Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa Reformasi/ Political and Economic Developments During the Period of Reform FOR CLASS XII IPS Semester 1 HISTORY
Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa Reformasi
(Sumber: Ali, Nur. Modul Bahan Ajar Sejarah. Ponorogo: MGMP Gandini.)
I) Perkembangan cabinet Reformasi
a) Pembentukan Kabinet Reformasi. Setelah B. J. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto, kemudian pada tanggal 22 Mei 1988 Presiden B. J. Habibie mengumumkan susunan cabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet ini dilantik pada tanggal 22 Mei 1998 di Istana Negara. Pengangkatan B. J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ketiga adalah syah dan konstitusional. Pengangkatan tersebut didasarkan pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 8 dan Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/ MPR/1978 yang menyatakan: “Apabila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya”. Namun, demikian ada juga yang berpendapat bahwa B. J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ketiga adalah tidak syah dan tidak konstitusional. Hal ini didasarkan pada Undang-undang Dasar 1949 pasal 9 yang menyatakan bahwa “Sebelum Presiden memangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat”. Faktanya B. J. Habibie tidak melakukan hal yang demikian, ia megucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan Personil Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang bukan bersifat kelembagaan.
b) Pemberi Amnesti dan Munculnya Kebebasan Berpendapat.
(1) Mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1998 tentang Pemberian Amnesti. Sejumlah tahanan politik seperti SriBintangPamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan sedangkan Budiman Sudhatmiko ketua Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada masa Presiden Abdurahman Wahid.
(2) Membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, tugasnya adala mencari segara sesuatu yang berhubungan dengan kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
(3) Mengeluarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang berisi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
(4) Mencabut Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999.
c) Permasalahan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kemunculan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada awalnya merupakan konsep yang diajukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada tanggal 11 November 1968. Dalam pidatonya yang berjudul “Jalan Tengah” Jenderal Nasution mengatakan bahwa tentara juga merupakan kekuatan social-politik yang berperan dalam kegiatan social kemasyarakatan. Naiknya Jebderal Soeharto sebagai pengemban pemerintah Indonesia sejak tahun 1966 membawa doktrin ini sebagai basis landasan penguatan Negara dan lembaga keprresidenannya. Posisi militer pada era Reformasi tidak mendapat tempat yang cukup baik di hati rakyat karena: pertama, selama pemerintahan Orde Baru peranan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sangat mendominasi baik di lembaga eksekutif maupun legislative; Selama pemerintahan Orde Baru, fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bukan hanya sebagai integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi juga sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan Orde Baru, ketiga, peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 semakin menyulut sikap antipasti rakyat terhadap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kebijakan presiden B. J. Habibie untuk melakukan Reformasi tentang Dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), antara lain adalah memisahkan Kepolisian Republik Indonesia dari tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang mulai dterapkan kemudian dirubah menjadi Tentara Nasional sejak tanggal 5 Mei 1999. Teknisnya Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara berada di bawah payung Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dirubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan Kepolisian menjadi lembaga yang memiliki otonomi sendiri dengan nama Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kebijakan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga dilakukan dengan mereduksi keberadaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah Kursi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam Dewan Perwakilan Rakyat semula 75 kursi, dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 dikurangi menjadi 38 kursi, kemudian dalam Pemilihan Umum Tahun 2004 jumlah kursi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditiadakan.
d) Reformasi Hukum dan Perundang-undangan. Pelaksanaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 10-13 November 1998 selain mengukuhkan Habibie sebagai presiden Republik Indonesia, juga menghasilkan perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-undangan. Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat ini ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat dan mencapai puncaknya dalam peristiwan Tragedi Semanggi (Semanggi I), yang menewaskan 18 orang. Focus perombakan sistem hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa tersebut mengacu pada 12 ketetapan yang terbagi menjadi tiga bagian besar, yakni:
1) Bagian ketetapan yang terdiri dari enam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru, antara lain:
(a) Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok pelaksanaan Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara.
(b) Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
(c) Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Tugas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
(d) Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Proses Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
(e) Tap MPR No.XVI/MPR/1998 tentang Penegakkan Hak Asasi Manusia.
2) Bagian ketetapan yang terdiri dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengubah dan menambah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lama, antara lain:
(a) Tap MPR No. VII/MPR/1998 yang berisi perubahan dan penambahan terhadap Tap MPR No. I/MPR/1983 tentang Tatib Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.
(b) Tap MPR No. XIV/MPR/1998 yang berisi pperubahan dan penambahan teerhadap Tap MPR No. III/MPR/1983 tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum.
3) Bagian ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lama, antara lain:
a) Tap MPR No. VIII/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referandum yang menjaga Undang-undang Dasar 1945. Pencabutan Tap ini berarti pula Undang-undang Dasar 1945 dapat dirubah dan diamandemen.
(b) Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. II/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
(c) Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang Tugas dan Wewenang Presiden selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
(d) Tap MPR No. IX/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
e) Kebebasan Pers. Presiden B. J. Habibie mengeluarkan kebijakan:
(1) Menghapus Surat Ijin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP) yang pada masa Orde Baru menjadi hal yang menankutkan dalam pers.
