kemiran
1) Lurudan. Prospective groom and women during the week before the wedding ceremony were forbidden to leave the house (seclusion). Both the prospective bride is obliged to "lurudan" body skin rub the entire body with traditional ingredients consisting of yellow leaves, turmeric, rice powder (rice flour), Intersection dribbles, ireng Intersection and Intersection yellow dissolved into the water. Candidate applying herb periodic bride to the whole body, so skin looks smooth, yellow Intersection dribbles interesting (as idolized by society).
2) Pangur Atah despair. Pangur namely tooth tip leveling activities undertaken by the handler or elders. When pungur accompanied reading "Papyrus Joseph".
3) Ijab (Akad Nikah). Implementation Ijab / Akad Nikah based on Islam, traditionally held at the bride. Ceremonies like marriage ceremony Muslims in general.
4) Kuris. Kuris ceremony means "hair cut bajang" fine hair that is shaved on the forehead or on the Kales. Smooth shaved hair was put into a brass bowl prepared with a variety of flowers. In this event also read "Papyrus Joseph". Kuris tradition is usually done at the bride's house each, or at one of the houses set close to the bride.
5) Ngarak bride. Pararakan or bridal procession of the bridegroom to the house of the bride, after the discovery of two people sitting in the aisle. Bridal event here with the traditions of the bridegroom riding a horse, while the bride stretcher.
6) surup bride. Both the bride sit side by side in the aisle that comes bolster pillows, dolls and accessories, including sketsel or shutter as wedding background. The word "surup" means the afternoon, but the ditradisikan dikemiran is the time at 09.00 until 24.00. time bridal couples are expected to sit side by side in peace, prohibited carry calap and touching the body. The rules above do, in order not to break the taboo. During bride sitting side by side. An elder or pawangmembacakan "Papyrus Joseph" to the accompaniment of music Gembrung. Another kind of art Hadrah, Barong and Angklung often functioned to accompany the procession or a procession of the bride.
At "Zero, zero" (24.00) handler Lontar Joseph readers read poems (subha-subga ", and that's when the bride breaks, allowed to eat and drink. Similarly, guests were treated to food and drink. Readers manuscripts continued to be held, at 3:00 (pre-dawn) dialunkan the piece "Arum-arum." At that ceremony membuangkura (MbuwangKura ") was held, led by indigenous elders.
7. MembuangKura ceremony. Typical ceremony is traditionally held at 03.00. bridal couples paraded toward the water source or river that flows (a place not far away with the bride), accompanied by a handler / groomer and relatives of the bride. In rivers that bathe couple wed in a way meniran atu throw water setaman fragrant flowers that have been prepared in a bowl kuningna. After pouring ceremony, the bride changed clothes followed by a ceremonial handshake (statement of congratulations and thank God protect him), a form of thanksgiving was realized by "salvation Jenang Marrow". The meaning of this dish is to strengthen bones and marrow are tired during the ceremony held traditions, as well as give thanks to God Almighty.
Equipment Ceremony
1) Lontar Joseph and pillows. Joseph is a papyrus papyrus containing poems of Joseph's life story. Functioned as a place of palm cushion when reading poetry Prophet Joseph.
2) Squeeze the bride. Offerings (offerings) are made of woven bamboo (like baskets) where rice offerings. Offerings that are equipped with oil (which has pared fibers), a bunch of bananas, egg, flowers and resins lawa thread wrapped around a coconut.
3) Squeeze offerings. Sort of a small cone, equipped with coarse leaves lang, resins flowers, and others are placed on a "shelf" (made from the stem and split bamboo). Squeeze the left edge of the river's offerings, performing the ceremony where the bride "mbuwangkura".
4) Brass Bokor. Brass bowl containing setaman flower water, and in it contains bajang hair, shaved from the bride to the ceremony keles kuris.
5) Torch or Oncor. Oncor function as a torch or lamp lighting ceremony as "mbuwangkura".
6) Mat Pillow. Pillow rolled mats, tied with yarn threads. Its meaning is that bridal couples are ready to settle down.
7) Tumpeng and meals on trays, and dishes for the guests salvation.


0 comments:

Post a Comment