Perkembangan Politik dan Ekonomi dalam Upaya mengisi Kemerdekaan Indonesia/ Political and Economic Developments in Efforts to fill the Indonesian Independence FOR CLASS XII IPS Semester I HISTORY
Perkembangan Politik dan Ekonomi dalam Upaya mengisi Kemerdekaan Indonesia
(Sumber: Ali, Nur. Modul Bahan Ajar Sejarah. MGMP:Ponorogo.)
A) Penataan Kehidupan Politik.
I)Sistem pemerintahan. Setelah Indonesia merdeka atau tepatnya pada tanggal 14 November 1945 terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensil ke parlementer. Berbagai cara cabinet yang memerintah di Indonesia pada masa Perang Kemerdekaan adalah sebagai berikut:
a) Kabinet Sutan Syahrir I (14 November 1945- 28 Februari 1946).
b) Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946- 14 Agustus 1946).
c) Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-24 Juni 1949).
d) Kabinet Hatta atau Republik Indonesia Serikat/ RIS (20 Desember 1949-17 Agustus 1950).
Setelah Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan dengan menggunakan Undang-undang Dasar Sementara 1950, sistem pemerintah di Indonesia masih tetap bersifat parlementer. Berikut ini adalah cabinet yang pernah memerintah sejak berlakunya Undang-undang Dasar 1950 sampai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
a) Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951), merupakan cabinet koalisi dengan partai Masyumi sebagai intinya. Programnya sebagai berikut: pertama, menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman, kedua, konsolidasi dan penyempurnaan pemerintahan, ketiga, menyempurnakan organisasi angkatan perang dan pemulihan mantan anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat, keempat, memperjuangkan penyelesaian Papua Barat, kelima, mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat. Kabinet Natsir jatuh akibat mosi tidak percaya dari Hadikusumo (Partai Nasional Indonesia/ PNI) mengenai pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) yang dianggap menguntungkan Masyumi.
b)Kabinet Sukiman (16 April 1951-23 Februari 1952). Merupakan cabinet koalisi dari Masyumi dan Partai Nasional Indonesia/ PNI. Programnya sebagai berikut: pertama, menjalankan tindakan tegas sebagai Negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman, kedua, mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaharui hukum agraris serta mempercepat persiapan Pemiliha Umum (Pemilu), menjalankan politik luar negeri bebas aktif, pembebasan Papua Barat. Kabibet Sukiman jatuh akibat ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi, teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat atas dasar “Mutual Security Act” atau Persetujuan bersama antara Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Persetujuan tersebut ditafsirkan Indoneisa telah memasuki Blok Barat yang tidak sesuai dengan politik luar negeri bebas aktif.
c)Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-1 Juni 1953). Inti cabinet berasal dari Partai Nasional Indonesia meskipun tetap berkoalisi dengan Masyumi. Programnya sebagai berikut: pertama, persiapan pemilihan umum, kedua, peningkatan taraf hidup dan keaman, ketiga, peningkatan pembebasan Papua Barat, keempat, melaksanakan politik luar negeri bebas aktif. Cabinet Wilopo jatuh akibat adanya mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia berkaitan dengan peristiwa Tanjung Morawa yaitu penyerobotan tanah yang dilakukan oleh golongan komunis yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
d) Kabinet Ali Sastroamijoyo (31 Juli 1953-23 Juli 1955). Merupakan cabinet koalisi antara Partai Nasional Indonesia dan Partai Indonesia Raya atau disebut Kabinet Ali Wongso. Programnya pada dasarnya sama dengan cabinet Wilopo. Cabinet Ali jatuh akibat :Peristiwa 27 Juni 1955” adalah peristiwa pergantian Kepala Staf Angkatan Darat yang kosong setelah Kolonel Bambang Sugeng mengundurkan diri kemudian pimpinan Angkatan Darat diserahkan kepada Wakasad Kolonel Zulkifli Lubis, tetapi pemerintahan atau menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri tidak menyetujuinya. Beliau mengangkat Kolonel Bambang Oetoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Pengangkatan tersebut diboikot oleh sebagian besar pimpinan Angkatan Darat, akibatnya pemerintah terpaksa memecat kembali Kolonel Bambang Oetoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Kelemahan pemerintahan tersebut dijadikan alasan oleh Zainul Baharuddin untuk mengajukan mosi tidak percaya yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Ali pertama tanggal 24 Juli 1955. Di samping itu kejatuhannya juga disebabkan oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk dan korupsi yang mengakibatkan rakyat merosot.
e) Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-23 Juli 1956). Cabinet ini intinya adalah Partai Masyumi. Programnya pada hakekatnya sama dengan cabinet Ali, kecuali dua hal yang penting yaitu: pertama, memberantas korupsi, dan melaksanakan pemilihan umum. Setelah Pemilihan Umum berhasil dilaksanakan. Cabinet Burharuddin tidak cukup mempunyai dukungan mengungat jumlah suara yang diperoleh, sehingga pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden.
f) Kabinet Ali Sastroamijoyo II (12 Agustus 1956-14 Maret 1957) merupakan cabinet koalisi dari Partai Nasional Indonesia, Masyumi dan Nahdatul Ulama/ NU. Programnya disebut Rencana Lima Tahun, yaitu: pertama, perjuangan pembebasan Papua Barat, kedua, melaksanakan pembentukan daerah otonom dan mempercepat pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ketiga, perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai, keempat, menyehatkan keuangan Negara, kelima, mewujudkan pergantian ekonomi colonial menjadi ekonomi nasional. Pada masa cabinet Ali kedua terjadi gerakan anti Cina dan kekacauan di berbagai daerah. Akhirnya Kabinet Ali kedua jatu akibat terjadi perpecahan Partai Nasional Indonesia/ PNI dan Masyumi.
g)Kabinet Djuanda (9 April 1957-5Juli 1959). Cabinet Djuanda merupakan zaken cabinet yang anggotanya berasal dari partai politik dan bukan partai politik. Cabinet Djuanda disebut juga “Kabinet Karya” dan programnya disebut “Panca Karya”, yaitu: pertama, membentuk Dewan Nasional, kedua, normalisasi keadaan Republik, ketiga, melancarkan pelaksanaan pembatalan Konferensi Meja Bundar (Undang-undang Nomor 13 Tahun 1956), ketiga, memperjuangkan pembebasan Papua Barat, kelima, mempergiat pembangunan.
II) Sistem Kepartaian dan Pelaksanaan Pemilihan Umum. Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang mengijinkan berdirinya partai-partai, maka lahirlah banyak partai baik yang beraliran agama, nasional, maupun social-komunis. Setiap partai berusaha ikut andil dalam pemerintahan, sehingga terjadilah pergantian cabinet yang tiada habisnya. Kemudian untuk membentuk pemerintahan yang benar-benar mendapat mandate dari rakyat maka perlu dilaksanakan pemilihan umum. Pada masa pemerintahan Kabinet Ali-Wongso, pada tanggal 31 Mei 1954 dibentuk Pemilihan Umum Pusat yang diketuai oleh Hadikusumo dari Partai Nasional Indonesia/PNI/ Tetapi pelaksanaan pemilihan umum baru terialisasi pada masa pemerintahan cabinet Burhanudin Harahap. Dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota badan konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat, serta Undang-undang Nomor 9 Tahun 1954 tentang Pemilihan Umum. Pemilihan Umum Tahun 1955 dilaksanakan dua tahap yaitu:
1) Tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat/DPR yang terpilih sebanyak 272 orang, terdiri dari: Masyumi (60 kursi), Partai Nasional Indonesia/PNI (58 kursi), Nahdatul Ulama (47 kursi), Partai Komunis Indonesia (32 kursi), sisanya partai-partai kecil. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Perwakilan Rakyat berhasil mengesahkan 113 Undang-undang.
2) Tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante (542 orang).
B) Penataan Kehidupan Ekonomi
I) Nasionalisasi De Javasche Bank. Pada masa cabinet Sukirman, melalui Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis melakukan penataan terhadap lembaga keuangan Negara dengan menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Adapun langkah yang ditemph pemerintah adalah:
(a) Tanggal 19 Juni 1951 dibentuk Panitia nasionalisasi De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor 118 tanggal 2 Juni 1951. Tugas panitia adalah mengajukan usul tentang nasionalisasi, rencana Undang-undang nasionalisasi dan merencanakan Undang-undang baru bank sentral.
b) Memberhentikan Dr. Houwink (Belanda) sebagai presiden De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 tanggal 12 Juli 1951.
c) Mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 123 anggal 12 Juli 1951.
d) Tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1951 diumumkan Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
e) Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11/153 dan Lembaran Uang Negara Nomor 40 dan Undang-undang Pokok Bank Indonesia, maka semakin kuatlah keberadaan Bank Indonesia sebagai bank milik pemerintah Republik Indonesia.
II) Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan ide Dr. Sumitro Joyohadikusumo yang pada waktu itu sebagai Menteri Perdagangan pada cabinet Natsir. Menurutnya untuk membangun perekeonomian dimulai dari sector perdagangan. Untuk mengubah struktur ekonomi dan sistem ekonomi colonial ke dalam sistem ekonomi nasional, dilakukan dengan pemberian bantuan kredit kepada para pengusaha nasional. Adapun tujuan program ekonomi Gerakan Benteng adalah:
a) Memberikan motivasi kepada para importer nasional agar mampu bersaing dengan perusahaan impor asing.
b) Menumbuhkan nasionalisme ekonomi dan membina wiraswastawan tertentu..
c) Memberikan kredit para pengusaha Indonesia.
d) memberikan izin khusus dalam membatasi impor barang tertentu.
