Tahun Kerja Orde Baru di tahun 1974/ Work Order New Year in 1974 FOR GENERAL CIVIL EDUCATION
Tahun Kerja Orde Baru di tahun 1974
(Sumber: Sudhamono. 1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1974-1975. Jakarta: Panitia Nasional Penyelenggara Peringatan HUT Kemerdekaan RI Ke-XXX.)
A) Tanggal 11 Jnuari 1974, Pertemuan Presiden Soeharto dengan 35 Dewan Mahasiswa.
Pada tanggal 11 Januari 1974 bertempat di Bina Graha, Presiden Soeharto menerima an mengadakan dialog langsung dengan para mahasiswa angota pimpinan Dewan Mahasiswa dari 35 perguruan tinggi Indonesia, untuk secara langsung menampung dan menanggapi isi hati dan pandangan para mahasiswa mengenai situasi dan berbagai masalah nasional.
Dalam kesempatan tersebut para mahasiswa menyampaikan dua buah deklarasi yang masing-masing mewakili Dewan Mahasiswa dari daerah-daerah dan Dewan Mahasiswa di Jakarta.
Pada pokoknya, kedua deklarasi tersebut berisi tuntutan agar Pemerintah melaksanakan pola pembangunan yang berorientasi kepada keadilan social dan kemakmuran rakyat banyak, penekanan harga dan peningkatan daya beli rakyat, pemberantasan korupsi, refungsionalisasi lembaga yang konstitusional, dan penghapusan lembaga yang dianggap inkonstitusional.
Dialog dengan Presiden itu merupakan rangkaian kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung selama beberapa waktu, dalam bentuk demonstrasi serta aksi penyampaian petisi kepada berbagai instansi Pemerintah dan asing. Aksi para mahasiswa tersebut oleh pimpinan Hankam/ ABRI mengadakan Rapat Pimpinan pada tanggal 14 Januari 1974, dinilai telah menjurus kepada usaha pembentukan kekuatan yang dapat ditafsirkan sebagai perbuatan makar sehingga membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
B) 14 Januari 1974, Kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dan Tamu-tamu Negara lainnya dalam tahun 1974
Pada bulan Januari 1974 Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia dengan disertai putrinya Makiko. Dalam kunjungan ini Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka disambut dengan demonstrasi oleh para mahsiswa yang menjalar ke seluruh kota Jakarta.
Dalam salah satu pembicaraan dengan Presiden dan pejabat tinggi lainnya yang berlangsung di tengah suasana kerusuhan, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka menyampaikan jaminan bahwa Jepang tidak ingin melakukan dominasi ekonomi di Indonesia.
Selanjutnya dalam tahun 1974 berturut-turut berkunjung pula ke Indonesia:
1) Kepala Negara Inggris Raya, Ratu Elizabeth II, dari tanggal 18 sampai dengan tanggal 22 Maret 1974, Ratu Elizabeth II dan suaminya Duke of Edinburgh mampir di ruangan Istana Negara sebekum jamuan kenegaraan yang dimulai pada tanggal 18 Maret 1974. Kunjungan tersebut diawali dengan kunjungan tidak resmi selama sehari di Bali pada tanggal 15 Maret 1974. Dengan menggunakan kapal Kerajaan Britania Raya yang digunakan sejak berangkat menuju Indonesia dari Australia, tamu Negara tiba di Tanjung Priok pada tanggal 18 Maret 1974 untuk memulai kunjungan kenegaraan sampai dengan tanggal 22 Maret 1974.
2) Presiden Filipina, Ferdinand E. Marcos, dari tanggal 29 sampai dengan tanggal 30 Mei 1974. Presiden Marcos dan Presiden Soeharto pada tanggal 29 sampai tanggal 30 Mei 1974 di Manado yang sedang menikmati music Kulintang yang dimainkan anak-anak ; (tidak resmi)
3) Ketua Dewan Revolusioner/ Presiden Uni Republik Sosialis Birma, U Ne Win, dari tanggal 8 sampai dengan tanggal 13 Juni 1974, presiden Birma U New Win mengadakan serangkaian pembicaraan mengenai berbagai masalah bilateral, regional, dan internasional. Pembicaraan-pembicaraan diadakan di Tampak Siring, Bali dan Tawangmangu, Jawa Tengah pada tanggal 10 Juni 1974, yang kedua kepala Negara (Presiden U Ne Win dan Presiden Soeharto) sependapat dan menekankan arti pentingnya politik luar negeri yang bebas, sebagai politik yang tidak terkait dan tidak menggantungkan diri pada Negara atau kekuatan asing. (tidak resmi);
4) Perdana Menteri Australia, Gough E. Whitlam, dari tanggal 5 sampai dengan tanggal 8 September 1974, pembicaraan antara Perdana Menteri Australia Gough Whitlam dengan Presiden Soeharto di Wonosobo dilakukan pada tanggal 6 September 1974, antara lain dibicarakan pula masalah Timor Portugis, Kepulauan Kokos dan Christimas, serta kerja sama ekonomi antara kedua Negara. Selain itu dalam rangkaian kunjungan tidak resmi tersebut Perdana Menteri Gough Whitlam dengan Presiden Soeharto mengunjungi Badan Usaha Unit Desa/ Koperasi Unit Desa (BUUD/ KUD) di desa Prasojo, Temanggung, dan menyaksikan dari dekat kegiatan penyosohan beras di tempat tersebut pada tanggal 7 September 1974. (tidak resmi);
5) Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak, pada tanggal 14 September 1974. Presiden Soeharto, Gubernur Jawa Timur, Moh. Noer, dan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak sedang menyaksikan pameran ternak yang diadakan di Pandaan, Jawa Timur. (tidak resmi);
6) Raja Belgia, Boudewijn, dari tanggal 21 Oktober sampai dengan tanggal 2 November 1974. Raja Belgia Boudewijn dan Ratu Fabiola di Wisma Negara, Jakarta, yaitu tempat tinggal tamu Negara yang terletak di dalam kompleks Istana. Raja dan Ratu menerima kunjungan kehormatan Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam kesempatan itu Wakil Presiden menyampaikan kenang-kenangan berupa wayang kulit pada tanggal 21 Oktober 1974. Raja Boudewijn dan Ratu Fabiola berkesempatan mengunjungi Yogyakarta dan Candi Borobudur bersama dengan Gubernur Jawa Tengah, Munadi. Dalam kunjungan terakhir pada tanggal 2 November 1974, Raja Boudewijn dan Ratu Fabiola meninjau berbagai obyek pembangunan, pariwisata dan tempat sejarah di beberapa kota dan daerah di Indonesia.; dan
7) Shah Iran, Mohammad Reza Pahlevi, dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 2 November 1974. Shah Iran, Mohammmad Reza Pahlevi didampingi Presiden Soeharto memeriksa barisan kehormatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sesaat setelah pesawat yang membawanya mendarat di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdanakusuma pada tanggal 1 Oktober 1974. Diadakan pula jamuan kenegaraan diselenggarakan di Istana Negara untuk menghormati kunjungan Shah Iran, Mohammmad Reza Pahlevi dan Permaisuri Farah Diba pada tanggal 2 Oktober 1974.
B) 15 dan 16 Januari 1974, Peristiwa Lima Belas Januari (Peristiwa Malari).
Sebagai kelanjutan aksi mahasiswa yang telah berlangsung beberapa waktu, pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974, bertepatan dengan kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, di Jakarta terjadi demonstrasi dan kerusuhan masal.
Kerusuhan tersebut memuncak dengan pengrusakan dan pembakaran barang buatan Jepang, terutama kendaraan bermotor.