(2) Melakukan penyederhanaan tentang penerbitan Pers baru.
(3) Mengeluarkan UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Meskipun Presiden B. J. Habibie telah melakukan liberalisasi partai politik, pemberian kebebasan pers, kebebasan pendapat, dan pencabutan Undang-undang Subversi. Walaupun begitu, Presiden B. J. Habibie juga sempat tergoda untuk meloloskan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya namun tidak dilakukan karena besarnya tekanan politik dan peristiwa Tragedi SemanggiII yang menewaskan mahasiswa Universitas Indonesia yakni Yun Hap.
f) Pelaksanaan Pemilihan Umum
Pemilihan Umum dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1999. Setelah Presiden B. J. Habibie mencabut berbagai Unddang-undang Politik warisan Orde Baru, kemudian dikeluarkan 3 undang-undang Politik baru yang mulai diterapkan pada tanggal 1 Februari 1999, yaitu:
1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, diantaranya dijelaskan bahwa peraturan pemilihan umum bersifat campuran antara sistem proporsional dan sistem distrik.
3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pemilihan Umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik dengan sistem distrik atau perwakilan dan asas LUBER dan Jurdil (Langsung, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil). Dalam pemilihan umum tahun 199 ada lima paartai yang mengumpulkan suara terbanyak, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diketuai oleh Megawati Soekarno Putri, Partai Golongan Karya (GOLKAR) diketuai oleh Akbar Tanjung, Partai Persatuan Pembangunan diketuai Hamza Haz, Partai Kebangkitan Bangsa diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan Partai Amanat Nasional diketuai oleh Amien Rais.
Setelah pemilihan Umum selesai, kemudian dilanjutkan dengan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 1-21 Oktober 1999, diantaranya diputuskan:
(1) Mengukuhkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Menolak Pidato Pertanggungjawaban Presiden B. J. Habibie melalui Tap No. III/MPR/1999.
Karena tidak ada partai politik yang memperoleh suara mayoritas dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 maka K.H. Abdurrahman Wahid yang diusung oleh Poros Tengah pimpinan Amien Rais (Partai Amanat Nasional/ PAN, Partai Persatuan Pembangunan/ PPP, Partai Bulan Bintang/PBB, dan PK) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia akhirnya memilih dan menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 1999. K. H. Abdurrahman Wahid dipilih karena mantan Ketua Umum PBNU ini adalah faktor pemersatu dan peredam arus konflik di masyarakat. Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 1999, Megawati Soekarno Putri berhasil meredam arus konflik di bawah/ masyarakat. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999, Presiden K. H. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri membentuk Kabinet Baru yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional. Masa pemerintahan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ini hanya berlangsung kurang lebih 1 tahun lebih 8 bulan. Beliau diturunkan oleh lawan politik melalui Sidang Istimewa tahun 2001 dengan alasan
(1) Adanya skandal Buloggate dan Skandal Brunaigate yang sebenarnya tidak terbukti di pengadilan namun skandaal tersebut dijadikan alasan bagi lawan politiknya untuk menjatuhkan beliau.
(2) Pengangkatan Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia yakni Komjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan kepala Polisi Republik Indonesia. Presiden K. H. Abdurrahman Wahid menganggap pengangkatan tersebut adalah hak prerogative presiden tetapi lawan politiknya menganggap bahwa penangkatan tersebut adalah melanggar Tap No.VI/MPR/2000 karena mengangkat Chaeruddin menjadi pemangku jabatan kepala Polisi Republik Indonesia tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 01.05 Waktu Indonesia Barat (WIB) Presiden K. H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi: Pembekuan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembubaran Partai Golongan Karya (Golkar) dan mempercepat pelaksanaan pemilihan Umum. Dekrit yang dikeluarkan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ternyata tidak mendapat dukungan dari Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia. Bahkan Amien Rais yang semula mendukung K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) justru berbaalik ara malah mempercepat pelaksanaan Sidang Istimewa pada tanggal 23 Juli 2001. Sidang Istimewa tersebut digelar dengan tujuan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun karena Presiden K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mau hadir, akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengukuhkan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamza Haz sebagai Wakil Presiden pada masa 2001-2004.
Pemilihan Umum Tahun 2004. Setelah amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945, pemilihan umum diatur tersendiri dalam Bab VII B, Pasal 22 E Undang-undang Dasar 1945 sebagai realisasinya dikeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum. Peraturan ini menegaskan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilihan Umum secara langsung untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat kedua). Pemilihan Umum Tahun 2004 dilaksanakn pada tanggal 5 April 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak adalah Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, dan Partai Kesejahteraan Rakyat (PKS). Kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang nantinya berhasil dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Kemenangan ini merupakan babak baru bagi Indonesia dibawah kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang berlangsung dipilih oleh rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi Presiden Republik Indoensia pada tanggal 20 Oktober 2004, kemudian dibentuklah Kabinet Baru yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.
g) Otonomi Daerah
Landasan Formal Yuridis
(1) Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 yang menegaskan perlunya mengembangkan otonomi daerah secara luas dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah diselenggarakan menurut asas desentralisasi.