Program Benteng ini berlangsung pada tahun 1950-153, kurang lebih 700 pengusaha pribumi dapat bantuan kredit, namun usaha ini mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan karena:
1) Pengusaha pribumi tidak mampu bersaing dengan pengusaha non pribumi (China).
2) Mentalitas pengusaha pribumi lebih cenderung bersifat konsumtif yang ingin mendapatkan keuntungan dan menikmati cara hidup mewah.
III) Sistem Ekonomi Ali-Baba. Sistem ini merupakan gagasan dari Mr. Iskak Tjokrohadisurjo (Menteri Perekonomian) pada masa cabinet Sastroamijoyo Pertama yang bertujuan untuk memajukan pengusaha pribumi melalui kerjasama ekonomi antara lain pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha Cina (Baba). Adapaun langkah-langka yang ditempuh adalah:
a) Mendirikan perusahaan Negara.
b) memberikan kredit dan izin baru bagi perusahaan swasta nasional.
c) memberikan perlindungan terhadap perusahaan nasional.
d) menghapus pengusaha asing untuk memberikan jabatan penting penting kepada tenaga bangsa asing.
Dalam melaksanakan sistem ini juga mengalami kegagalan, hal ini karena disebabkan pengusaha pribumi hanya dijadikan alat oleh pengusaha non pribumi (Cina) untuk memperoleh bantuan kredit sehingga yang untuk kembali kepada pengusaha non pribumi. Selain langkah di atas, untuk mengatasi krisis ekonomi pemerintah juga melakukan langkah-langkah berikut:
1) Melakukan pemotongan nilai mata uang yang dilaksanakan sejak tanggal 19 Maret 1950 pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat.
2) Mengeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 21 Tahun 1950 tentang pengeluaran kertas baru yang nantinya dikenal dengan “Kebijakan Syafrudin”.
C.) Lahirnya Dekrit Presiden
I) Lahirnya Dekrit Presiden. Setelah pemilihan umum tahun 1955 dilaksanakan dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante terbentuk ternyata Indonesia masih tetap mengalami krisis politik. Banyak partai politik ternyata telah merusak persatuan dan stabilitas nasional. Sementara itu daerah-daerah pun bergolak karena merasa tidak puas dengan pemerintah pusat. Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengeluarkan “Konsepsi Presiden” Soekarno mengeluarkan “Konsepsi Presiden” yang berisi tiga hal, yaitu:
1)Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
2) Pembentukan Kabinet Gotong Royong yang berintikan “Kabinet Kaki Empat” yaitu cabinet yang didukung oleh empat kekuasaan partai politik pemenang Pemilihan Umum Tahun 1955, yakni Masyumi, Nahdatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia.
3) Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan fungsional dalam masyarakat.
Tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada cabinet. Konsep presiden ini ditentang oleh Masyumi, Nahdatul Ulama, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSSI), Partai Katolik, dan PRI. Pro dan Kontra terhadap konsepsi Presiden mencapai puncaknya setelah Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden Republik Indonesia mengundurkan diri. Sementara itu, Konstituante yang diberi tugas membuat Undang-undang Dasar baru sebagai pengganti dari Undang-undang Dasar 1950 tidak berhasil melaksanakan tugasnya. Keadaan politik Indonesia yang tidak menentu tersebut semakin parah dengan meletusnya pemberontakan PRRI/ PERSEMESTA (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/ Persemesta). Hal inilah yang kemudian mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan:
1) Pembubaran Konstituante.
2) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
3) berlakunya kembali Undang-undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya Undang-undang Dasar Sementara 1950.
Dengan dikeluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka berakhirlah masa Demorkrasi Liberal di Indonesia dan berganti penerapan Demokrasi Terpimpin.
II)Sistem Politik Demokrasi Terpimpin. Istilah terpimpin diambil dari Pancasila sila keempat berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Demokrasi terpimpin yang sebenarnya terjadi dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tersebut, ditafsirkan oleh Presiden Soekarno sebagai demokrasi yang dipimpin oleh dirinya sendiri. Untuk kemudian diciptakan atribut “Pemimpin Besar Revolusi” sehingga Presiden Soekarno memiliki kekuasaan tertinggi dan mutlak dalam Negara. Untuk merealisasikan Demokrasi Terpimpin maka dibentuklah Kabinet Kerja Pertama dengan Presiden Soekarno sendiri sebagai Perdana Menterinya. Programnya ada tiga sehingga dikenal sebagai Tri Program sebagai berikut:
1) Melengkapi masalah sandang dan pangan rakyat.
2) Memantapkan keamanan dalam negeri.
3) Membebaskan Papua Barat.
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang berlangsung antara tahun 1959-1966, dalam realisasinya ternyata tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional. Hal ini terlihat dari pelaksanaan politik dalam negeri berikut ini:
a) Politik Dalam Negeri. Presiden Soekarno mengeluarkan berbagai Penetapan Presiden (PP) sebagai berikut:
(1) Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Soekarno yang terdiri dari atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan utusan daerah serta wakil-wakil golongan dengan Chaerul Saleh sebagai ketuanya.
(2) Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959 tentang pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Soekarno yang terdiri atas wakil dari golongan politik, wakil daerah dan golongan karya dengan Presiden Soekarno sendiri sebagai ketuanya dan Roeslan Abdul Gani sebagai wakilnya. Tugasnya adalah memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
(3) Penetepan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 tentang pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemiluhan umum umum tahun 1955 dibentuk atas dasar Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953. Pada awalnya Dewan Perwakilan Rakyat mengikuti Rancangan Anggaran Belanja Negara tahun 1960 presiden langsung membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 tentang pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) yang terdiri dari wakil-wakil partai politik ditambah wakil-wakil Tentara Nasional Indonesia dengan Aruji Kartawinata sebagai ketuanya. Tugasnya adalah melaksanakan Manifesto Politik (Manipol), merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) tersebut ditentang oleh Liga Demokrasi yaitu suatu organisasi masa yang merupakan gabungan dari berbagai parta-partai dengan Imron Rosyadi sebagai ketuanya. Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) tersebut dianggap sebagai tindakan presiden yang bersifat sewenang-wenang dan melanggar Undang-undang Dasar 1945. Kemudian dijawab oleh Presiden Soekarno dengan cara membubarkan keberadaan Liga Demokrasi.
(4) Penetapan Presiden Nomor 13 Tahun 1959 tentang pembentukan Front Nasional. Menurut Presiden Soekarno, Front Nasional adalah suatu organisasi masa yang Nasional nantinya diketuai oleh Presiden Soekarno sendiri.
Selain itu presiden juga mengeluarkan kebijakan sebagai berikut:
(1) Mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun 1962 tentang Lembaga tinggi Negara yang meliputi: Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Departermen Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Front Nasional dan Depemas (Dewan Perancang Nasional yang diketuai oleh Muhammad Yamin). Semua lembaga tinggi Negara tersebut nantinya diintegrasikan dan ketuanya diangkat sebagai menteri serta ikut merusmukan dan mengamankan kebijakan pemerintah.
(2) Sejak tahun 1964 Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan presien mengambil alih secara langsung pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan membentuk Komandan Operasi Tertinggi (KOTI) dan setiap panglima angkatan diangkat sebagai menteri.
Puncak dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang tidak sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945 adalah:
(a) Usulan dari Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) agar pidato Presiden Soekarno tahun 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dinyatakan menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Akhirnya berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1960 pidato Presiden Soekarno tersebut ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN), kemudian dikukuhkan dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor 1/MPRS/1963.
(b) Diangkatnya Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapan Nomor III/MPRS/1963.
Selain itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Presiden Soekarno menerapkan konsep Nasional, Agama dan Komunis (NASAKOM) atas dasar USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Dengan konsep Nasional Agama dan Komunis (NASAKOM) maka banyak kader Partai Komunis Indonesia duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR), Dewan Perttimbangan Agung (DPA), Front Nasional, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan bahkan menjadi kepala daerah.
b) Politik Luar Negeri
1) Membelok politik luar negeri yang bebas dan aktif ke politik luar negeri yang condong ke blok komunis. Pada awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Indonesia masih aktif dalam kegiatan internasional yang sejalan dengan politik luar negeri bebas dan aktif. Hal itu tampak dalam hal-hal berikut:
(a) Pengiriman pasukan Garuda II ke Kongo untuk bergabung dengan Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa/ PBB, UNOC (United Nations Operation for Congo).
(b) Pidato Presiden Soekarno dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (30 September 1960) yang berjudul “To Built The World a New” yang menguraikan tentang Pancasila, masalah Papua Barat, kolonialisme, peredaan perang dingin dan perbaikan organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa.
(c) Indonesia ikut memprakarsai berdirinya Gerakan Non Blok tahun 1961.
(d) Indonesia berhasil melaksanakan Asian Games tahun 1962.