Berkat tindakan cepat dari alat-alat Negara, kericuhan-kericuhan tersebut dapat diatasi dengan cepat dan kunjungan tamu Negara dari Negara sahabat Jepang telah berlangsung sesuai dengan acara-acara yang direncanakan dengan selamat.
Sementara itu, tanggal 17 Januari 1974, Pemerintah menetapkan langkah preventif dan represif guna mengatasi keadaan, yang meliputi penertiban pelaksanaan hak demorasi, pencegahan timbulnya tindakan yang menjurus serta membuka peluang kea rah makar, pengembangan, dan pemantapan saling pengertian antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, kekuatan social politik, dan pers. Juga telah dilakukan tindakan pengusutan terhadap mereka yang bertanggung jawab dan yang melakukan tindakan melawan hokum, seperti perampokan dan pembakaran. Demikian juga telah diambil langkah-langkah pemulihan keamanan serta kehidupan ekonomi di Jakarta.
Tokoh-tokoh yang harus bertanggung jawab terhadap kerusuhan tersebut ditahan dan diajukan ke muka peradilan, antara lain Hariman Siregar, Sjahrir dari Jakarta, dan Muhammad Aini Chalid dari Yogyakarta.
Dari hasil pemeriksaan di muka pengadilan telah terbukti bahwa rangkaian peristiwa yang berpuncak pada kerusuhan tersebut, yang dikenal sebagai “Peristiwa Malari” merupakan tindakan pidana subversi.
Terjadi kerusuhan terutama di Harmoni dan Jalan Ir. H. Juanda, tempat mobil buatan Jepang dirusak, digulingkan dan dibakar. Kerusuhan tidak terbatas hanya luapan anti Jepang. Pusat pertokoan pasar Senen setelah di serbu dan dibakar, disertai dengan pencurian dan perampokan barang dagangan. Gerakan pengrusakan juga dilakukan terhadap pabrik, took, dan tempat umum di kota Jakarta. Di jalan Gajah Mada, sepeda motor buatan Jepang dirampas begitu saja dari pemiliknya lalu dilemparkan ke sungai Ciliwung. Tokoh-tokoh yang harus mempertanggung jawabkan Peristiwa Malari di periksa dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hariman Siregar diadili dan diperiksa pada tanggal 2 Agustus 1974. Sesudah Hariman Siregar, giliran selanjutnya adalah Drs. Sjahrir.
C) Tanggal 4 Februari 1974, Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional.
Dalam usaha untuk memperlancar pelaksanaan Sapta Krida Kabinet Pembangunan II dan pemeliharaan stabilitas politik dan keamanan, khususnya dalam menghadapi pelaksanaan Repelita II, Presiden menetapkan pembentukan Dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan Nasional. Pembentukan Dewan ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1974.
Dewan ini merupakan badan pembantu Pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan dan petunjuk pelaksanaan di bidang politik serta keamanan, dan bertugas untuk membahas masalah politik dan keamanan yang dihadapi, menetapkan kebijaksanaan serta mengendalikan pelaksanaannya agar dapat terjamin kelancaran usaha sebaik-baiknya. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Dewan bertanggung jawab kepada Presiden.
Untuk lebih memperlancar jalannya sidang Dewan, selanjutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1974 tanggal 13 Februari 1976, Presiden menetapkan pembentukan beberapa Panitia Kerja Tetap, yaitu Panitia Kerja Tetap bidang Politik Dalam Negeri yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri, Panitia Kerja Tetap bidang politik luar negeri dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, dan Panitia Kerja Tetap bidang Keamanan Nasional yang dipimpin oleh Menteri Hankam/ Pangab. Setiap Panitia Kerja di bidang masing-masing guna diajukan dalam sidang Dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan Nasional.
Sidang Dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan Nasional yang berlangsung di Bina Graha pada tanggal 8 Oktober 1974, Dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan Nasional ini dipimpin oleh Presiden sebagai Ketua Dewan (Soeharto) dan Wakil Presiden sebagai Wakil Ketua Dewan (Sri Sultan Hamengkubuwono IX), dengan anggota yang terdiri dari beberapa orang Menteri dan beberapa pejabat lainnya seperti Menteri Hankam/ Pangab, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Negara Ekuin/ Ketua Bappenas (Prof. Dr. Widjojo Nitisastro), Menteri/ Sekretaris Negara (Sudharmono S. H.), Jaksa Agung, Kepala Staf KOPKAMTIB, Sekjen Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, Kepala BAKIN,Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Dr. Sjarief Thayeb), menteri Kesehatan (Prof. Dr. G. A. Siwabessy), Menteri Penerangan (Mashuri S.H.), dan Menteri atau pejabat lainnya yang ditetapkan Presiden. Dewan bersidang secara teratur sekali setiap bulan atau sewaktu-waktu apabila dipandang perlu oleh Presiden.
Dengan terbentuknya Dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan Nasional tersebut, maka pembahasan setiap masalah yang dihadapi Pemerintah dan perumusan kebijaksanaan serta langkah pelaksanaannya, selanjutnya dilakukan dalam sidang Dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan Nasional (utuk masalah di bidang ekonomi), dewan Stabilitasi Politik dan Keamanan Nasional (untuk masalah di bidang politik dan keamanan nasional), Kabinet Terbatas (untuk masalah dibidang kesejahteraan rakyat), dan Kabinet Paripurna (untuk masalah umum yang dihadapi Negara).
D) Tanggal 5 Maret 1974, Pola Hidup Sederhana dan Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta
Dalam usaha untuk lebih meningkatkan daya guna pegawai negeri guna menyelenggarakan tugas umum pemerintah maupun pembangunan, pada tanggal 5 Maret 1974, Presiden Soeharto menetapkan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam usaha Swasta.
Peraturan yang kemudian dikenal sebagai wujud kebijaksanaan mengenai pola hidup sederhana tersebut melarang para Pegawai Negeri Sipil Golongan Sipil Golongan IV/ a (PGPS 1968) ke atas, anggota ABRI berpangkat Letnan Dua ke atas, pejabat dan isteri mereka:
1) Memiliki seluruh atau sebagian perusahaan swasta;
2) Memimpin, duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas suatu perusahaan swasta; dan
3) Melakukan kegiatan usaha dagang, baik secara resmi maupun sambilan.
Dalam rangka kebijaksanaan “pla hidup sederhana” pada tanggal 5 Maret 1974 itu pula, Presiden menetapkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 1974 tentang beberapa pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam rangka pendayagunaan aparatur Negara dan kesederhanaan hidup sehari-hari. Keputusan Presiden tersebut mentapkan:
a) Larangan untuk memberikan pelayanan yang berlebihan kepada pegawai negeri, anggota ABRI atau pejabat yang berkunjung ke daerah, seperti penyelenggaraan resepsi, pesta, pemberian hadiah atau tanda mata dan lain-lain;
b) Anjuran agar penyelenggaraan hari ulang tahun sesuatu Departemen/ Instansi dilakukan secara sederhana tidak dengan pesta-pesta, selamatan, dan sebagainya dengan menghamburkan uang Negara;
c) Agar bagi pejabat-pejabat/ instansi hanya disediakan kendaraan dinas yang sederhana sesuai dengan standard an tida menguasai/ menggunakan kendaraan dinas yang tergolong mewah; juga dilarang seorang pegawai negeri/ pejabat menguasai/ menggunakan kendaraan dinas dan rumah dinas lebih dari satu.
d) Kewajiban untuk mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu bagi pegawai negeri, anggota ABRI, pejabat, dan isterinya yang akan melakukan perjalanan ke luar negeri untuk keperluan pribadi;
e) Larangan bagi pegawai negeri untuk memasuki tempat umum tertentu seperti perjudian, kelab malam, pemandian uap dan sebagainya;
f) Petunjuk agar penyelenggaraan perayaan yang bersifat pribadi dilakukan secara sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
Mengenai kebijaksanaan pola hidup sederhana tersebut, dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto menegaskan bahwa pola hidup sederhana bukanlah pola hidup yang anti kemajuan, pola hidup gaya melara. Pola hidup sederhana adalah pola hidup yang hemat dan wajar. Sebab pola hidup mewah, boros, dan berlebih-lebihan bukan saja tidak seuai dengan semangat pembangunan, tetapi juga kesetiakawanan social.