(2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
(3) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerinah Daerah yang kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.
Otonomi Daerah juga meliputi otonomi social-budaya. Tata nilai dan budaya local diberi tempat yang seluas-luasnya untuk berkembang. Otonomi yang seluas-luasnya yang diberikan kepada setiap daerah provinsi, kabupaten dan kota juga menyangkut masalah pemilihan kepada daerah yang diatur melalui:
(1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemilihan Kepala Daerah.
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan Kepala Daerah dilaakukan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah).
Keuntungan dan Kelemahan Otonomi Daerah
Dampak Positif Otonomi Daerah:
(1) Menghasilkan suatu sistem pemerintahan yang resposif dan pelayanan umum yang berkualitas, cepat dan efisien.
(2) berpindahnya kekuasaan secara umum dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.
(3) Meningkaatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
(4) Memperpendek dan mempercepat jalur birokrasi.
(5) Memperbesar peranan dan pemberdayaan masyarakat di daerah.
Dampak Negatif Otonomi Daerah:
(1) Terjadinya konflik horizontal antar daerah.
(2) Berpindahnya kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diiringi pula berpindahnya korupsi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
(3) Terjadinya pemborosan anggaran.
(4) terjadi kerusakan lingkungan alam di berbagai daerah.
(5) mentabukan pendatang dari daerah lain.
h) Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan amanat Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Presiden B .J. Habibie nantinya mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang pemerintahan Negara yang bersih dari Koprupsi, Kolusi dan Nepotisme. Namun dalam prakteknya hampir tidak ada perubahan signifikan. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), usaha untuk meberantas korupsi mulai berani sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pada tanggal 7 Desember 2004, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjebloskan Abdullah Puteh (Gubernur Nanggroh Aceh Darussalam) ke rumah tahanan Salemba sebagai tersangka kasus korupsi pembelian 2 helikopter.
i) Gerakan Separatis dan Kerusuhan SARA
1) Lepasnya Provinsi Timor Timur.
a)Integrasi Timor Timur. Pada tanggal 29 November 1975 pemimpin 4 partai politik di Timor Timur yaitu:
(1) Arnoldo Reis Araujo dari Partai Adopeti (Associacao Populer Democratica de Timor)
(2) Fraansisco Xavier Lopez de Cruz dari Partai UDT (Union Democrative de Timor)
(3) Thomas Diaz Xemenes dari Partai Kota (Kilbur Oan Timur Aswain)
(4) Domingos C. Pereira dari Partai Trabilistaa.
Mencetuskaan Proklamasi Balibo yang berisi pernyataan integrasi Timor Timur dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap Proklamasi Kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975 yang dilakukan oleh Partai Fretelin (Frente Revalucionaria de Timor Leste) yang dipimpin oleh Fransisco Xavier do Amaral. Pernyataan integrasi rakyat Timor Timur itu mendaapat reaksi positif dari pemerintahan Republik Indonesiaa. Pada tanggal 17 Juli 1976 secara resmi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia yang ke-27 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976. Gubernur pertamanya Arnoldo Dos Reis Araujo dan wakilnyaa Fransisco Xavier Lopez da Cruz. Kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Tap No. VI/MPR/1978 tentang pengesahan Timor timur sebagai provinsi yang ke-27.
b) Menuju Jajak Pendapat. Meskipun Timor Timur sudah menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia, namun pro dan kontraa (pro integrasi dan anti integrasi) sesame penduduk Timor Timur tetap berlangsung. Pro dan kontraa semakin tajam tatkala Insiden Santa Cruz (12 November 1991) yaitu peristiwa penembakan terhadap demonstran di pemakaman Santa Cruz yang pada waktu itu sedang memperingati tewasnya Sebastio Gornes, seorang aktivis pro kemerdekaan. Kemudian tanggal 20 November 1992, Xanana Gusmao ditangkap dengan tuduhan sebagai otak demonstrasi di Santa Cruz. Untuk menyelesaikan Timor Timur secara tuntas, maka Presiden B. J. Habibie mengajukan dua opsi “Merdeka atau Otonomi” kepada rakyatTimor Timur. Penentuan dua opsi tersebut dilakukan dengan cara melaksaanakan Jajak pendapat yang natninya dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dan penyelenggaranyaa dilakukan oleh Misi Perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Timor Timur yang disebut UNAMET (United Nations Mission East Timor). Hasil jajak pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, yaitu sebagai berikut:
(1) Kubu Pro Kemerdekaan meraih 78,5% suara,
(2) Kubu Pro Integrasi atau Otonomi memperoleh 21,5% suara.
Meskipun di dalam negeri terjadi pro dan kontra terhadap kebijakan Presiden B. J. Habibie tersebut, namun akhirnya pada tanggal 19 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Tap No.V/MPR/1999 yang berisi tentang pengakuan atas hasil pelaksanaan jajak pendapat di Timor Timur yang diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Dengan pengakuan tersebut berarti Timor Timur terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tanggal 4 Desember 1976 sebagian dari rakyat Aceh menggabungkan diri dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan Tengku Hasan Tiro yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Aceh. Keinginan Aceh untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipicu oleh:
(a) Aceh hanya dijadikan sebagai daerah eksploitasi sumber daya alam yang banyak menguntungkan pemerintah pusat dan bangsa asing.