Sejak tahun 1963 Menteri Luar Negeri Indonesia yang waktu itu dijabat oleh Dr. Soebandrio merangkap Wakil Perdana Menteri Pertama membelokkan politik luar negeri yang bebas aktif ke politik luar negeri yang condong ke blok komunis. Hal ini disebabkan oleh:
(1) Pasifnya Negara Barat untuk mendukung Indonesia dalam pembebasan Papua Barat sehingga hubungan Negara Blok Barat menjadi renggang.
(2) Tampilnya Uni Soviet dan Republic Rakyat China yang bersedia memberikan bantuan kredit dalam pembelian persenjataan dalam rangka pembebasan Papua Barat sehingga hubungan Negara Blok Timur semakin akrab.
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dibelokkan ke Blok Komunis yang disebut Kelompok NEFO (New Emerging Forces) yang dianggap sebagai kelompok Negara yang anti imperalisme dan anti kolonialis. Kemudian memusuhi kelompok OLDEFO (Old Estabilished Forces) yang dianggap sebagai kelompok Negara kapitalis atau neoimperalis.
2)Menjalankan politik Konfrontansi dengan Malaysia. Politik konfrontasi dengan Malaysia dikarenakan pemerintah tidak setuju terhadap pembentukan Malaysia yang oleh Presiden Soekarno dianggap sebagai proyek nekolim (neo-kolonialisme Inggris) dan membahayakan Negara New Emerging Forces/ NEFO pada umumnya. Federasi Malaysia yaitu pengabungan antara Negara bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yang terdiri atas Persatuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak, yang oleh oleh Presiden Soekarno dianggap sebagai nekolim (neo kolonialisme Inggris) yang rakyatnya pada umumnya serumpun dan seagama dengan Indonesia, tidak mempunyai rasa permusuhan terhadap kita. Lagi pula mereka juga tidak ingin menjadi boneka Neo-kolonialisme/ Imperalisme (Nekolim) seperti yang dikatakan oleh Presiden Soekarno. Sebaliknya yang untung karena konfrontasi itu adalah Republik Rakyat Cina (RRC) yang memang tidak menyukai pemimpin Malaysia dan sebaliknya mendukung pemberontak Cina Komunis di Negara Malaysia. Dalam rangka konfrontasi itu pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), yakni:
(1) Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia.
(2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaysia, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam untuk membubarkan Negara boneka Malaysia.
Untuk melaksanakan politik konfrontasi terhadap Malaysia itu dibentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga) di bawah pimpinan Marsekal Madya Omar Dani, Menteri atau Panglima Angkatan Udara. Komando ini mengirimkan pasukan sukarelawan memasuki daerah Malaysia, baik di Malaysia Barat maupun Malaysia Utara (Kalimantan Utara).
(3) Republik Indonesia Keluar dari Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 7 Januari 1965. Indonesia keluar dari Perserikatan bangsa-bangsa pada tanggal 7 Januari 1965 sebagai reaksi atas terpilihnya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan tidak tetap. Kemudian Presiden Soekarno membentuk Poros Jakarta-Peking (Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina yang sama-sama bukan anggota Perserikatan Bangsa-bangsa).
4) Menjalankan Politik Mercusuar. Presiden Soekarno berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi NEFO (New Emerging Forces) di seluruh dunia. Untuk itu diselenggarakan proyek besar daan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan terkemuka di kalangan NEFO (New Emerging Forces). Proyek besar yang menelan biaya milyaran rupiah itu misalnya diselenggarakan pesta olahraga antar Negara-negara blok Timur, misalnya GANEFO (Games the New Emerging Forces) tahun 1963. Untuk itu dilakukan pembangunan Komplek pembangunan Komplek Olahraga Senayan yang di dalamnya meliputi pula biaya perjalanan berbagai delegasi asing.
III) Sistem Ekonomi Demokrasi Terpimpin. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soekarno terjun langsung dan mengatur perekonomian. Kegiatan perekonomian terpusat pada pemerintah pusat. Akibatnya kegiatan ekonomi menurun, laju inflasi sangat tinggi mencapai 650%. Untuk itu pemerintah pada tangal 24 Agustus 1959 melakukan pemotongan rupiah, sebagai berikut:
(a) Uang kartal yang memiliki nominal Rp 500,00 didevaluasi menjadi Rp 50,00 sehingga yang bernilai Rp 1.000,00 dihapuskan.
(b) Semua simpanan dalam bank yang melebihi Rp 25.000,00 dibekukan.
Tindakan tersebut tidak membawa perubahan, sebab sekalipun harga menjadi murah tetapi tidak menjangkau daya beli masyarakat karena masyarakat tidak mempunyai uang utuk membeli. Kemudian untuk menanggulangi keadaan ekonomi yang semakin suram, pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu “Deklarasi Ekonomi” atau Dekon yang dinyatakan sebagai strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuannya adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis dan bebas dari sisa-sia imperalis untuk mencapai tahap sosialisme Indonesia dengan cara terpimpin. Namun pelaksanaan mengalami kegagalan total, hal ini disebabkan:
(a) Penanganan masalah ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis dan tidak ada control.
(b) tidak adanya ukuran yang objektif di dalam menilai sesuatu usaha orang lain.
D) Perjuangan Pembebasan Papua Barat
I) Landasan Hukum. Landasan hukum menyelesaikan masalah Papua Barat termaktub dalam Hasil Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani oleh pihaak Republik Indonesia-Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, diantaranya berisi:
(1) Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
(2) Status Kresidenan Papua akan diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan.
III) Perjuangan Diplomasi. Upaya pembebasan Papua Barat melalui jalan diplomasi sudah dimulai sejak tahun 1950 pada masa pemerintahan Kabinet Natsir dan terus menerus menjadi program setiap cabinet. Penyelesaian secara bilateral dengan Kerajaan Bellanda selalu mengalami kegagalan, bahkan pada tahun 1952 secara sepihak Pemerintah Kerajaan Belanda dengan persetujuan parlemennya memasukkan Papua Brat menjadi bagian dari wilayahnya. Penyelesaian secara bilateral yang tidak membuahkan hasil, mendorong pemerintah Republik Indonesia melakukan perjuangan melalui forum Internasional. Di antaranya sebagai berikut:
(1) Melalui Forum Perserikatan Bangsa-bangsa. Pada tahun 1954 Kabinet Ali-Wongso membawa masalah Papua Barat ke Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa, tetapi tidak memperoleh hasil yang berarti. Kemudian Kabinet Burhanuddin Harahap juga membawa ke Perserikatan Bangsa-bangsa, Belanda menanggapi bahwa masalah Papua Barat merupakan masalah intern Indonesia-Belanda dan tidak perlu dibahas dalam forum Perserikatan Bangsa-bangsa. Pernyataan Belanda tersebut justru mendapat dukungan dari Negara-negara Barat.
(2) Melalui Forum Konferensi Asia Afrika (KAA). Indonesia mendapat dukungan penuh dari seluruh pesrta Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1955.
III) Konfrontasi Ekonomi. setelah perjuangan pembebasan Papua Barat yang dilakukan secara damai mengalami kegagalan maka pemerintahan Republik Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain yang bersifat konfrontatif yaitu konfrontatif ekonomi yang dilakukan terhadap aset kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia, antara lain:
(1) Pada tahun 1956 diumumkan pembatalan hutang-hutang Republik Indonesia terhadap Belanda.
(2) Selama tahun 1957 dilakukan:
(a) pemogokan buruh di perusahaan Belanda.
(b) melarang terbitaan dan film berbahasa Belanda.
(c) Melarang penerbangan kapal Belanda.
(d) Memboikot kepentingan Belanda di Indonesia.
(3) Selama tahun 1958-1959, dilakukan:
(a) Menasionalisasi kurang lebih 700 perusahaan Belanda di Indonesia. Nasionalisasi perubahan Belanda nantinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1958.
(b) mengalihkan pusat pemasaran komoditi Republik Indonesia dari Rotterdam Belanda ke Bremen Jerman.
IV) Konfrontasi Poltik.
(1) Pada tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia-Belanda merupakan hubungan bilateral biasa dan bukan hubungan Uni Indonesia-Belanda.
(2) Pada tanggal 3 Mei 1956, cabinet Ali Sastroamijoyo II mengumumkan pembatalan semua hasil Konferensi Meja Bundar.
(3) Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk Propinsi Propinsi Irian Barat (Papua Barat) dengan ibukotanya Soa Siu Tidore dan Sultan Zainal Abidin Syah diangkat sebagai gubernurnya.
(4) pada tanggal 18 November 1957 diadakan Rapat Umum pembebasan Irian Barat (Papua Barat).
(5) Pada tahun 1956 Pemerintah Republik Indonesia memberhentikan kegiatan konsuler Belanda di Indonesia yang kemudian pada tanggal 8 Februari 1958 dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
(6) pada tanggal 17 Agustus 1960, diumumkannya pemutusan hubungan diplomatic dengan Belanda.