Pada tanggal 31 Maret 1974 Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) tahun 1969-1974 telah berakhir dan telah berhasil mencapai tujuannya, yaitu menaikkan taraf hidup rakyat dan meletakkan dasar yang kuat bagi Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II) dan tahap pembangunan berikutnya.
Mulai tanggal 1 April 1974 dimulailah pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II). Dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1974 Tanggal 11 Maret 1974, Pemerintah menetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II), yang akan berlangsung pada tahun anggaran 1974/1975 hingga 1978/1979. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II) ini disusun oleh Pemerintah berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan telah dikonsultasi secara luas dengan berbagai pihak dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tujuan yang akan dicapai Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II), seperti halnya dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) adalah:
1) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat.
2) Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya.
Berlandaskan hasil dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I), sasaran yang ditetapkan untuk dicapai dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II) adalah:
a) Tersedianya pangan dna sandang yang serba cukup, dengan mutu yang bertambah baik dan terbeli oleh masyarakat umum.
b) tersedianya bahan perumahan dan fasilitas yang diperlukan, terutama untuk kepentingan rakyat banyak;
c) keadaan prasarana yang makin meluas dan sempurna;
d) keadaan kesejahteraan rakyat yang lebih baik dan merata.
e) meluasnya kesempatan kerja;
dalam amanat Presiden Soeharto di depan Sidang plebo Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 7 Januari 1974 sewaktu menyampaikan keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 1974/1975, Tahun Pertama Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II), antara lain dinyatakan bahwa ciri pokok Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I):
1) Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II) merupakan kelanjutan dan peningkatan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I);
2) Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II) memberikan kemungkinan untuk makin memberi keseimbangan masalah ekonomi dan masalah non ekonomi;
3) Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II), semakin nyata usaha pembangunan ekonomi yang memperhatikan perataan hasil pembangunan dalam rangka pencapaian keadilan sosialnya;
4) Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II), lebih diperhatikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup manusia.
5) dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II), ditingkatkan usaha pengembangan aparatur Negara sebagai aparatur yang makin efektif dan efisien.
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua (Repelita II) dalam empat Buku, embat Bagian, dan 30 Bab, Bagian I berisi masalah kebijaksanaan-kebijaksanaan pokok pembangunan dan terdiri dari lima Bab. Bagian II berisi masalah pembiayaan pembangunan dan terdiri dari empat Bab. Bagian III berisi bidang pembangunan dan terdiri dari 21 Bab. Bagian IV berisi pembangunan 26 Daerah Tingkat I.
F) Tanggal 1 hingga tanggal 4 April 1974, Konferensi Pata ‘74
Dari tanggal 1 hingga tanggal 4 April 1974, Konferensi Pata (Pasific Area Travel Association) yang ke-23 berlangsung di Jakarta.
Hadir dalam Konferensi Pata ’74 tersebut kurang lebih 1.500 peserta yang mewakili 39 negara anggota yaitu perusahaan yang bergerak di bidang kepariwisatawan di Asia- Pasifik. Konferensi ini adalah yang kedua kalinya di Indonesia. Yang pertama diselenggarakan pada tahun 1963.
Salah satu keputusanpenting Konferensi Pata 1974 adalah rencana dan usaha pengalihan titik pusat kegiatan dari pemasaran ke pengembangan obyek wisata di Negara berkembang dengan disertai pemberian bantuan pendidikan dan keahlian.
Setelah di Jakarta, Konferensi Pata ’74 dilanjutkan dengan loka karya di Bali. tanggal 1 April 1974, Presiden menyatakan sama pentingnya arti ekonomi dari pada meningkatkan arus wisatawan ke Indonesia dengan nilai ideal yaitu saling pengertian dan persahabatan antara manusia di dunia. Ditegaskan oleh Presiden bahwa pengutamaan tujuan ekonomi semata-mata dapat menjadikan hidup tanpa makna yang dalam. Dalam memeriahkan Konferensi Pata ’74 dipertunjukan Tata Cara perkawinan menurut adat Sunda.
G) Tanggal 22 April 1974, Kecelakan Pesawat Panam di Bali
Pada tanggal 22 April 1974, sebuah pesawat Boeing-77 milik Panam (perusahaan penerbangan Amerika) dengan 107 penumpang dari berbagai kebangsaan jatuh berkeping-keping dalam jurang yang belum pernah dijamah, setelah menabrak gunung Pengotan di Bali.
Dengan dibantu oleh rakyat setempat, kesatuan pencari dan penyelamat (Search And Rescue/ SAR) berusaha menemukan tempat jatuh pesawat Boeing-77 milik Panam dan mencoba mengumpulkan sisa-sia tubuh para korban. Usaha tersebut akhirnya berhasil sekalipun harus dilaksanakan dengan susah payah karena selain keadaan lapangan yang sulit untuk dicapai juga karena peralatan pertolongan yang dimiliki masih sangat sederhana. Pada bulan April 1974, ditemukan mesin jet (pancar gas) yang ditemukan di dalam lembah dekat gunung Patas, bukit Tinga-tinga, di desa Tinga-tinga, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Singaraja, Bali.
H) Tanggal 2 Mei 1974, Peresmian Penggunaan Jembatan RantauBerangin
Pada tanggal 2 Mei 1974, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan Jembatan Jembatan RantauBerangin yang membentang sepanjang 120 meter dengan lebar 8,4 meter di atas sungai BatangKapar, Riau. Jembatan RantauBerangin merupakan jembatan beton dengan bentang terpanjang di Indonesia dan dikerjakan oleh ahli dan pekerja Indonesia sendiri.
Jembatan RantauBerangin terletak di jalan raya yang menghubungkan kota Padang di Provinsi Sumatera Barat dan Pekanbaru, ibukota propinsi Riau. Jembatan RantauBerangin dibangun dalam waktu 43 bulan dengan biaya kurang lebih Rp 400.000.000.
I) Kunjungan Kerja Presiden Soeharto ke Malaysia dan Negara-negara lainnya dalam tahun 1974
Kunjungan ke luar negeri Presiden Soeharto yang pertama setelah pengangkatannya kembali menjadi Presiden Republik Indonesia oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil pemilihan umum bulan Maret tahun 1973 adalah ke Penang, Malaysia, pada tanggal 3 Mei 1974.
Dalam kunjungan tidak resmi yang berakhir pada tanggal 4 Mei 1974 tersebut telah diadakan pembicaraan antara Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Tun Abdul Razak mengenai beberapa masalah yang menyangkut kepentingan Republik Indonesia dan Malaysia, terutama Konsepsi Nusantara rencana pembukaan hubungan diplomatic Malaysia dan Republik Rakyat Cina, serta masalah hubungan Malaysia dengan Sabah yang menyangkut wilayah Sabah. Kunjungan tidak resmi Presiden Soeharto ke Penang, Malaysia, tampak Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak mengenakan kemeja batik sehingga pertemuan tidak resmi ini sering dijuluki “diplomasi batik”, tampak pula yang mendampingi kedua Kepala Pemerintah Ketua Menteri Pulau Pinang (Chief Minister of Pulau Pinang), Dr. Lim Chong Eu.