(b) Timbulnya kecemburuan social sebagai akibat program tnasmisi yang mendatangkan orang Jawa dalam jumlah besar yang dianggap sebagai pesaing rakyat Aceh di daerahnya sendiri.
Selain Gerakan Aceh Merdeka (GAM), juga muncul gerakan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang menuntuk kemerdekaan Aceh melalui pelaksanaan referendum. Usaha meredakan ketegangan di Aceh telah diupayakan. Beberapaa perundingan telah dilaksanakan, diantaranya:
(a) Pada tanggal 9 Desember 2002 diadakan perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss atas prakarsa Henry Dunant Centre, yang dikemas dalam program “Jeda Kemanusiaan”. Upaya perundingan ini belum dapat mewujudkan kehidupan damai di Aceh.
(b) Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia dengan Fasilisator Crisis Management Initiative pimpinan Martti Ahtisaari, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya menyetujui Nota Kesepahaman (MoU) Perdamaian yang berisi: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia untuk menyerahkan seluruh senjatanya, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk menarik seluruh Tentara Nasional Indonesia yang dikirim ke Aceh, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk memberikan Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
3) Kerusuan SARA dan terror Bom. Di era reformasi fenomena konflik yang bersuasana SARA memiliki beberapa pola, yaitu pola pertentangan antar penduduk asli dan pendatang (konflik Sambas dan Sampit, Kalimantan), Pola kedua adalah terjadinya pertentangan social dimensi agama seperti antara Islam dan Kristen (Ambon dan Poso), dan Pola lainnya adalah koflik disebabkan oleh faktor eksternal yaitu berkaitan dengan konflik elite baik di tingkat pusat maupun local, ulah provokator dan pengaruh informasi global melalui media masa dan isu dengan selebaran. Selain konflik SARA, juga terjadi terror bom.
II) Perkembangan Sosial dan Ekonomi Pada masa Reformasi. Pembenahan ekonomi pada era reformasi difokuskan lima bidang kerja utama, yaitu:
(1) Melaksanakan rekapitulasi perbankan Indonesia.
(2) Melaksanakan likuidasi (pembubaran) bank yang bermasalah.
(3) Memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga mencapai di bawah Rp 10.000.
(4) Membangun konstruksi baru perekonomian Indonesia.
(5) Melaksanakan syarat reformasi ekonomi yang diberikan oleh IMF (International Monetery Fund) kepada Pemerintah Indonesia.
Dalam pembenahan masalah krisis ekonomi, ternyata menunjukkan hasil yang sangat lamban dibandingkan Negara Asia lainnya, disebabkan oleh:
(1) Berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan Negara menjadi sangat kompleks seiring dengan kejatuhan ekonomi tersebut.
(2) Tingginya tingkat intensitas konflik politik internal dalam negeri membuat kosentrasi penangan masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal.
(3) menurunya investasi asing di Indonesia.
(4) Dorongan IMF (International Monetery Fund) untuk menerapkan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) di Indonesia semakin menambah kesengsaraan rakyat Indonesia.
Apabila dicermati, memburuknya kondisi social dan ekonomi Indonesia pasca reformasi salah satunya dapat dilihat dari poin kebijakan penghapusan subsidi bagi masyarakat yang disodorkan IMF (International Monetery Fund). Proteksionisme terhadap sector perekonomian dalam negeripun dilarang. IMF (International Monetery Fund) melihat bahwa pereknomian bangsa akan lebih efektif apabila diserahkan pada kekuatan ekonomi pasar. Akan tetapi, di satu sisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat. Sementara di sisilain, pemerintah tidak boleh memberikan subsidi usaha maupun proteksionisme terhadap sector ekonomi local. Meningkatkan masalah social pun menjaddi tak terhindarkan dari adanya krisis ekonomi ini. Meningkatnya angka pengangguran, melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dan makin meningginya akan kriminalias menjadi warna dan krisis multimedia yang dihadapai olehIndonesia pasca reformasi difokuskan pada hal sebagai berikut:
(1) Meningkatkan lapangan pekerjaan yang seoptimal mungkin. Metode yang diterapkan pemerintah adalah dengan menggalakkan investasi asing sebagai potensi lapangan pekerjaan baru.
(2) menyediakan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
(3) optimalisasi barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.
(4) mengoptimalkan sector pendidikan yang bertujuan untuk memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak.
(5) memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk akses kesehatan.
IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):
(Source: Ali, Nur. Modules Teaching Material History. Ponorogo: MGMP Gandini.)