V) Konfrontasi Total. Setelah Konfrontasi ekonomi dan politik mengalami kegagalan, maka Pemerintah Republik Indonesia meningkatkan kea rah perjuangan bersenjata. Isyarat konfrontasi bersenjata ini dicetuskan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya di muka Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada bulan September 1960. Pidato Presiden Soekarno diantaranya: “Kami telah berusaha dengan sungguh-sunggu dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral ….. Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternative lainnya, kecuali memperkeras sikap kami”. Untuk kepentingan hal tersebut Republik Indonesia yang diwakili Menteri Keamanan Nasional/ KSAD A. H. Nasution pada tanggal 6 Januari 1961 menandatangani Persetujuan pemberian kredit dari United Socialis Soviet Republic (USSR) di Moskow sebesar US $ 400.000.000,00 yang diwujudkan dalam bentuk peralataan militer termasuk senjata berat untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Setelah benar-benar siap, pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno di Yogyakarta mencanangkan suatu Komando yang dikenal dengan “Tri Komando Rakyat” (Trikora) yang berisi:
(1) Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua Barat buatan Belanda (West New Guinea).
(2) Kibarkan Sang Saka Merah Putih di Irian Barat (Papua Barat) tanah air Indonesia.
(3) Bersiaplah untuk melakukan mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan keselamatan tanah air dan bangsa.
Untuk mensukseskan Trikora, pada tanggal 2 Januari 1962 dibentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat (Papua Barat) dengan Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglimanya, kemudian dibantu Wakil I Panglima Kolonel (Angkatan Laut) Subono dan Wakil II Panglima Kolonel (Angkatan Udara) Leo Wattimena dan Kepala Staf Gabungan Kolonel Ahmad Tahir. Markas besarnya terletak di Makasar (Ujungpandang).
Komando Mandala Pembebasan Irian Barat (Papua Barat) mencanangkan operasi pembebasan Irian Barat (Papua Barat) dalam tiga fase, yaitu:
(a) Fase Infiltrasi : sampai tahun 1962. Melalui fase ini diusahakan dapat memasukan 10 kompi sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto.
(b) Fase Eksploitasi: Mulai awal tahun 1963. Operasi direncanakan melakukan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan berusaha menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
(c) Fase Konsolidasi: awal tahun 1964. Operasi ini bertujuan untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di Irian Barat (Papua Barat).
Tidak laam setelah Komando terbentuk pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi insiden senjata yang dikenal dengan “Pertempuran Laut Aru”. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, kapal Republik Indonesia “MacanTutul” terbakar dan tengelam. Komodor Yos Sudarso (Deputy KSAL) dan Kapten Wiratno (Komandan Kapal) gugur bersama tenggelamnya kapal “MacanTutul”. Melihat kesungguhan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat (Papua Barat), akhrinya Belanda terpaksa dan didesak oleh Dunia Internasional maka Belanda terpaksa menandatangani kesepakatan tentang Irian Barat (Papua Barat) di New York pada tanggal 15 Agustus 1962, isi pokok Persetujuan New Yourk adalah:
(1) Dilakukan penghentian permusuhan.
(2) Belanda akan menyerahkan pemerintahan Irian Barat (Papua Barat) kepada Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-bangsa tanggal 1 Oktober 1962. Untuk itu dibentuklah United Nations Security Forces (UNSF) dipimpin Brigadir Jenderal Said Uddin Khan dari Pakistan.
IV) Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebagai tindak lanjut persetujuan New York, maka Pemerintah Indonesia melaksanakan penentuan pendapat rakyat “Pepera” Irian Barat. Pelaksanaan Pepera melalui tiga tahap, yaitu sebagai berikut:
(1) Tanggal 24 Maret 1969 dilakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura mengenai tata caraa penyelenggaraan Pepera.
(2) Pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juli 1969.
(3) Pelaksanaan Pepera dimulai pada tanggal 14 Juli 1969 dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969.
Pelaksanaan Pepera disaksikan oleh utusan Perserikatan Bangsa-bangsa, yaitu Duta Besar Ortis disaksikan pula Duta Bsar Belanda, Duta Besar Australia, Duta Besar Jerman Barat, Duta Besar Selandia Baru dan Duta Besar Birma. Dari hasil Perpera dapat diketahui hamper seluruh penduduk Irian Barat (Papua Barat) ingin bersatu dengan Negara Republik Indonesia. Selanjutnya hasil Pepera dibawa ke Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa tanggal 19 November 1969 dan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menerima dan menyetujui hasil Pepera.
E) Pengkhianatan Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (PKI). Strategi perjuangan Partai Komunis untuk mendirikan Negara komunis di Indonesia dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya adalah:
a) Menyusukpan kader Partai Komunis Indonesia ke dalam berbagai jajaran, seperti:
(1) Jajaran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti Letnan Kolonel Untung Sutopo, Brigjen Soparjo, Kolonel Sunardi, Kolonel Anwas.
(2) Jajaran Partai Politik seperti Ir. Surachman dan Ir. Sakirman disusupkan dalam Partai Nasional Indonesia (PNI).
(3) Aparatur Negara seperti D. N. Aidir, M.H. Lukman, Nyoto sebagai menteri tanpa porto folio.
b) Menurut pembubaran partai politik yang dianggap menyaingi Partai Komunis Indonesia, seperti Partai Masyumi yang dipimpin Mohammad Natsir dan Partai Sosialis Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Adal Malik dibubarkan, karena difitnah oleh Partai Komunis Indonesia akan memberontak dan akan membunuh Presiden Soekarno.
c) membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dipimpin oleh Pramudya Ananta Tur guna menyaingi lembaga kebudayaan yang didirikan partai lain, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang dipimpin oleh Sitor Situmorang dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang dipimpin Usmar Ismail dari Nahdatul Ulama (NU).
d) melaksanakan aksi sepihak dan terror untuk mengetahui dan menguji tekad Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi, seperti Peristiwa Jengkol (Plosoklaten, Kediri), Peristiwa Bandar Betsi (Sumalungun, Sumatera Utara), Peristiwa Kanigoro (Kras, Kediri) dan lain-lain.
e) Menghilangkan kepercayaan terhadap Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dengan mengadu domba antara Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dengan Presiden Soekarno dengan cara menyebarkan isu fitnah Dewan Jenderal yang katanya berasal dari Dokumen Golchrist.
f) menuntut pembentukan Angkatan Kelima disamping empat kekuatan Tentara Nasional Indonesia yang beranggotakan kaum buruh dan tani.
II) Perebutan Kekuasaan. Pada waktu Presiden Soekarno dalam keadaan sakit, pucuk pimpinan Partai Komunis Indonesia D. N. Aidit memutuskan untuk melakukan kudeta. Perebutan kekuasaan ini dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 1965 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung Soetopo dan Brigjen Soeparjo. Gerakannya diberi nama Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan berporoskan Nasional Agama dan Komunis (NASAKOM). Sasaran utamanya adalah menculik dan membunuh perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI AD), seperti berikut ini:
(1) Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/ Pangad).
(2) Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi II Pangad).
(3) Mayor Jenderal Suwondo Parman (Deputi III Pangad).
(4) Brigjen S. Siswomiharjo (Asisten IV Pangad).
(5) Mayjen M.T. Haryono (Asisten IV Pangad).
(6) Brigjen DI Panjaitan (Inspektur Kehakiman/ Oditur AD)
Kemudian jenazah mereka dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran utama Partai Komunis berhasil meloloskan diri, namun putri beliau Ade Ima Suryani dan ajudan beliau Lettu Pierrre Andreas Tendean menjadi korban dalam peristiwa tersebut, serta gugur pula Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun pegawai rumah Waperdam III J. Leimena. Sedangkan di Yogyakarta Partai Komunis Indonesia juga menculik dan membunuh Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono di Desa Kentungan.
III) Penumpasan Partai Komunis Indonesia dan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Secara militer, Partai Komunis Indonesia dihancurkan setelah pada tanggal 1 Oktober 1965 dilaksanakan operasi militer oleh anggota RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Namun secara politis Partai Komunis Indonesia masih tetap kukuh dan belum tergoyahkan. Oleh karena itu pada tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (K. A. M. I.) yang dipimpin oleh M. Zamroni dan dibidani oleh Syarif Tayeb.
Tujuan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (K. A. M. I.) adalah:
(1) Mengamankan dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen.
(2) Anti terhadap nekolim (neo kolonialisme) dan segala bentuk penjajahan.
(3) Membantu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengganyang Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kemudian pada tanggal 10 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (K. A. M. I.) mengumandangkan “Tritura” (Tiga Tuntutan Rakyat) sebagai berikut:
(1) Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan organisasi masyarakatnya (ormas).
(2) Pembubaran Kabinet Dwikora.
(3) Turunkan harga.