Selanjutnya dalam tahun 1974 ini pula, Presiden Soeharto mengadakan kunjungan ke Birma pada tanggal 26 sampai dengna tanggal 29 Agustus 1974, dilanjutkan dengan kunjungan kenegaraan ke Singapura dengan tanggal 31 Agustus 1974.
Di singapura kedatangan Presiden Soeharto disambut Presiden dan Nyonya Benyamin Sheares, pada tanggal 29 Agustus 1974. Tanggal 30 Agustus 1974, Presiden Soeharto dan ibu Soeharto sedang meninjau industry galangan kapal di kawasan industry Jurong, Singapura.
Dalam kunjungan ke Birma dan Ibu Soeharto meninjau berbagai obyek industry dan pariwisata. Tampak Presiden dan Ibu Soeharto tengah memeriksa industry penggosokan batu mulia di Birma.
J) Tanggal 16 Mei 1974, Yayasan Supersemar
Pada tanggal 16 Mei 1974, Presiden Soeharto mengumunkan berdirinya Yayasan Supersemar. Yayasan Supersemar bergerak di bidang pendidikan, yaitu memberi bantuan bea siswa bagi para pelajar atau mahasiswa yang tidak mampu tetapi pandai, cakap, rajin, sehat, berkelakuan baik dan setia pada Pancasila.
Yayasan Supersemar dipimpin oleh Presiden Soeharto dan pada tingkat pertama telah memberikan bea siswa kepada sebanyak 1.884 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa. Bea siswa tersebut diberikan untuk jangka waktu satu tahun, disesuaikan dengan kondisi di tiap daerah tempat mahaiswa yang bersangkutan belajar.
Pada tahun 1975, Yayasan Supersemar memberikan lagi bea siswa kepada 1.270 mahasiswa; kali ini tidak saja dari perguruan tinggi di Jawa. Tetapi juga di luar Jawa.
Mulai tahun 1976, bea siswa serupa direncanakan akan diberikan pula kepada pelajar dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di sekolah kejuruan.
K) Tanggal 21 Agustus 1974, Parasamya Purnakarya Nugraha
Sebagai tanda penghargaan terhadap hasil karya tertinggi yang dicapai dalam melaksanakan pembangunan pada masa Rencana pembangunan Lima Tahun Pertama (REPELITA I), pada tanggal 21 Agustus 1974 Presiden Soeharto menyerahkan anugerah kenegaraan yang berupa suatu tanda dan piagam kehormatan yang dinamakan Parasamya Purnakarya Nugraha kepada Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Kecuali daerah Jawa Timur sebagai Daerah Tingkat I terbaik, anugerah diberikan pula kepada suatu kabupaten di setiap Provinsi atau Daerah Istimewa yang juga dinilai telah mencapai kerja terbaik selama Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA I), kabupaten terrsebut antara lain:
1) Daerah Istimewa Aceh: Kabupaten Aceh Timur;
2) Provinsi Sumatera Utara: Kabupaten Asahan.
3) Provinsi Sumatera Barat: Kabupaten TanahDatar;
4) Provinsi Riau: Kabupaten Indragiri;
5) Provinsi Jambi: Kotamadya Jambi;
6) Provinsi Sumatera Selatan: Kabupaten LematangIlir OganTengah;
7) Provinsi Bengkulu: Kabupaten Bengkulu Utara;
8) Provinsi Lampung: Kabupaten Lampung Tengah;
9) Provinsi Jawa Barat: Kabupaten Tangerang;
10) Provinsi Jawa Tengah: Kabupaten Jepara.
11) Daerah Istimewa Yogyakarta: Kabupaten Bantul;
12) Provinsi Jawa Timur: Kabupaten Trenggalek.
13) Provinsi Kalimantan Barat: Kabupaten Sambas;
14) Provinsi Kalimantan Tengah: Kabupaten Barito Utara;
15) Provinsi Kalimantan Timur: Kabupaten Pasir;
16) Provinsi Kalimatan Selatan: Kabupaten HuluSungaiUtara;
17) Provinsi Sulawesi Selatan: Kotamadya Ujungpandang;
18) Provinsi Sulawesi Tenggara: Kabupaten Buton;
19) Provinsi Sulawesi Tengah: Kabupaten Banggai;
20) Provinsi Sulawesi Utara: Kabupaten Gorontalo;
21) Provinsi Bali: Kabupaten Badung;
22) Provinsi Nusa Tenggara Barat: Kabupaten LombokTimur;
23) Provinsi Nusa Tenggara Timur: Kabupaten Manggarai;
24) Provinsi Maluku: Kabupaten Maluku Utara, dan
25) Provinsi Irian Jaya: Kabupaten Jayapura.
Dalam upacara di stadion Tambaksari, Surabaya, Presiden Soeharto menyerahkan anugerah Parasamya Purnakarya Nugraha kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur, Mohammad Noer pada tanggal 21 Agustus 1974.
Menteri Kesehatan, Prof. Dr. G. A. Siwabessy atas nama Presiden Soeharto menyampaikan Prasamya Purnakarya Nugraha kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Maluku Utara di Ternate, pada tanggal 3 September 1974.
Menteri PUTL, Ir. Sutami atas nama Presiden Soeharto menyerahkan anugera serupa kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gorontalo, Sulawesi Utara.
L) Tanggal 9 sampai tanggal 13 September 1974, Kontes Sapi dan Pameran Ternak Nasional, di Padaan, Pasuruan
Untuk menggunah minat dan partisipasi masyarakat khususnya para peternaka guna meningkatkan produksi ternak, di Padaan, Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 9 sampai dengan 13 September 1974 telah diselenggarakan Kontes Sapid an Pameran Ternak Nasional.
Pameran ternak sapi ini adalah kedua kalinya, yang pertama diadakan di Ungaran, Jawa Tengah, pada bulan Januari 1972.
Dalam rangka perluasan dan intensifikasi usaha di bidang peternakan, Pemerintah telah menyelenggarakan Bimas Ayam yang mulai dilaksanakan pada tahun 1972 dan Proyek Panca Usaha Ternak Potong mulai tahun 1974.
Panca Usaha Ternak Potong tersebut meliputi:
a) Penggunaan bibit unggul;
b) Penggunaan makanan ternak yang cukup;
c) Pencegahan penyakit secara efektif;
d) ketatalaksanaan dengan penyuluhan ketrampilan teknologi yang tepat dan baik, dan
e) penggunaan modal usaha dengan persyaratan yang lunak disertai pengusaha pasar untuk pemasaran hasil.
Pada bulan September 1974, ternak kuda Nusa Tenggara dipamerkan dalam “Kontes Sapi” dan Pameran Ternak Nasional di Pandaan.
Pada tanggal 12 Maret 1973, diselenggarakan pula Kontes Unggas di Badung yang dikunjungi oleh Presiden Soeharto.