I) Development Reform Cabinet
a) Establishment Reform Cabinet. After B. J. Habibie succeeded Suharto became president, then on May 22, 1988 President B. J. Habibie announced the composition of a new cabinet, called the Development Reform Cabinet. The Cabinet was appointed on May 22, 1998 at the State Palace. B. Appointment J.Habibie as President of the Republic of Indonesia and the third is syad constitutional. The appointment is based on the Constitution of 1945 Section 8 and Tap MPR No. VII / MPR/1978 which states: "If the President die, resign or can not perform his duty, he was succeeded by Vice-President until the expiration of the time". However, as there is also an opinion that B. J. Indonesian President Habibie as the third is unlawful and unconstitutional. It is based on the Constitution of 1949 Article 9 states that "Before the president took office the President must take an oath and pledge in front of the People's Consultative Assembly and the House of Representatives". In fact B. J. Habibie did not do such things, he megucapkan oath and pledge in front of the Supreme Court and Personnel MPR and DPR are not institutional.
b) An Amnesty and the emergence of freedom of opinion.
(1) Remove the Presidential Decree No. 80 Year 1998 on the Granting amnesty.A number of political prisoners such as SriBintangPamungkas and Muchtar Pakpahan released while Budiman Sudhatmiko new chairman of the Peoples Democratic Party released at the time of President Abdurahman Wahid.
(2) Establish a Joint Fact Finding Team (TGPF) chaired by Marzuki Darusman, seek immediate task adala something to do with the riots on 13-14 May 1998 in Jakarta.
(3) Issue of Law No. 9 of 1998 provides freedom of expression in public.
(4) Repeal Law on the Suppression Actions 11/PNPS/1963 subversion by issuing Law No. 26 Year 1999.
c) Problems Dual Function of the Indonesian Armed Forces (ABRI). The emergence of dual function of the Indonesian Armed Forces (ABRI) was originally a concept proposed by General Abdul Haris Nasution on November 11, 1968. In his speech entitled "The Middle Way" General Nasution said that the army is also a social and political forces that play a role in community social activities. Rising Jebderal Soeharto as carrier of the Indonesian government since 1966 to bring this doctrine as the basis and foundation strengthening State institutions keprresidenannya. Military position in the era of the Reformation did not get a good enough place in the hearts of the people because: first, during the New Order administration roles Indonesian Armed Forces (ABRI) dominates both the executive and legislative institutions; During the New Order, the functions of the Armed Forces of the Republic of Indonesia ( ABRI) not only as the integrity of the Unitary Republic of Indonesia but also as a tool to perpetuate the power of the New Order, third, the shooting of four Trisakti University students on May 12, 1998 further fueled people's attitudes towards antipasti Indonesian Armed Forces (ABRI). Policies president B. J. Habibie to perform dual function of the Reform of the Indonesian Armed Forces (ABRI), among others, is separate from the body of the Police of the Republic of Indonesia Indonesian Armed Forces (ABRI) who started dterapkan then changed to the Armed Forces of the date of May 5, 1999.Technically the Army, Navy and Air Force under the umbrella of the Indonesian Armed Forces (ABRI) was changed to the Indonesian military (TNI). While the police became autonomous institution by the name of the Indonesian National Police. Policies dual function of the Indonesian Armed Forces (ABRI) is also done by reducing the presence of the Indonesian Armed Forces (ABRI) in the body of the House of Representatives. The number of seats the Indonesian Armed Forces (ABRI) in the House of Representatives originally 75 seats in the General Election of 1999 was reduced to 38 seats, and then in the general election of 2004 the number of seats the Indonesian Armed Forces (ABRI) in the House of Representatives abolished.
d) Legal Reform and Legislation. Implementation of the People's Consultative Assembly Special Session on 10-13 November 1998 in addition to confirming Habibie as president of the Republic of Indonesia, also produced a massive overhaul of the legal system and legislation. Special Session of the MPR is opposed by a wave of demonstrations of tens of thousands of students and people and culminated in tragedy peristiwan Clover (Clover I), which killed 18 people. Focus overhaul of the legal system legislation resulting in a special session refers to the 12 provisions that are divided into three major parts, namely:
1) The provision of six provisions of the People's Consultative Assembly (MPR) has, among other things:
(A) No. MPR. X/MPR/1998 about the implementation of the Principles of State Policy Reform as Development.
(B) MPR No.XI/MPR/1998 on the Implementation and Operation of the State Government free from corruption, collusion and nepotism.
(C) No. MPR. XIII/MPR/1998 Work Period Restrictions on the President and the Vice President of the Republic of Indonesia.
(D) No. MPR. XV/MPR/1998 on Regional Autonomy Implementation Process.
(E) MPR No.XVI/MPR/1998 on Enforcement of Human Rights.
2) The provisions consist of provisions of the People's Consultative Assembly (MPR), which amended and added provisions People's Consultative Assembly (MPR) of time, among other things:
(A) No. MPR. VII/MPR/1998 that contains changes and additions to the MPR Decree No.. I/MPR/1983 Rule of the People's Consultative Assembly (MPR) of the Republic of Indonesia.
(B) No. MPR. XIV/MPR/1998 containing pperubahan and the addition of MPR Decree No. teerhadap. III/MPR/1983 on the General Elections.