Hamper setiap hari terjadi demonstrasi menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang dilakukan oleh mahasiswa. Demonstrasi ini mencapai puncak tatkala mahasiswa Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim dan Ridwan Rais terbunuh oleh pasukan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden pada tanggal 24 Februari 1966. Sebagai akibat krisis tersebut keesokan harinya tanggal 25 Februari 1966, Presiden Soekarno membubarkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (K. A. M. I.). keputusan tersebut memicu terjadinya berbagai aksi sehingga krisis nasional semakin tidak terkendali. Pada tanggal 11 Maret 1966, Kabinet Dwikora (Kabinet 100 menteri) oleh Mahasiswa disebut Kabinet Gestapu melakukan sidang paripurna di Jakarta untuk mencari jalan menyelesaikan krisis. Sidang tersebut diboikot oleh para mahasiswa dengan cara melakukan pengempesan ban-ban mobil para menteri yang menuju istana. Belum lama Presiden Soekarno berpidato, diberitahukan oleh ajudannya Brigjen Sabur bahwa di luar istana ada pauskan tanpa ada tanda pengenalnya di seragamnya. Akibatnya Presiden Soekarno yang diikuti Waperdam I Dr. Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh menuju istana Bogor, sedangkan sidang ditutup oleh Waperdam II J. Leimena yang kemudian menyusul pula ke istana Bogor. Malam harinya, Presiden Soekarno di Istana Bogor ditemui oleh tiga perwira Angkatan Darat, yaitu: Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen Moh. Yusup dan Amir Mahmud. Di hadapan ketiga perwira Angkatan Darat tersebut akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Suran Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang ditujukkan kepada Letjen Soeharto Menteri/ Panglima Angkatan Darat untuk mengatasi krisis nasional. Isi Supersemar tersebut adalah:
(1) Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan prinadi dan kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangti ABRI)/ Mandataris Majelis Permuswaratan Rakyat (MPRS) demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
(2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan lain sebaik-baiknya.
(3) supaya melaporkan segara sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawab seperti tersebut di atas.
Setelah Letjen Soeharto menerima Super Semar (Surat Perintah 11 Maret 1966), maka langkah-langkah yang dilakukan mengatasi krisis adalah:
(1) Atas nama Presiden Soekarno, pada tanggal 12 Maret 1966 membubarkan Partai Komunis Indonesia beserta organisasi masyarakatnya (ormasnya) dan menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai terlarang di seluruh tanah air Indonesia.
(2) Pada tanggal 18 Maret 1966 melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15 menteri yang masih aktif. Langkah ini ditempu dengan maksud agar para menteri tidak menjadi korban sasaran utama kemarahan rakyat yang tidak terkendali karena tuduhan terlibat Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (PKI).
(3) Melakukan pembersihan terhadap aparatur pemerintahan dan lembaga legislative dari unsur Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia serta Orde Lama termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS).
IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):
(Source: Ali, Nur. Modules Teaching Material History. MGMP: Roxburgh.)
A) Structuring Political Life.
I) system of government. After Indonesia's independence, or rather on the 14 November 1945 a change of government from presidential system to parliamentary. Various ways ruling cabinet in Indonesia during the War of Independence are as follows:
a) Cabinet Sutan Syahrir I (14 November 1945 - 28 February 1946).
b) Cabinet Syahrir II (March 12, 1946 - 14 August 1946).
c) Cabinet Syahrir III (2 October 1946-24 June 1949).
d) Hatta Cabinet or the Republic of Indonesia States / RIS (20 December 1949-17 August 1950).
After returning to Indonesia using the Unitary State Constitution While 1950, Indonesia's system of government is a parliamentary still. Here is a cabinet that had ruled since the enactment of the Constitution of 1950 and the Decree of the President of July 5, 1959.
a) Cabinet Natsir (6 September 1950-20 March 1951), is the coalition cabinet Masjumi as its core. The program is as follows: first, efforts intensified security and peace, second, the consolidation and improvement of governance, third, perfect organization and recovery of former army soldiers and guerrillas into society, fourth, fighting for the completion of West Papua, the fifth, develop and strengthen the economy of the people . Cabinet Natsir falls due to a motion of no confidence from Hadikusumo (Indonesian National Party / PNI) the repeal Government Regulation Number 39 Year 1950 on the Provisional People's Representative Council (DPRS) and the Regional Representatives Council while (DPRDS) is considered beneficial Masyumi.
b) Cabinet Sukiman (16 April 1951-23 February 1952). Is a coalition cabinet and the National Party of Masyumi Indonesia / PNI. The program is as follows: first, as a state run firm action to ensure the safety of law and order, second, seek immediate prosperity and renewed agrarian laws and accelerate the preparation of the selection Public (Elections), run a free and active foreign policy, the liberation of West Papua. Kabibet Sukiman falls due to the signing of the agreement for economic aid, techniques and weaponry from the United States on the basis of "Mutual Security Act" or the mutual agreement between Foreign Minister Ahmad Subardjo with U.S. Ambassador Merle Cochran. Approval is interpreted Indoneisa have entered the West Block that is incompatible with free and active foreign policy.
c) Cabinet Wilopo (30 March 1952-1 June 1953). The core cabinet from Indonesia National Party remained in coalition with Masyumi though. The program is as follows: first, the preparation of the elections, second, an increase in the standard of living and Security settings, third, increased liberation of West Papua, fourth, carry out independent and active foreign policy. Cabinet Wilopo fall due to a motion of no confidence from Fingerprint Kertapati of SI Tani Indonesia with regard to the Tanjung Morawa the annexation of land by the communist groups that resulted in loss of life.
d) Cabinet Sastroamijoyo Ali (31 July 1953-23 July 1955). Is a coalition cabinet between the National Party and the Party of Great Indonesia Indonesia or called Ali Wongso Cabinet. The program is basically the same as the cabinet Wilopo.Cabinet Ali falls due: June 27, 1955 Event "is the event of change of the Chief of Staff of the Army who deserted after Col. Bambang Sugeng resigned later handed over to the Army leadership Wakasad Colonel Zulkifli Lubis, but the government or the defense minister did not approve Kusumasumantri Iwa. He lifted Colonel Bambang Oetoyo as Chief of Army Staff. The appointment was boycotted by most of the Army, as a result the government was forced to fire back Colonel Bambang Oetoyo as Chief of Army Staff. The weakness of government was used as an excuse by Zainul Baharuddin to file a no-confidence motion that resulted in the fall of Ali's first cabinet on July 24, 1955. In addition, the fall is also caused by the deteriorating economic conditions and corruption, which resulted in the people degenerate.
e) Cabinet Burhanudin Harahap (12 August 1955-23 July 1956). This cabinet is essentially Masyumi. The program is essentially the same as Ali's cabinet, except for two important things: first, reduce corruption, and implementing elections. After the General Elections successfully implemented. Cabinet Burharuddin not have enough support mengungat number of votes obtained, so that on March 3, 1956 Burhanuddin Harahap restore its mandate to the president.
f) Cabinet Ali Sastroamijoyo II (12 August 1956-14 March 1957) is a coalition of the National Party cabinet Indonesia, Masyumi and NU / NU. The program called the Five-Year Plan, namely: first, the liberation struggle of West Papua, the second, implement and accelerate the formation of autonomous election of members of the House of Representatives, the third, the improvement of the workers and employees, four, healthy financial state, fifth, realizing colonial economic change into the national economy. During the second occurred Ali cabinet anti-Chinese movement and chaos in many areas. Eventually Ali Cabinet due to the split second Jatu Indonesian National Party / PNI and Masyumi.
g) Cabinet Djuanda (9 April 1957-5Juli 1959). Juanda is zaken cabinet Cabinet whose members come from a political party and not a political party. Cabinet Juanda called "Cabinet Work" and the program is called "Panca work", namely: first, to form the National Council, the second, the normalization of the state of the Republic, third, accelerate the implementation of the cancellation of the Round Table (Act No. 13 of 1956), the third, West Papua's struggle for liberation, the fifth, encourage development.
II) the party system and the General Elections. Since the issuance of Notice of the Government dated 3 November 1945 to allow the establishment of political parties, it gives birth to many parties either wing religion, national or social-communist. Each party tried to take part in the government, so that there was a never-ending change of cabinet. Then to form a government that really got the mandate from the people of the elections should be carried out. In the reign of Ali-Wongso Cabinet, on May 31 1954 Election Center was formed, headed by the Nationalist Party of Indonesia Hadikusumo / PNI / But new elections during the reign terialisasi Burhanudin Harahap cabinet. Its legal basis is Act No. 7 of 1953 on the election of the constituent bodies and the House of Representatives, as well as Law No. 9 of 1954 on the General Election. General Election 1955: implemented two phases:
1) On 29 September 1955 to elect members of the House of Representatives (DPR). The number of members of the House of Representatives / DPR chosen as 272 people, consisting of: Masyumi (60 seats), the National Party of Indonesia / PNI (58 seats), NU (47 seats), the Communist Party of Indonesia (32 seats), the rest of the party- smaller parties. In performing its duties, the House of Representatives successfully passed Act 113.
2) On December 15, 1955 to elect members of the Constituent Assembly (542 people).
B) Arrangement of Economic Life
I) Nationalization De Javasche Bank. During Sukirman cabinet, through the Minister of Finance Mr. A. A. Maramis did the arrangement for the State to nationalize financial institutions De Javasche Bank to Bank Indonesia. The steps that the government ditemph are:
(A) On 19 June 1951 the Committee established De Javasche Bank nationalization by the Government Decree No. 118 dated June 2, 1951. The task of the committee is proposing nationalization, nationalization Act plans and plan new law's central bank.
b) Lay Dr. Houwink (Netherlands) as president of De Javasche Bank Indonesia by Presidential Decree No. 122 dated July 12, 1951.
c) To appoint Mr. Syafruddin Prawiranegara as president of De Javasche Bank Indonesia by Presidential Decree No. 123 The date July 12, 1951.
d) On December 15, 1951 based on the Law No. 24 Year 1951 announced nationalization of De Javasche Bank to Bank Indonesia, which serves as the central bank and the bank circulation.
e) The issuance of Law No. 11/153, and Money State Gazette No. 40 and the Basic Law of Bank Indonesia, the stronger presence of Bank Indonesia as an Indonesian government-owned bank.