M) Tanggal 16 sampai tanggal 19 Oktober 1974, Masalah Dekolonisasi Timor Portugis (Timor Timur)
Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah Portugal mengenai masalah dekolonisasi daerah jajahannya, Menteri Seberang Lautan Portugal, Dr. Antonio de Almeida Santos, pada tanggal 16 sampai tanggal 19 Oktober 1974, berkunjung ke Indonesia untuk mengadakan pembicaraan dengan pihak Indonesia tentang pelaksanaan kebijaksanaan Portugal tersebut sepanjang menyangkut Portugis Portugis (Timor Timur)
Presiden Soeharto pada waktu menerima dan mengadakan pembicaraan dengna Menteri Almeida Santos, telah menegaskan bahwa Indonesia tidak mempunyai ambisi territorial. Juga ditegaskan bahwa sebagai Negara yang memperoleh kemerdekaannya dari hasil perjungannya yang menentang penjajahan, Indonesia mendukung kebijaksanaan Portugal untuk melaksanakan dekolonisasi atas daerah jajahannya, termasuk Timor Timur, serta mengharap agar proses dekolonisasi akan dapat berlangsung dengan aman, tertib, dan tidak akan menimbulkan keguncangan di wilayah Asia Tenggara.
Ditegaskan pula oleh Presiden Soeharto bahwa dalam rangka dekolonisasi tersebut dan berdasarkan prinsip penentuan nasib sendiri, apabila seluruh rakyat Timor Timur meyatakan keinginannya untuk menggabungkan kepada Indonesia, Indonesia akan menanggapinya dengan positif dengan pengertian bahwa penggabungan tersebut tidak akan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Tanggal 17 Oktober, pembicaraan masalah Timor Portugis antara Delegasi Portugal yang dipimpin oleh Menteri Seberang Lautan Portugal, Dr. Antonio de Almeida Santos, dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Luar Negeri Adam Malik di gedung Departemen Luar Negeri.
N) Tanggal 10 November 1974, Peresmian Monumen Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 1974, Presiden Soeharto meresmikan Monumen Pahlawan Nasional di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Peresmian ini dilakukan bersamaan dengan pemakaman kembali kerangka Pahlawan Tak Dikenal yang dipindahkan dari Surabaya.
Selain Monumen Pahlawan Nasional di Taman Makam Pahlawan Kalibata telah pula dibangun monument pahlawan diberbagai tempat untuk memperingati peristiwa yang bersejaran dan mereka yang gugur dalam perjuangan merebut dan membela kemerdekaan, mempertahankan keutuhan Negara kesatuan dan menegakkan Pancasila.
Monumen Yogyakarta diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 1 Maret 1973, monument ini didirikan untuk memperingati peristiwa “Serangan Umum 1 Maret 1949.”
Monumen Pancasila Sakti untuk memperingati 7 Pahlawan Revolusi yang menjadi korban pemberontakan Gerakan 30 September (G30S)/ Partai Komunis Indonesia (PKI) diresmikan oleh Presiden Soeharto dalam rangka upacara hari Kesaktian Pancasila pada tanggal 1 Otober 1973. Sejak tahun 1967, tanggal 1 Otober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati secara nasional. Monument Pancasila Sakti terletak di desa LubangBuaya.
O) Tanggal 4 Desember 1974, Kecelakaan Pesawat Pengangkut Jemaah Haji Indonesia di Srilangka
Pada tanggal 4 Desember 1974, Pesawat DC-8 Martin Air, milik perusahaan penerbangan Martin Air, Belanda, yang dicarter PT Garuda untuk mengangkut jemaah haji udara mengalami kecelakaan di Srilangka.
Pesawat tersebut hancur karena menabrak bukit karang di sebelah selatan Kolombo, ibu kota Srilangka. Seluruh penumpang jamaah haji Indonesia yang berangkat dari pelabuhan udara Juanda, Surabaya, sebanyak 182 orang berikut Sembilan orang awak pesawat telah tewas.
Beberapa jenazah atau bagian jenazah yang dapat ditemukan diangkat kembali ke Indonesia pada tanggal 11 Desember 1974 dan dimakamkan di halaman Masjid Sunan Ampel, Surabaya.
Pemakaman upacara di makamkan di halaman Masjid Sunan Ampel, Surabaya, yang bertindak sebagai inspektur upacara adalah Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali.
P) Tanggal 19 Desember 1974, Amanat Presiden Soeharto pada Dies Natalis Ke-25 Universitas Gadjah Mada
Dalam amanat yang diucapkan pada upacara Dies Natalis ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1974, Presiden Soeharto telah melemparkan beberapa pokok penting yang menyangkut penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Mengenai Pancasila, Presiden minta perhatian bahwa dewasa ini kita baru merasa memilikinya, tetapi belum betul memahami atau menghayati untuk memikirkan bersama penghayatan dan pengamalannya agar dapat dipahami dan dapat diwujudkan dalam segala segi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Pancasila bukan hanya semboyan atau rangkaian Kalimat yang dianggap luhur dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, tetapi hendaknya dapat dirasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengusahakan kesatuan tafsir dalam rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila itu, Presiden Soeharto memandang perguruan tinggi sebagai tempat yang paling cocok untuk mengadakan penelitan dan pengajian secara ilmiah sehingga nilai keberan mencapai derajat yang tinggi.
IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):
Work Order New Year in 1974
(Source: Sudhamono., 1975. Indonesia Merdeka 30 years 1974-1975. Jakarta: National Committee organizers Independence Anniversary All-XXX.)
A) On 11 Jnuari 1974, meeting of President Suharto with 35 Student Council.
On January 11, 1974 held at Bina Graha, President Soeharto received an immediate dialogue with the student members of the Student Council leaders from 35 universities in Indonesia, to directly accommodate and respond to the heart's content, and the views of the students about the situation and national issues.
In this occasion, the students submit two declarations are each representing the Student Council of the regions and the Student Council in Jakarta.
In essence, both the declaration contains the demand that the government implement a development oriented to social justice and the welfare of the people, price suppression and increased purchasing power of the masses, eradication of corruption, recreation of the constitutional institutions, and the elimination of institutions deemed unconstitutional.
Dialogue with the President was a series of student activities that have been going on for some time, in the form of demonstrations and actions submission of petitions to the various agencies and foreign governments. The actions of these students were the leaders of Defense / Armed Forces Leadership Meeting held on January 14, 1974, was judged to have led to the formation of business strength that can be interpreted as an act of treason that endanger the safety of the nation and the state.
B) January 14, 1974, visit of Japanese Prime Minister Tanaka Kakuei and other state guests in 1974
In January 1974 the Japanese Prime Minister Tanaka Kakuei a state visit to Indonesia, accompanied by his daughter Makiko. During the visit of Japanese Prime Minister Tanaka Kakuei greeted with protests by the mahsiswa are spread throughout the city.
In one conversation with the president and other high officials that took place in the midst of turmoil, Japanese Prime Minister Tanaka Kakuei expressed assurance that the Japanese do not want to do economic dominance in Indonesia.
Later in 1974 consecutive visit the Indonesia:
1) Heads of State United Kingdom, Queen Elizabeth II, from 18 to 22 March 1974, Queen Elizabeth II and her husband the Duke of Edinburgh in the room stopped sebekum State Palace state banquet which began on March 18, 1974. The visit was preceded by unofficial visit for a day in Bali on March 15, 1974. By using the ship British Empire used since left for Indonesia from Australia, guests arriving at the Tanjung Priok State on March 18, 1974 to begin a state visit to the date of March 22, 1974.