3) The repeal of provisions are provisions of the People's Consultative Assembly (MPR) long, among others:
a) No. MPR. VIII/MPR/1998 that contains the MPR Decree No. revocation.IV/MPR/1983 referendum on keeping the Law of 1945. Tap this means repeal of the Act also of 1945 can be changed and amended.
(B) No. MPR. XVIII/MPR/1998 that contains the MPR Decree No. revocation. II / MPR/1978 about Living the Guidelines and Pancasila.
(C) No. MPR. XII/MPR/1998 on MPR Decree No. revocation. V/MPR/1978 of Duties and Powers of the President as Mandatary People's Consultative Assembly (MPR).
(D) No. MPR. IX/MPR/1998 that contains the MPR Decree No. revocation.II/MPR/1998 on Broad Outlines of State Policy.
e) Freedom of the Press. President B. J. Habibie issued a policy:
(1) Deleting Business License Printing and Publishing (SIUPP) that during the New Order into the menankutkan in the press.
(2) simplification of the issuance of the new press.
(3) Remove the Law No.9 of 1998 on freedom of expression in public.
Although President B. J. Habibie had to liberalize political parties, granting freedom of the press, freedom of opinion, and the repeal of the Act Subversion.Even so, President B. J. Habibie also was tempted to pass legislation Response State of Emergency but not done because of political pressure and the magnitude of the events SemanggiII tragedy that killed the University of Indonesia student Yun Hap.
f) The General Election
General Election and the General People's Consultative Assembly (MPR) of 1999. After President B. J. Habibie repeal various laws Unddang Political legacy of the New Order, and issued three new political laws that went into effect on February 1, 1999, namely:
1) of Act No. 2 of 1999 on Political Parties.
2) of Act No. 3 of 1999 on General Elections, which are described that election law is a mixture of proportional and district systems.
3) Act No. 4 of 1999 on the Structure and Functions of the People's Consultative Assembly (MPR) and the House of Representatives (DPR).
General Elections held on June 7, 1999 which was attended by 48 political parties and representatives of the district system or principle overflow and Jurdil (Direct, Free, Confidential, and Fair). In the general election in 199, there are five paartai that collects the most votes, the Indonesian Democratic Party of Struggle headed by Megawati Soekarno Putri, Golkar Party (Golkar) headed by Akbar Tanjung, the United Development Party headed by Hamza Haz, National Awakening Party headed by Abdul Djalil Matori and the National Mandate Party headed by Amien Rais.
After the General election is completed, followed by the General Assembly of the People's Consultative Assembly (MPR) on October 1 to 21, 1999, of which it was decided:
(1) Confirmed Amien Rais as Chairman of the People's Consultative Assembly (MPR) and Akbar Tanjung as Chairman of the House of Representatives.
(2) Refuse Responsibility Speech of President B. J. Tap No. Habibie through.III/MPR/1999.
Since no political party a majority in the General Election of 1999 the KHAbdurrahman Wahid promoted by the Central Axis leader Amien Rais (PAN / PAN, the United Development Party / PPP, the Crescent Star Party / United Nations, and PK) was elected as the President of the General Assembly of the Republic of Indonesia People's Consultative Assembly (MPR) of 1999. People's Consultative Assembly (MPR) of the Republic of Indonesia finally choose and set Abdurrahman Wahid as President of the Republic of Indonesia on October 20, 1999. K. H. Abdurrahman Wahid was chosen because the former chairman of the NU is a unifying factor and a silencer in the current conflict. Furthermore, on October 21, 1999, Megawati Soekarno Putri managed to reduce the flow of conflict under / public. Then on October 25, 1999, President K. H. Abdurrahman Wahid and Vice President Megawati Soekarno Putri forming new Cabinet named the National Unity Cabinet. The reign of President K. H. Abdurrahman Wahid was only last about 1 year and 8 months. He was taken down by political opponents through the 2001 Special Session on the grounds
(1) The scandal Buloggate and Brunaigate scandal that was not proven in court, but skandaal was used as an excuse for his political opponents to overthrow him.
(2) Appointment of Deputy Chief of Police of the Republic of Indonesia which Komjen (Pol) Chaeruddin become stakeholders while as head of the Police of the Republic of Indonesia. President K. H. Abdurrahman Wahid considers such appointments are the prerogative of the president but his political opponents believe that it is a violation Tap penangkatan No.VI/MPR/2000 for raising Chaeruddin became acting head of the Police of the Republic of Indonesia without the approval of the House of Representatives.
To overcome this, on July 23, 2001 at 01:05 West Indonesia Time (WIB) President K. H. Abdurrahman Wahid issued Presidential Decree containing: Freezing People's Consultative Assembly and the House of Representatives (DPR), the dissolution of the Party of Functional Groups (Golkar) and accelerate the implementation of the General election. Presidential decree K. H.Abdurrahman Wahid did not have the support of the Indonesian National Armed Forces and the Police of the Republic of Indonesia. Even Amien Rais who originally supported K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) actually berbaalik ara actually accelerate the implementation of the special session on July 23, 2001.Special Session was held with the aim to hold the President K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). But as the President K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) failed to appear, eventually the People's Consultative Assembly (MPR) Megawati Soekarno Putri confirmed as President of the Republic of Indonesia and as Vice President Hamza Haz during 2001-2004.