II) Fort Movement Economic System. The economic system is the idea of Dr Fort movement. Sumitro Joyohadikusumo which at that time as Secretary of Commerce in the cabinet Natsir. According to building perekeonomian begins trading sector. To change the structure of the colonial economy and economic systems into the national economic system, done with the help of credit to businesses nationwide. The purpose of the economic program Fortress Movement are:
a) To provide motivation to the national importer in order to compete with foreign imports company.
b) Promoting and fostering self-employed economic nationalism certain ..
c) Give credit Indonesian businessmen.
d) give special permission to restrict the import of certain goods.
The program was held in Fort 1950-153, approximately 700 indigenous entrepreneurs can help credit, but these efforts failed. This is because:
1) Employers are not able to compete with the indigenous non-indigenous entrepreneurs (China).
2) The mentality of indigenous entrepreneurs are more likely to be consumptive who want to benefit and enjoy a luxurious lifestyle.
III) Economic System Ali-Baba. The system is the brainchild of Mr. Isaac Tjokrohadisurjo (Ministry of Economic Affairs) in the cabinet Sastroamijoyo First aims to promote indigenous entrepreneurs through economic cooperation among other indigenous entrepreneurs (Ali) with Chinese businessmen (Baba). Adapaun rare step taken is:
a) Establish a State enterprise.
b) provides credit and new licenses for private companies nationwide.
c) provide protection against national companies.
d) removing foreign employers to provide workers with important key positions of foreign nations.
In implementing this system also failed, this is because due to indigenous entrepreneurs simply used as a tool by non-indigenous entrepreneurs (China) to obtain loans that are to return to the non-indigenous entrepreneurs. In addition to the above steps, to overcome the economic crisis the government is also doing the following steps:
1) Perform cutting the value of the currency held since the date of March 19, 1950 in the reign of the Republic of Indonesia States.
2) Removing the Emergency Law No. 21 Year 1950 on the new paper expenditures which later became known as "Syafrudin Policy".
C.) The Birth of Presidential Decree
I) The birth of the Presidential Decree. After general elections held in 1955 and the House of Representatives and the Assembly is formed that Indonesia is still political crisis. Many political parties was already damaging national unity and stability. While it is too turbulent regions are not satisfied with the central government. To cope with such an uncertain situation, on February 21, 1957 President Sukarno issued a "Concept President" Sukarno issued a "conception of the President" that contains three things:
1) Implementation of Guided Democracy.
2) Establishment of a core of Mutual Aid Cabinet "Cabinet Foot Four" cabinet is supported by four political parties-winning power of 1955 General Election, the Masyumi, NU, Communist Party of Indonesia, and the Indonesian Nationalist Party.
3) Establishment of National Council composed of functional groups in society.
Its main task is to give advice to the cabinet. The concept is opposed by the president Masyumi, NU, SI Party of Indonesia (PSSI), the Catholic Party and the PRI. Pros and Cons of the conception of the president peaked after Drs.Mohammad Hatta as Vice President of the Republic of Indonesia withdrew.Meanwhile, the Constituent Assembly was given the task of creating a new constitution in place of the Constitution of 1950 did not successfully carry out their duties. Indonesian political situation of uncertainty is compounded by the outbreak of the rebellion PRRI / PERSEMESTA (Revolutionary Government of the Republic of Indonesia / Persemesta). It is then pushed to the President issued Presidential Decree July 5, 1959, which provides:
1) The dissolution of the Constituent Assembly.
2) Establishment of the People's Consultative Assembly (MPRS) and the House of Representatives while (DPRS).
3) re-enactment of the Constitution of 1945 and the enactment of the Constitution while 1950.
By Presidential Decree dikeluarnya July 5, 1959, it ended the Liberal Demorkrasi in Indonesia and changed the application of Guided Democracy.
II) Political System Guided Democracy. The term is taken from the Pancasila guided fourth precept reads: "Democracy guided by the inner wisdom of deliberation / representation". Guided democracy is actually happening in the People's Consultative Assembly (MPRS) is, interpreted by President Sukarno as a democracy led by himself. To then created the attribute "Leader of the Revolution" so that the President has supreme and absolute authority in the State.To realize Guided Democracy Work First will be established by the Cabinet of President Sukarno himself as Prime Minister. The program became known as the three Tri Program as follows:
1) Complete the food and clothing problem of the people.
2) Strengthening security.
3) Freeing West Papua.
Implementation of Guided Democracy that took place between the years 1959-1966, the realization was not in accordance with the Constitution of 1945, which became the basis of constitutional law. This is evident from the implementation of domestic politics following:
a) Political Affairs. President Sukarno issued Presidential Decision variety (PP) as follows:
(1) Presidential Decree No. 2 of 1959 concerning the establishment of the People's Consultative Assembly (MPRS). Members appointed by the President consisting of the members of the House of Representatives and regional representatives as well as representatives of groups with Chaerul Saleh as chairman.
(2) Presidential Decree No. 3 of 1959 on the establishment of SAC While (DPAS). Members appointed by the President consisting of representatives of the political groups, representatives of regional and class work with President Sukarno himself as chairman and Ruslan Abdul Gani as his deputy. His job is to provide answers to questions and the President has the right to propose to the government.
(3) The President Penetepan No. 3 of 1960 on the dissolution of the House of Representatives election results in 1955. House of Representatives results pemiluhan general public in 1955 formed the basis of Act No. 7 of 1953. At first the House of Representatives following the Draft State Budget 1960 direct presidential dissolve Parliament. Then the President issued Presidential Decree No. 4 of 1960 on the establishment of the House of Representatives-Mutual Aid (DPR-GR) consisting of representatives of political parties plus representatives of the Indonesian National Army with Aruji Kartawinata as chairman. His job is to enforce the Political Manifesto (Manifesto), realize the suffering of the people and carry out the mandate of Guided Democracy. The establishment of the House of Representatives-Mutual Aid (DPR-GR) was opposed by the Democratic League is an organization of time which is a combination of various parties with Imron Parta Rosyadi as chairman. The establishment of the House of Representatives-Mutual Aid (DPR-GR) is considered an act of a president who is arbitrary and violates the Constitution of 1945. Then answered by the President by way of dissolving the presence League for Democracy.
(4) Presidential Decree No. 13 Year 1959 on the establishment of the National Front. According to the President, the National Front is a national organization that period will chaired by the President himself.
Besides the president also issued the following policy:
(1) Remove the Presidential Decree No. 94 Year 1962 concerning State higher institutions include: the President, the People's Consultative Assembly (MPRS), Departermen-Mutual Assistance Representatives (DPR-GR), the Supreme Advisory Council (DPA), the National Front and Depemas (National Planning Council, chaired by Muhammad Yamin). All agencies will be integrated high country and its chairman appointed as ministers and participate merusmukan and securing government policy.
(2) Since 1964 the Indonesian military (TNI) and the Indonesian National Police (INP) merged into the Indonesian Armed Forces (ABRI) and presien taken over directly from the highest leadership of the Armed Forces of the Republic of Indonesia (ABRI) to form the Supreme Operations Commander (KOTI ) and each was appointed army chief minister.
The highlight of the implementation of Guided Democracy, which is inconsistent with the Constitution of 1945 was:
(A) Proposal of the Provisional Supreme Advisory Council (DPAS) to the President's speech in 1959 entitled "Rediscovery of Our Revolution" expressed a Political Manifesto of the Republic of Indonesia (Political) defined as the Guidelines of State Policy (Guidelines). Finally, based on Presidential Decree No. 1 of 1960 the President's speech is set as the Guidelines of State Policy (Guidelines), later confirmed by the provisions of the People's Consultative Assembly (MPRS) Number 1/MPRS/1963.
(B) lifted President Sukarno as president for life by the Provisional People's Consultative Assembly Decree No. III/MPRS/1963.
In addition, the life of the nation the President to apply the concept of National, Religious and Communist (NASAKOM) on the basis Manifesto (Laws of 1945, Indonesian Socialism, Guided Democracy and Personality Indonesia). With the concept of National Religious and Communist (NASAKOM) then many of the Indonesian Communist Party cadres sitting in the House of Representatives-Mutual Aid (DPR-GR), Perttimbangan Supreme Council (DPA), the National Front, the People's Consultative Assembly (MPRS), and even a head area.
b) Foreign Policy
1) Turning the foreign policy of free and active foreign policy to gravitate to the Communist bloc. At the beginning of Guided Democracy Indonesia is still active in international activities in line with the foreign policy of free and active. It is evident in the following:
(A) Delivery Garuda II troops into Congo to join the Peace Corps of the United Nations / United Nations, UNOC (United Nations Operation for Congo).
(B) the President's speech at the General Assembly of the United Nations (30 September 1960) entitled "Built To The World A New" which describes the Pancasila, the issue of West Papua, colonialism, cold war relief and improvement of the organization of the United Nations.
(C) participate Indonesia initiated the establishment of the Non-Aligned Movement in 1961.