2) President of the Philippines, Ferdinand E. Marcos, from 29 until 30 May 1974.President Marcos and President Suharto on the 29th until May 30th, 1974 in Manado which is enjoying Kulintang music played by children; (unofficial)
3) Chairman of the Revolutionary Council / President of the Socialist Republic of the Union of Burma, U Ne Win, from June 8 to June 13, 1974, the Burmese president U New Win held a series of talks on various issues of bilateral, regional, and international levels. Talks held in Tampak Siring, Bali and Tawangmangu, Central Java on June 10, 1974, the second head of state (President U Ne Win and President Soeharto) concurred and emphasized the importance of an independent foreign policy, as an unrelated political and do not rely on state or foreign powers. (Unofficial);
4) Prime Minister of Australia, Gough E. Whitlam, from 5th to 8th September 1974, talks between the Prime Minister of Australia Gough Whitlam with President Soeharto in Wonosobo held on 6 September 1974, among other issues also discussed Portuguese Timor, and Christimas Kokos Islands, as well as economic cooperation between the two State. Also in the series is the unofficial visit of Prime Minister Gough Whitlam with President Soeharto visiting Enterprise Village Unit / Village Unit Cooperatives (BUUD / KUD) in the village Prasojo, Waterford, and observed rice penyosohan activity at the site on 7 September 1974 . (Unofficial);
5) Prime Minister of Malaysia, Tun Abdul Razak, on 14 September 1974.President Soeharto, the Governor of East Java, Moh. Noer, and Malaysian Prime Minister Tun Abdul Razak were watching cattle fairs held in Pandaan, East Java.(Unofficial);
6) King of Belgium, Boudewijn, from 21 October to 2 November 1974. Belgian King Boudewijn and Queen Fabiola at State House, Jakarta, namely the State guest quarters located within the palace complex. The King and Queen received a courtesy call Vice President Sultan Hamengkubuwono IX. On that occasion, the Vice President delivered a memento in the form of shadow puppets on October 21, 1974. King Boudewijn and Queen Fabiola opportunity to visit Yogyakarta and Borobudur along with the Governor of Central Java, Munadi. In my last visit on November 2, 1974, the King Boudewijn and Queen Fabiola inspecting the object of development, tourism and historical sites in several cities and regions in Indonesia., And
7) Shah of Iran, Mohammad Reza Pahlavi, from June 1 to November 2, 1974.Shah of Iran, Reza Pahlavi Mohammmad accompanied President Soeharto inspect a guard of honor of the Armed Forces of the Republic of Indonesia shortly after the plane landed in the port took Halim Perdanakusuma International Airport on October 1, 1974. Also held a state banquet was held at the Presidential Palace in honor of the visiting Shah of Iran, Reza Pahlavi Mohammmad and Empress Farah Diba on October 2, 1974.
B) 15 and January 16, 1974, January Fifteen Events (Events Malari).
As a continuation of student actions that have taken place over time, on October 15 and January 16, 1974, to coincide with the state visit of Japanese Prime Minister Kakuei Tanaka, in Jakarta mass demonstrations and riots.
The violence culminated with the destruction and burning of Japanese-made goods, especially automobiles.
Thanks to the quick action of the instruments of State, chaos-chaos can be resolved quickly and guests visiting the State from countries friendly to Japan has been going according to planned events safely.
Meanwhile, on January 17, 1974, the Government set preventive and repressive measures in order to cope with the situation, which includes the demolition exercise of the right demorasi, leading to the prevention of the onset of action and an opportunity towards treason, development, and strengthening mutual understanding between the Government and the House of Representatives, social power politics, and the press. Investigations have also been carried out actions against those responsible and take action against the law, such as robbery and arson. Similarly, measures have been taken to restore security and economic life in Jakarta.
Figures who should be responsible for the riots was arrested and brought before a court, among others Hariman Siregar, Sjahrir from Jakarta, and Aini Muhammad Chalid of Yogyakarta.
From the results of the examination before the court has proved that the series of events that culminated in the riots, known as the "Malari incident" an act of subversion.
Riots especially in Harmony and Jalan Ir. H. Juanda, where Japanese cars vandalized, toppled and burned. Riots are not limited to anti-Japanese outbursts.Senen shopping center market after the assault and burned, along with theft and robbery merchandise. The movement is also made to the destruction of factories, stores, and public places in the city. On the road of Gajah Mada, motorcycles made in Japan seized from their owners just thrown into the river Ciliwung.Figures accountable for events Malari examined and tried in the District Court of Central Jakarta. Hariman Siregar trial and examined on August 2, 1974. After Hariman Siregar, which subsequently were Drs. Sjahrir.
C) On February 4, 1974, the Council of National Security and Political Stabilization.
In an effort to expedite the implementation of Sapta Krida Second Development Cabinet and the maintenance of political stability and security, particularly in the face of execution Repelita II, the President set a Political stabilization and the establishment of the Council of National Security. The establishment of the Council was established by Presidential Decree No. 4 of 1974.
This Council is a subsidiary body and the government in setting policy guidelines in the fields of politics and security, and a duty to discuss political and security issues faced, define policies and controls in order to guarantee the smooth implementation of their best. In performing these duties, the Board is responsible to the President.
To further expedite the proceedings of the Council, further by Presidential Decree No. 6 of 1974 dated February 13, 1976, the President set a formation of several Permanent Working Committee, the Permanent Working Committee for Political Affairs led by Minister of Home Affairs, Permanent Working Committee of foreign affairs chaired by the Minister of Foreign Affairs, and the Permanent Working Committee of the National Security field, led by the Minister of Defence / Commander. Each of the Working Committee in their respective fields to be brought in the session of the House and the National Security Political stabilization.
Political stabilization Council Meeting and National Security held at Bina Graha on October 8, 1974, the Board of stabilization of Political and Security Council is headed by the President as Chairman of the Board (Soeharto) and Vice-President as the Vice Chairman of the Board (Sri Sultan Hamengkubuwono IX), with members composed of several ministers and other officials such as Secretary of Defense / Armed Forces, Ministry of Interior, Ministry of Foreign Affairs, Minister of Justice, Minister of Economy / Head of Bappenas (Prof. Dr. Widjojo Nitisastro), Minister / State Secretary (Sudharmono SH) , Attorney General, Chief of Staff Kopkamtib, Secretary General of the National Security and Defense Council, Head of Bakin, Minister of Education and Culture (Dr. Sjarief Thayeb), Minister of Health (Prof. Dr. GA Siwabessy), Minister of Information (Mashuri SH), and the Minister or officials others are determined by the President.Board convenes regularly once every month or at any time if deemed necessary by the President.
With the formation of the Council of National Security and the Political stabilization, then the discussion of any problems facing the Government and the formulation of policies and implementation measures, further stabilization in the session of the Political and Security Council (for a problem in economics), the board of stabilization Politics and National Security (for problems in politics and national security), Cabinet Limited (for the field of welfare of the people), and the Cabinet Session (for common problems faced by the State).
D) On March 5, 1974, Simple Lifestyle and Activity Limitation Servants in the Private Sector
In an effort to further improve the performance of civil servants to hold government and development of common tasks, on March 5, 1974, President Soeharto Government Regulation sets. 6 Year 1974 regarding restrictions on the business activities of Private Servants.
Regulations that came to be known as a form of wisdom about simple lifestyle prohibits the Civil Service Civil Group Group IV / a (PGPS 1968) to the above, members of the Armed Forces to the top rank of Second Lieutenant, officers and their wives:
1) Have all or part of a private company;
2) Lead, sitting as a board member or the superintendent of a private company, and
3) Conducting trading activities, both formal and casual.