General Election of 2004. After the third amendment to the Constitution of 1945, general elections are regulated separately in Chapter VII B, Section 22 E of Act of 1945 as the realization issued Law No. 12 of 2003 on the General election. This regulation confirms that the elections be held by the Election commission directly to the members of the Regional Representative Council (DPD), the President and the Vice President and the House of Representatives (DPR Center, Regional Representatives Council of First Instance, the Regional Representatives Council second level) . General Election 2004 dilaksanakn on April 5, 2004 which was attended by 24 political parties. The political party with the most votes is the Party of Functional Groups (Golkar), the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP), the United Development Party (PPP), the Democratic Party and Welfare Party (PKS). Then proceed with the election of President and Vice President of the Republic of Indonesia were elected directly by the people who later successfully won by Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) and Jusuf Kalla (JK). The win marked a new chapter for Indonesia under the leadership of president and vice president elected by the people going. Susilo Bambang Yudhoyono was sworn in as President of the Republic of Indonesia on October 20, 2004, and then formed a new cabinet was named the United Indonesia Cabinet.
g) Regional Autonomy
Formal Juridical Basis
(1) Outline of State Policy Guidelines (Guidelines) in 1999-2004 which emphasizes the need to develop a broad autonomy within the Unitary State of the Republic of Indonesia. Regional autonomy is organized according to the principle of decentralization.
(2) of Law No. 22 Year 1999 on Regional Autonomy which was then revised and refined through Law No. 32 of 2004.
(3) of Act No. 25 of 1999 on Financial Considerations between the Central and Regional GOI then revised and refined by Law No. 33 of 2004.
Autonomy also includes social-cultural autonomy. Local cultural values and given a place as possible to grow. The broadest autonomy given to each of the provinces, districts and cities also comes to the selection of the areas regulated by:
(1) of Law No. 32 Year 2004 on Regional Chief election.
(2) Government Regulation No. 6 of 2005 concerning procedures for the election by the Election Commission Head dilaakukan Regional (Regional Electoral Commission).
Advantages and Disadvantages of Regional Autonomy
Positive Impact of Regional Autonomy:
(1) Generate a responsive system of governance and public services are high quality, fast and efficient.
(2) the transfer of the general powers of the central government to local government.
(3) Meningkaatkan income and welfare in the region.
(4) Shortening and speed up the bureaucracy.
(5) Increase the role and community development in the area.
Negative Impact of Regional Autonomy:
(1) The occurrence of horizontal conflicts between regions.
(2) the transfer of powers from central government to local governments is also accompanied by the migration of the corruption of the central government to local governments.
(3) The occurrence of waste budget.
(4) damage to the natural environment in many regions.
(5) mentabukan migrants from other regions.
h) Anti-Corruption. In accordance with the mandate of MPR Decree No..XI/MPR/1998 on the Implementation and Operation of the State Government free from corruption, collusion and nepotism. President B. J. Habibie later issued Law No. 26 Year 1999 concerning State government clean of Koprupsi, collusion and nepotism. However, in practice almost no significant change. During the administration of President Megawati Soekarno Putri, the government established the Corruption Eradication Commission (KPK), the business began to dare to meberantas corruption since the government of President Susilo Bambang Yudhoyono and on December 7, 2004, the Corruption Eradication Commission (KPK) throws Puteh (Governor of Aceh Darussalam Nanggroh ) to house arrest as a suspect in a corruption case Salemba purchase of two helicopters.
i) Separatist Movement and SARA Riots
1) The loss of East Timor.
a) Integration of East Timor. On 29 November 1975 leaders of four political parties in East Timor, namely:
(1) Arnoldo Reis Araujo Adopeti Party (Associacao Popular Democratica de Timor)
(2) Fraansisco Xavier Lopez de Cruz of the UDT party (Union Democrative de Timor)
(3) Thomas Diaz Xemenes from Party City (East Oan Kilbur Aswain)
(4) C. Domingos Pereira Trabilistaa Party.
Proclamation Mencetuskaan Balibo which contains a statement of the integration of East Timor into the Unitary Republic of Indonesia. Proclamation is a form of rejection of the Proclamation of Independence of East Timor on 28 November 1975 made by the party Fretilin (Frente Revalucionaria de Timor Leste), led by Francisco Xavier do Amaral. Statement of East Timor's integration mendaapat positive reaction from Republican Indonesiaa. On July 17, 1976 was officially a province of Indonesia of East Timor's 27 with the issuance of Law No. 7 of 1976.Arnoldo first governor Dos Reis Araujo and wakilnyaa Francisco Xavier Lopez da Cruz. Then reinforced by the release of Tap No.. VI/MPR/1978 about ratification East Timor as its 27th province.