(D) Indonesia successfully implement the 1962 Asian Games.
Since 1963 Indonesia's Foreign Minister, who was held by Dr. Soebandrio First Deputy Prime Minister and concurrently deflecting foreign policy to free and active foreign policy leaning communist bloc. This is caused by:
(1) inaction by the West to support Indonesia in West Papua liberation so that the relationship becomes strained state of West Block.
(2) Appearance of the Soviet Union and the People's Republic of China who are willing to provide credit assistance in the purchase of arms in liberation of West Papua that relationship more familiar Eastern Bloc Countries.
Indonesian foreign policy that actively deflected free-called Communist Bloc NEFO Group (New Emerging Forces) is regarded as the country's anti imperialism and anti-colonialist. Then against the OLDEFO (Old Estabilished Forces) are considered as a group or neoimperalis capitalist state.
2) Running Konfrontansi with Malaysian politics. Political confrontation with Malaysia because the government does not agree to the formation of Malaysia by President Soekarno considered a project Necolim (neo-colonialism UK) and the State of New Emerging Forces harm / NEFO in general. Federation of Malaysia is pengabungan between The former British colonies in Southeast Asia consisting of the Land Association of Malay, Singapore, Sabah and Sarawak, which President Sukarno considered Necolim (neo colonialism UK) that people generally allied with Indonesia and the same religion, have no hostility towards us.Anyway they also do not want to be a puppet Neo-colonialism / imperialism (Nekolim) as stated by President Soekarno. Instead the confrontation was lucky because the People's Republic of China (PRC) that does not like the leader of Malaysia and vice versa supporting China's Communist rebels in the country of Malaysia. In order to confrontation on May 3, 1964 in Jakarta, President Sukarno issued Dwi Command of the People (Dwikora), namely:
(1) Perhebat resilience of the Indonesian Revolution.
(2) Assist the revolutionary struggle of the people of Malaysia, Singapore, Sabah, Sarawak and Brunei Darussalam to disperse the dolls State of Malaysia.
To implement the policy of confrontation against Malaysia was formed Mandala Command Preparedness (Kolaga) under the leadership of Marshal Omar Dani, the Minister or the Chief of the Air Force. Command is sending volunteers into the Malaysia region, both in the West and North Malaysia Malaysia (North Borneo).
(3) Republic of Indonesia out of the United Nations on January 7, 1965. Indonesia out of the United nations on January 7, 1965 in response to the election of Malaysia as a non-permanent member of the Security Council. Then President Soekarno establish Jakarta-Peking axis (Republic of Indonesia and the People's Republic of China who are both non-members of the United Nations).
4) Running Political Lighthouse. President Sukarno argued that Indonesia is a beacon to light the way for NEFO (New Emerging Forces) worldwide. For that held the distinction spectacular project that is expected to put Indonesia in a leading position among NEFO (New Emerging Forces). Major projects that cost billions of dollars as the Games held between the Eastern bloc countries, such as event, The Ganefo (Games of the New Emerging Forces) in 1963. For the construction of complex construction was done Senayan Sports Complex, in which also includes travel expenses of foreign delegations.
III) Economic System Guided Democracy. In the economic sphere, President Soekarno jump in and regulate the economy. Economic activities concentrated in the central government. As a result, economic activity declined, extremely high inflation rate reached 650%. The government on the date August 24, 1959 to withhold dollars, as follows:
(A) Currency outside banks that have become devalued nominal USD 500.00 USD 50.00 USD 1000.00 worth that removed.
(B) All deposits in the bank of more than $ 25000.00 frozen.
Such actions do not bring about change, because even if the price to be cheap but it does not reach people's purchasing power because the people have no money to buy utuk. Then to cope with an increasingly bleak economic situation, on March 28, 1963, the President issued a new foundation for the improvement of the overall economy, the "Declaration of Economics" or Dekon expressed as a general strategy of the Indonesian Revolution. The goal is to create a national economy, democratic and free from traces imperalis to reach the stage of socialism Indonesia guided manner. However, the implementation of a total failure, it is because:
(A) Handling of the economy is not rational, more political and there is no control.
(B) the absence of objective measures of business in judgment of others.
D) West Papua Liberation Struggle
I) Legal Foundation. The legal basis to solve the problem of West Papua results contained in the Round Table Conference which was signed by the Republic of Indonesia pihaak-Kingdom of the Netherlands on December 27, 1949 in The Hague, Netherlands, of which contains:
(1) The Netherlands recognizes the Republic of Indonesia as an independent and sovereign state.
(2) Papua Kresidenan status will be completed within one year after the recognition of sovereignty.
III) Struggle Diplomacy. West Papua liberation efforts through diplomatic been started since 1950 in the reign of the Cabinet Natsir and continuously into the program every cabinet. Bilateral settlement with Royal Bellanda always a failure, even in 1952 the Royal Netherlands Government unilaterally approved by parliament include Brat Papua became part of the territory. Bilateral settlement that did not work, encourage the government of Indonesia did struggle through international fora. Them as follows:
(1) Through the Forum of the United Nations. In 1954 the Cabinet of Ali-Wongso brought the issue of West Papua to the General Assembly of the United Nations, but did not obtain meaningful results. Then Burhanuddin cabinet Harahap also brought to the United Nations, the Dutch responded that the issue of West Papua is an Indonesian-Dutch internal problems and do not need to be discussed in the forum of the United Nations. Dutch statement is actually received support from Western countries.
(2) Through Forum Asia Africa Conference (KAA). Indonesia has received full support from all pesrta Asian-African Conference (KAA) was held in Bandung in 1955.
III) Economic Confrontation. after the liberation struggle of West Papua is done peacefully have failed the government of the Republic of Indonesia decided to take another path that is confrontational confrontational economy made the assets of Dutch economic interests in Indonesia, among others:
(1) In 1956 the announced cancellation of the debts of the Republic of Indonesia to the Netherlands.
(2) During 1957, do:
(A) strike in the Dutch company.
(B) prohibit terbitaan and Dutch-language films.
(C) Prohibit vessels flying the Dutch.
(D) Boycott Dutch interests in Indonesia.
(3) During the years 1958-1959, performed:
(A) less than 700 nationalized Dutch companies in Indonesia. Nationalization will change Dutch Government Regulation Number 23 Year 1958.
(B) shift the marketing of commodities of the Republic of Indonesia from Rotterdam Netherlands to Bremen Germany.
IV) Confrontation politically.
(1) In 1951, the Cabinet Sukiman stated that the relationship between Indonesia and the Netherlands are the usual bilateral relationship and not the relationship Indonesian-Dutch Union.
(2) On May 3, 1956, Ali Sastroamijoyo II cabinet announced the cancellation of all the results of the Round Table.
(3) On August 17, 1956 formed province of West Irian (West Papua) with its capital Soa Siu Tidore Sultan Zainal Abidin and Shah was appointed as governor.
(4) on 18 November 1957 Annual General Meeting held liberation of West Irian (West Papua).
(5) In 1956 the Government of the Republic of Indonesia to dismiss the Dutch consular activities in Indonesia, which later on February 8, 1958 formed the National Liberation Front of West Irian.
(6) on August 17, 1960, announcement of the termination of diplomatic relations with the Netherlands.
V) Total Confrontation. After the confrontation of economic and political failure, the Government of Indonesia to improve towards the armed struggle. Cues armed confrontation was triggered by President Sukarno in a speech before the General Assembly of the United Nations in September 1960. Speech of President Sukarno of them: "We've tried to really Sunggu and with patience and tolerance and hope. We have been trying to hold bilateral talks ..... Hope vanished, lost patience, tolerance and even had reached its limit. Everything has now been exhausted and the Netherlands did not provide other alternatives, except harden our stance ". For the purposes of these represented the Republic of Indonesia National Security Minister / Chief of Staff A. H. Nasution on January 6, 1961 signed a loan agreement of the United Soviet Socialist Republic (USSR), Moscow for U.S. $ 400,000,000.00 which is manifested in the form of tools of heavy weapons for the military including the Army, Navy and Air Force.After thoroughly prepared, on December 19, 1961, the President declared a Command in Yogyakarta, known as the "Tri Command of the People" (Trikora) containing:
(1) foils creation of the State of West Papua doll made in the Netherlands (West New Guinea).
(2) Kibarkan Sang Saka Merah Putih in West New Guinea (West Papua) Indonesia homeland.
(3) Be prepared for a general mobilization to defend freedom and safety of the homeland and the nation.
To succeed Trikora, on January 2, 1962 Mandala Command formed the Liberation of West Irian (West Papua) with Major General Soeharto as a commander, I then assisted Deputy Commander Colonel (Navy) Subono and Second Deputy Commander Colonel (Air Force) and the Chief Leo WattimenaJoint Staff Colonel Ahmad Tahir. Headquarters is located in Napier (Ujungpandang).
Mandala Command Liberation of West Irian (West Papua) launched operation liberation of West Irian (West Papua) in three phases, namely:
(A) Phase Infiltration: until 1962. Through this phase sought to include 10 companies around specific goals to create a de facto independent region.
(B) Exploitation phase: From the beginning of 1963. The operation was planned to attack the opponent open to a military parent and tried to occupy all the important posts enemy defenses.