In order policy "pla simple life" on March 5, 1974 that, the President set a Presidential Decree. 10 Year 1974 on some restriction on activities of public servants in order to empower the State apparatus and the simplicity of everyday life. Presidential Decree mentapkan:
a) Prohibition to provide excessive services to civil servants, members of the Armed Forces or official visit to the region, such as the organization of receptions, parties, gifts or souvenirs and others;
b) suggestion that the implementation of the birthday thing Departments / Agencies simply do not with festivities, salvation, and so by spending money the State;
c) In order for officials / agencies provided only a modest service vehicles in accordance with the standards and walkin master / use of official vehicles belonging to luxury; also prohibited a public servant / master officer / official vehicles and using more than one home office.
d) The requirement to obtain prior written approval for civil servants, members of the Armed Forces, officers, and his wife who will travel abroad for personal use;
e) ban for civil servants to enter public places such as gambling, nightclub, steam bath and so on;
f) Instructions so as the celebration of a personal nature and not simply be done in moderation.
About the wisdom of such a simple lifestyle, in many occasions asserted that President Soeharto simple lifestyle lifestyle is not anti progress, life style Melara.Simple lifestyle is frugal lifestyle and reasonable. For lavish lifestyle, extravagant, and exaggeration is not only compatible with the spirit of development, but also social solidarity.
E) On March 31, 1974, the Second Five-Year Development Plan (Repelita II)
As at March 31, 1974 the First Five-Year Development Plan (Repelita I) in 1969-1974 has ended and has successfully achieved the goal of raising the standard of living of the people and lay a solid foundation for the Second Five-Year Development Plan (Repelita II) and the subsequent development phase .
Starting on 1 April 1974 began the implementation of the Second Five-Year Development Plan (Repelita II). By Presidential Decree No. 11 Year 1974 Date March 11, 1974, the Government set the Second Five-Year Development Plan (Repelita II), which will take place in fiscal year 1974/1975 until 1978/1979.Second Five-Year Development Plan (Repelita II) was prepared by the Government based on the Broad Outlines of State Policy Guidelines (Guidelines) and has consulted widely with various stakeholders and the House of Representatives (DPR). Objectives to be achieved Second Five-Year Development Plan (Repelita II), as is the case with the First Five-Year Development Plan (Repelita I) is:
1) Improving standard of living and well-being of all people.
2) Laying the foundation for the next stage of development.
Based on the results of the First Five-Year Development Plan (Repelita I), the target set to be achieved in the Second Five-Year Development Plan (Repelita II) are:
a) Availability of food dna clothing are self-sufficient, with improved quality and bought by the general public.
b) the availability of housing materials and facilities needed, especially for the interests of the people;
c) the state of expanding infrastructure and perfect;
d) welfare state better and evenly.
e) expanding employment opportunities;
the mandate of President Suharto in front of the Assembly plebo House of Representatives (DPR) on January 7, 1974 when conveying information from the Government on the Draft State Budget Year 1974/1975, First Year Second Five-Year Development Plan (Repelita II), among others, stated that principal features of the First Five-Year Development Plan (Repelita I):
1) Second Five-Year Development Plan (Repelita II) is a continuation and improvement of the First Five-Year Development Plan (Repelita I);
2) Second Five-Year Development Plan (Repelita II) gives a possibility to further provide the balance of economic and non-economic issues;
3) In the Second Five-Year Development Plan (Repelita II), the real business of economic development attention flattening development results in the achievement of social justice;
4) In the Second Five-Year Development Plan (Repelita II), more considered management of natural resources and the human environment.
5) in the Second Five-Year Development Plan (Repelita II), improved development efforts as officers of the state apparatus more effectively and efficiently.
Second Five-Year Development Plan (Repelita II) in four books, embat Section, and Chapter 30, Part I contains the basic problems of development policies and consists of five chapters. Part II contains the problem of financing the construction and consists of four chapters. Part III contains the fields of development and consists of 21 chapters. Part IV contains the construction of 26 Regional Level I.
F) The date 1 to date of 4 April 1974, Pata Conference '74
From the 1st to the 4th of April 1974, the Conference Pata (Pacific Area Travel Association) 23rd place in Jakarta.
Present at the conference '74 Pata is approximately 1,500 participants representing 39 countries members of the company engaged in the field of touring in Asia-Pacific. This conference is the second time in Indonesia. The first was held in 1963.
One keputusanpenting Pata Conference 1974 was the transfer of the business plan and the focal point of the marketing activities for the development of tourism in developing countries along with the provision of education and skills.
Once in Jakarta, Pata Conference '74 was followed by a workshop in Bali. April 1, 1974, the President declared the same economic importance of the increasing flow of tourists to Indonesia with the ideal of the mutual understanding and friendship between the peoples of the world. Confirmed by the president that prioritizing economic objectives simply can make in a life without meaning. In '74 Pata Conference enliven Procedure was performed according to traditional Sundanese wedding.
G) On 22 April 1974, Aircraft Accident Panam in Bali
On 22 April 1974, a Boeing-owned 77 Panam (American airlines) with 107 passengers of various nationalities fell to pieces in the gap that has not been touched, after Pengotan crashed into a mountain in Bali.
With the assistance of local people, the unity of the search and rescue (Search And Rescue / SAR) trying to find a place down the plane Boeing-77 belongs to Panam and try to collect traces of the victim's body. The effort finally succeeded even be carried out with difficulty because in addition to the state of the field that is difficult to achieve as well as rescue equipment owned is still very simple. In April 1974, found the jet engine (gas transmission) were found in a mountain valley near Patas, Tinga-tinga hills, in the village of Tinga-tinga, District Grokgak, Singaraja regency, Bali.
H) On May 2, 1974, Inauguration of Use Bridges RantauBerangin
On May 2, 1974, President Soeharto inaugurated the use RantauBerangin Bridge Bridge which stretches for 120 meters with a width of 8.4 meters above the river BatangKapar, Riau. RantauBerangin Bridge is the longest span concrete bridge in Indonesia and crafted by experts and Indonesian workers themselves.
RantauBerangin bridge located on the highway connecting the city of Padang in West Sumatra and Pekanbaru, Riau provincial capital. RantauBerangin bridge built in 43 months at a cost of approximately USD 400 million.
I) Working Visit of President Soeharto to Malaysia and other countries in 1974
Overseas visits of President Soeharto's first after returning to his appointment by the President of Republic of Indonesia People's Consultative Assembly (MPR) results of the general elections in March 1973 was to Penang, Malaysia, on May 3, 1974.
In unofficial visit ended on May 4, 1974 it has held talks between President Suharto and Prime Minister Tun Abdul Razak on several issues concerning the interests of the Republic of Indonesia and Malaysia, especially the conception of the Archipelago plans Malaysia diplomatic relations and the opening of the People's Republic of China, as well as problems relationships involving Malaysia with Sabah Sabah region. Unofficial visit of President Soeharto to Penang, Malaysia, was President Suharto and Malaysian Prime Minister Tun Abdul Razak batik shirt so informal meeting is often nicknamed "batik diplomacy", which also appears to accompany the two Heads of Government of Penang Chief Minister (Chief Minister of Pulau Pinang), Dr. Lim Chong Eu.
Furthermore, in this same year 1974, President Suharto a visit to Burma on the 26th until dengna dated August 29, 1974, followed by a state visit to Singapore on August 31, 1974.
In Singapore the arrival of President Suharto met President and Mrs. Benjamin Sheares, on August 29, 1974. Dated August 30, 1974, President Soeharto and mother Soeharto is reviewing industry shipbuilding industry in the area of Jurong, Singapore.
During a visit to Burma and Mrs. Soeharto reviewing various objects and tourism industry. Looks President and Mrs. Soeharto was examining precious stones polishing industry in Burma.