b) Towards Polls. Although East Timor has become part of the Republic of Indonesia, but the pros and kontraa (pro-integration and anti-integration) fellow East Timorese continue. Pros and sharper when the incident kontraa Santa Cruz (12 November 1991) that the shooting of demonstrators in the Santa Cruz cemetery at that time were commemorating the death of Sebastio Gornes, a pro-independence activist. Then on 20 November 1992, Xanana Gusmao was arrested on charges of masterminding demonstrations in Santa Cruz. To resolve the East Timor completely, then President B. J. Habibie proposed two options "Independence or autonomy" for East rakyatTimor. Determination of the two options is done by melaksaanakan natninya poll was held on August 30, 1999 and penyelenggaranyaa conducted by Peace Mission to the United Nations in East Timor called UNAMET (United Nations Mission East Timor). The poll results were announced on 4 September 1999 by the Secretary-General of the United Nations in New York, as follows:
(1) Pro Independence faction won 78.5% of the vote,
(2) stronghold Pro Integration or Autonomy gained 21.5% of the vote.
Although it happened in the country and against the policies of President B. J.Habibie, but finally, on October 19, 1999, the People's Consultative Assembly (MPR) issued Tap No.V/MPR/1999 that contains recognition of the results of the popular consultation in East Timor, held on August 30, 1999. With such recognition means East Timor separated from the Republic of Indonesia.
2) Free Aceh Movement (GAM). On December 4, 1976 as part of the Acehnese joined the Free Aceh Movement (GAM) under the chairmanship of Tengku Hasan Tiro who then proclaimed the independence of Aceh. Aceh desire to escape from the Unitary State of the Republic of Indonesia, triggered by:
(A) only as Aceh area of natural resource exploitation are many lucrative government and foreign nations.
(B) The emergence of social jealousy due tnasmisi programs that bring in large numbers of Javanese considered as a competitor to the Acehnese people in its own country.
In addition to the Free Aceh Movement (GAM), also appeared movements Aceh Referendum Information Center (SIRA), which requires both the independence of Aceh through the referendum. Effort to ease tensions in Aceh have been attempted. Beberapaa negotiations have been implemented, including:
(A) On December 9, 2002 held talks between the Indonesian government and the Free Aceh Movement (GAM) in Geneva, Switzerland on the initiative of Henry Dunant Centre, which is packaged in the program "Humanitarian Pause". This collective effort has not been able to realize the peaceful life in Aceh.
(B) On August 15, 2005 in Helsinki, Finland with Fasilisator Crisis Management Initiative led Martti Ahtisaari, the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement (GAM) has finally agreed to a Memorandum of Understanding (MoU) that contains Peace: Aceh Movement (GAM) are willing to give up all weapons, the Government of the Republic of Indonesia agreed to withdraw all Indonesian National Army were sent to Aceh, the Indonesian Government agreed to grant special autonomy for Aceh within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia
3) Kerusuan SARA and terror bombings. In the reform era conflict that atmospheric phenomena SARA has several patterns, the pattern of conflict between natives and immigrants (conflict Sambas and Sampit, Kalimantan), second pattern is the social dimension of conflicts between religions such as Islam and Christianity (Ambon and Poso), and Patterns the other is a conflict that is caused by external factors associated with elite conflicts both at central and local levels, caused by provocateurs and the influence of global information through the mass media and the issue of the leaflets. In addition to racial conflict, terror bombings also occurred.
II) Economic and Social Development During the Reformation. Settling economic reform era focused on five main areas of work, namely:
(1) Implement the Indonesian banking recapitulation.
(2) Implement liquidation (dissolution) troubled banks.
(3) Improve the rupiah against the U.S. dollar up to under $ 10,000.
(4) Building a new construction of the Indonesian economy.
(5) Implement the requirements of economic reforms provided by the IMF (International Monetary Fund) to the Government of Indonesia.
In revamping the problem of economic crisis, it showed a very slow compared to other Asian countries, is caused by:
(1) A variety of problems in society and the State to be very complex due to the economic collapse.
(2) The high level of intensity of internal political conflict in the country made the concentration of economic and social problems handlers not be optimal.
(3) the decline in foreign investment in Indonesia.
(4) The urge IMF (International Monetary Fund) to implement Structural Adjustment Program (Structural Adjustment Programme) in Indonesia adds to woes of the people of Indonesia.
When observed, the worsening social and economic conditions of post-reform Indonesia one of them can be seen from the points policy for the elimination of subsidies offered IMF (International Monetary Fund). Protectionism is the economic sector in this country is prohibited. IMF (International Monetary Fund) seen that pereknomian nation would be more effective if it is left in the power of the market economy. However, on the one hand, the economic crisis in Indonesia resulted in the declining purchasing power. While in sisilain, the government should not provide subsidies to the sector of business and local economic protectionism. Increasing social problems were inevitable menjaddi of this economic crisis. Rising unemployment, slowing economic growth and will kriminalias become increasingly heightened color and multimedia crisis faced by post-reform olehIndonesia focused on the following:
(1) Increasing employment optimally. The method is applied by the government to encourage foreign investment as the potential for new jobs.
(2) providing for the basic needs.
(3) optimizing goods basic needs.
(4) optimize the education sector aims to provide easy access for citizens to obtain a decent education.
(5) makes it easy for people to access healthcare.
0 comments:
Post a Comment