(C) Consolidation phase: the beginning of 1964. This operation aims to uphold the sovereignty of the Republic of Indonesia in New Guinea absolute (West Papua).
Not Lam after commandos formed on January 15, 1962 an incident weapon known as the "Battle of Aru Sea". In this unequal battle, the ship of the Republic of Indonesia "MacanTutul" burning and tengelam. ODOT Commodore (Deputy KSAL) and Captain Wiratno (Ship Commander) died with the sinking of the ship "MacanTutul". See the seriousness of Indonesia to liberate West Irian (West Papua), the Dutch were forced akhrinya and urged by the World International, the Dutch were forced to sign an agreement on West New Guinea (West Papua) in New York on August 15, 1962, New Yourk substance Agreement are:
(1) Do the cessation of hostilities.
(2) The Netherlands will leave the government of West New Guinea (West Papua) to the Provisional Government of the United Nations on October 1, 1962. For that established the United Nations Security Forces (UNSF) led by Brigadier General Said Uddin Khan of Pakistan.
IV) the Act (the Act) as a follow-up agreement, the Government of Indonesia conducted referendum "Act" of West Irian. The implementation of the Act through three stages, as follows:
(1) On March 24, 1969 in consultation with the District Council in Jayapura on procedures caraa implementation of the Act.
(2) The members of the Council Act of Congress that ended in July 1969.
(3) The Act commenced on July 14, 1969 and ending on August 4, 1969.
Implementation Act was witnessed by representatives of the United Nations, the ambassador also witnessed Ortis bsar Dutch Ambassador, Ambassador of Australia, West German Ambassador, Ambassador of New Zealand and Ambassador Burma. From the results it can be seen Perpera almost the entire population of West Irian (West Papua) to unite with the Republic of Indonesia. The results of the Act was brought to the General Assembly of the United Nations on 19 November 1969 and General Assembly of the United Nations agree to accept and outcomes Act.
E) Betrayal of the 30 September Movement / Indonesian Communist Party (PKI).The strategy of the Communist Party struggles to establish a communist state in Indonesia is done through various ways, such as:
a) Menyusukpan Indonesian Communist Party cadres into different ranks, such as:
(1) line of the Indonesian Armed Forces (ABRI) as Lieutenant Colonel Untung Sutopo, Brigadier Soparjo, Sunardi Colonel, Colonel Anwas.
(2) Line of political parties such as Ir. Surachman and Ir. Sakirman infiltrated the Indonesian National Party (PNI).
(3) State Apparatus as D. N. Aidir, M.H. Lukman, Nyoto as minister without portfolio.
b) According to the dissolution of political parties which are considered rival Communist Party of Indonesia, such as Masyumi led by Mohammad Natsir and the Indonesian Socialist Party led by Sutan Syahrir and Adal Malik disbanded, as maligned by the Indonesian Communist Party will revolt and will kill the President.
c) establish the Institute of Culture of the People (LEKRA) led by Pramoedya Ananta Tur challenge to established cultural institutions of other parties, such as the National Cultural Institute (LKN) led by Sitor Situmorang of Indonesian National Party (PNI) and the Indonesian Muslim Cultural Artist institutions (Lesbumi) led Usmar Ismail of Nahdatul Ulama (NU).
d) carry out unilateral action and terror to know and test the resolve of the Indonesian National Army (TNI) and the police, as events Jengkol (Plosoklaten, Kediri), Events Bandar Betsi (Sumalungun, North Sumatra), Events Kanigoro (Kras, Kediri) etc. other.
e) Eliminate confidence in the Indonesian National Armed Forces of the Army (TNI AD) by pitting the Indonesian National Armed Forces of the Army (TNI AD) with President Soekarno spread rumors and slander by General Council that he said came from Golchrist Document.
f) requires the establishment of the Fifth Army in addition to the four forces of the Indonesian National Armed Forces consists of the workers and peasants.
II) The struggle for power. At the time of President Sukarno in ill health, the top leadership of the Communist Party Indonesia D. N. Aidit decided to stage a coup.The seizure of power was held on October 1, 1965 under the command of Lieutenant Colonel and Brigadier General Untung Soetopo Soeparjo. His movements were named the 30 September Movement / Indonesian Communist Party (PKI) and the National Religious and Communist berporoskan (NASAKOM). The main objective was to kidnap and assassinate high-ranking Indonesian Military-Army (TNI AD), as follows:
(1) Lieutenant General Ahmad Yani (Minister / Army Commander).
(2) Major General R. Suprapto (Second Deputy Army Commander).
(3) Major General Suwondo Parman (Deputy Army Commander III).
(4) S. Brig Siswomiharjo (Assistant Army Commander IV).
(5) Major General M.T. Haryono (Assistant Army Commander IV).
(6) Brig DI Panjaitan (Inspector of Justice / Judge Advocate AD)
Then their bodies were put into old wells Crocodile Hole, Pondok Gede, East Jakarta. Meanwhile, Gen. Abdul Haris Nasution, the main target of the Communist Party managed to escape, but his daughter Ima Suryani Ade and his aides Pierrre First Lieutenant Andrew Tendean a victim in the incident, and also fall Karel Police Brigadier Satsuit Tubun home employee Deputy Premier III J.Leimena. While the Communist Party of Indonesia in Yogyakarta also kidnapped and killed Colonel and Lieutenant Colonel Sugiono Katamso Kentungan village.
III) Crushing the Communist Party of Indonesia and the birth of an Order of March (Supersemar). In the military, the Communist Party of Indonesia destroyed after October 1, 1965 on a military operation conducted by members of the Special Forces under Colonel Sarwo Edhi Wibowo. But politically the Communist Party of Indonesia was still firm and not deterred. Therefore, on October 25, 1965 the students founded the Indonesian Student Action Unit (WE) led by M. Zamroni and dibidani by Tayeb Sharif.
Unity of purpose Indonesian Students Action (WE) is:
(1) Securing and adopt Pancasila genuine and consistent.
(2) Anti toward Necolim (neo-colonialism) and all forms of colonialism.
(3) Assist the Indonesian Armed Forces (ABRI) devour the September 30th Movement / Indonesian Communist Party (PKI).
Then on January 10, 1966, the Indonesian Student Action Unit (WE) proclaimed "Tritura" (Three People's Demands) as follows:
(1) The dissolution of the Communist Party of Indonesia and community organizations (CBOs).
(2) The dissolution of the Cabinet Dwikora.
(3) Lower price.
Almost every day there were demonstrations demanding Tritura (Three People's Demands) performed by the students. This demonstration peaked when students at the University of Indonesia, Arif Rahman Hakim and Ridwan Rais Cakrabirawa killed by troops, troops guard the President on February 24, 1966. As a result of the crisis the next day, on February 25, 1966, President Sukarno dissolve the unity of the Indonesian Student Action (WE). The decision triggered a variety of actions that a national crisis getting out of control. On 11 March 1966, Cabinet Dwikora (100 Cabinet minister) by the so-called cabinet Gestapu Students conduct a plenary session in Jakarta to find a way to resolve the crisis. Meeting was boycotted by the students by way pengempesan tires ministers to the palace.Not long ago, President Sukarno's speech, Brigadier General Sabur told by aides that outside the palace there pauskan no badge on his uniform. As a result of President Sukarno, who followed Deputy Prime Minister I Dr. Soebandrio and Deputy Prime Minister Saleh headed III Chaerul Bogor Palace, while the trial was closed by the Deputy Premier II J. Leimena which followed well into the Bogor palace. That evening, President Sukarno at the Bogor Palace was met by three army officers, namely: Maj. Basuki Rahmat, Brig Moh. Joseph and Amir Mahmud.In front of the three officers of the Army is finally Suran Command President Sukarno issued March 11, 1966 (Supersemar) which ditujukkan to Lieutenant General Soeharto Minister / Commander of the Army to address the national crisis. Supersemar contents are:
(1) Take all necessary measures to guarantee the security and tranquility and the course of the revolution, as well as ensuring the safety prinadi and authority of the President / Commander in Chief of the Indonesian Armed Forces (ABRI Pangti) / Mandatory Permuswaratan People's Assembly (MPRS) for the unity of the nation and the Republic Indonesia, and perform exactly the teachings of the Leader of the Revolution.
(2) Establish coordination of command with other army commanders as well as possible.
(3) in order to report immediately anything that has to do with the duties and responsibilities as described above.
After Lieutenant General Soeharto received a Super Semar (Decree of March 11, 1966), then the steps taken to overcome the crisis are:
(1) On behalf of President Soekarno, on March 12, 1966 dissolved the Communist Party of Indonesia and its society organizations (ormasnya) and declared the Communist Party of Indonesia (PKI) as the outlawed throughout the country of Indonesia.
(2) On March 18, 1966 arrest and detention of 15 ministers who are still active.This step ditempu with the intention that the ministers did not become the main target of the anger of the victims were not controlled because charges involving the 30 September Movement / Indonesian Communist Party (PKI).
(3) Perform a purge of government officials and the legislative bodies of the elements of the 30 September Movement / Indonesian Communist Party and including the Old Mutual Assistance People's Representative Council (DPR-GR) and the People's Consultative Assembly (MPRS).
0 comments:
Post a Comment