J) The date of May 16, 1974, the Foundation Supersemar
On May 16, 1974, President Soeharto announced the establishment of Yayasan Supersemar. Supersemar Foundation engaged in education, which provides scholarship assistance to students or students who can not afford but clever, skillful, industrious, healthy, well behaved and loyal to Pancasila.
Supersemar Foundation led by President Suharto and the first level has provided scholarships to as many as 1884 students from various universities in Java. The awards were given for a period of one year, according to the conditions in each area where the relevant mahaiswa learning.
In 1975, the Foundation Supersemar provide more scholarships to 1270 students, this time not only from universities in Java. But also outside Java.
Beginning in 1976, planned a similar scholarship will be offered to students from different regions studying at vocational schools.
C) On August 21, 1974, Parasamya Purnakarya Nugraha
As a token of appreciation for the work of the highest achieved in the implementation of development during the First Five-Year Plan of development (REPELITA I), on August 21, 1974 President Suharto handed a gift in the form of state and sign a charter of honor called Parasamya Purnakarya Nugraha the Regional Level East Java.
Except for the area of East Java Regional Level best gift being given to one district in each province or regional flavors were also judged to have achieved the best work during the Five-Year Development Plan (REPELITA I), district terrsebut include:
1) Special Region: East Aceh;
2) North Sumatera Province: District shavings.
3) West Sumatera Province: District Tanahdatar;
4) Riau Province: District Indragiri;
5) Jambi: Jambi municipality;
6) South Sumatra Province: District LematangIlir OganTengah;
7) Bengkulu Province: North Bengkulu;
8) Lampung Province: Central Lampung regency;
9) West Java: Tangerang regency;
10) Central Java: Jepara.
11) Special Region of Yogyakarta: Bantul;
12) East Java: Trenggalek.
13) West Kalimantan Province: Sambas district;
14) Central Kalimantan Province: North Barito regency;
15) East Kalimantan Province: District Sand;
16) South Kalimantan Province: District HuluSungaiUtara;
17) South Sulawesi: Municipal Ujungpandang;
18) Southeast Sulawesi: Buton;
19) Central Sulawesi: Banggai;
20) North Sulawesi: Gorontalo regency;
21) Bali: Badung regency;
22) West Nusa Tenggara Province: District LombokTimur;
23) East Nusa Tenggara Province: Manggarai;
24) Maluku: Maluku regency, and
25) province of Irian Jaya: Jayapura.
In a ceremony at the stadium Tambaksari, Surabaya, President Soeharto handed grace Parasamya Purnakarya Nugraha the Governor of East Java, Mohammad Noer on August 21, 1974.Minister of Health, Prof.. Dr. G. A. Siwabessy on behalf of President Soeharto delivered Prasamya Purnakarya Nugraha the District Head Level II at Ternate in North Maluku, on 3 September 1974.
Minister PUTL, Ir. Sutami on behalf of President Suharto handed anugera similar to District Head Level II Gorontalo, North Sulawesi.
L) On 9 until 13 September 1974, the Cow Contest and the National Livestock Exposition, in Padaan, Pasuruan
For menggunah interest and participation of the community, especially the peternaka to improve livestock production, in Padaan, Pasuruan, East Java, on 9 to 13 September 1974 has held an exhibition contest Sapid National Livestock.
The exhibition of cattle this is the second time, the first held in Ungaran, Central Java, in January 1972.
In the framework of the expansion and intensification of efforts in the field of animal husbandry, the government has organized Guidance Chicken commenced in 1972 and Livestock Enterprises Jobs Cut Panca starting in 1974.
Cut Panca Livestock Enterprises include:
a) The use of quality seeds;
b) Use of adequate fodder;
c) Prevention of the disease effectively;
d) counseling skills of management with appropriate technology and good, and
e) the use of venture capital to entrepreneurs with the requirements of the software market for marketing.
In September 1974, Nusa Tenggara herd exhibited in "Cow Contest" and the National Livestock Exposition in Pandaan.
On March 12, 1973, also held in Badung Poultry Contest visited by President Soeharto.
M) On 16 until October 19, 1974, issue Decolonization of Portuguese Timor (East Timor)
In the implementation of Government policy on the issue of decolonization Portuguese colonies, Portugal Overseas Minister, Dr. Antonio de Almeida Santos, on the 16th until October 19, 1974, visit to Indonesia for talks with Indonesia on the implementation of policy as far as Portugal is Portuguese Portuguese (East Timor)
President Soeharto at the time received and held talks dengna Minister Almeida Santos, has confirmed that Indonesia had no territorial ambition. Also affirmed that the country gained independence from the perjungannya against colonialism, Indonesia supports the wisdom of Portugal to implement the decolonization of the territory, including East Timor, and hoped that the process of decolonization will be able to take the safe, orderly, and will not cause turmoil in the region Southeast Asia.
It is also stressed by President Suharto that in order based on the principles of decolonization and self-determination, when all the people of East Timor meyatakan intention to merge to Indonesia, Indonesia will respond positively to the notion that the merger would not be contrary to the Constitution of 1945.
On 17 October, the talks between the Portuguese Timor Portuguese delegation led by Minister for Overseas Portugal, Dr. Antonio de Almeida Santos, with the Government of Indonesia, represented by Foreign Minister Adam Malik at Ministry of Foreign Affairs building.
N) On 10 November 1974, Inauguration of Monument to the Heroes at the Heroes Cemetery Kalibata
Coinciding with the commemoration of Heroes Day on 10 November 1974, President Soeharto inaugurated the National Heroes Monument at Kalibata Heroes Cemetery. The inauguration was done in conjunction with the burial of the Unknown Soldier back frame removed from Surabaya.
In addition to the National Heroes Monument at Heroes Cemetery Kalibata hero monument was also built in various places to commemorate events bersejaran and those who died in the struggle for and defend the independence, preserve the unity and uphold the integrity of the Pancasila.
Yogyakarta monument inaugurated by President Soeharto on March 1, 1973, the monument was erected to commemorate the event "General Offensive March 1, 1949."
Pancasila Sakti monument to commemorate the seven heroes of the revolution who were victims of the September 30th Movement uprising (G30S) / Communist Party of Indonesia (PKI) was inaugurated by President Soeharto in order ceremony Pancasila Day Miracle on 1st Otober 1973. Since 1967, the 1 Otober set as the Pancasila Miracle Day is celebrated nationally. Monument is located in the village of Pancasila Sakti LubangBuaya.
O) On December 4, 1974, Aircraft Accident Carrier Pilgrims Indonesia in Sri Lanka
On December 4, 1974, the DC-8 aircraft Martin Air, owned by Martin airline Air, Holland, PT Garuda chartered to transport pilgrims air accident in Sri Lanka.
The aircraft was destroyed due to hit the cliff to the south of Colombo, the capital of Sri Lanka. All passengers of Indonesian pilgrims who departed from Juanda airport in Surabaya, as many as 182 people following Nine of the crew were killed.
Some of the bodies or parts of bodies that can be found lifted back to Indonesia on December 11, 1974 and is buried in the mosque Sunan Ampel, Surabaya.
Funeral ceremony yard buried in Sunan Ampel mosque in Surabaya, which acts as an inspector ceremony were the Minister of Religious Affairs, Prof.. Dr. Mukti Ali.
F) On 19 December 1974, Commission President Suharto Dies Natalis All 25 Universitas Gadjah Mada
In an address spoken at a ceremony for the 25th Anniversary of the University of Gadjah Mada in Yogyakarta on December 19, 1974, President Soeharto has cast some important points concerning the appreciation and practice of Pancasila.
0 comments:
Post a Comment